“Kring kring!”
Alarm sudah berbunyi sejak pukul lima pagi. Satu persatu bangun, bergilir
menimba sumur, mandi, dan sarapan pagi. Lagi-lagi saya yang mendapati giliran
paling akhir. Dan kami berangkat sekitar pukul setengah tujuh pagi, setelah
menyempatkan berfoto bersama Pak Mangku sekeluarga sebagai kenang-kenangan
pernah menimba sumur di rumah beliau. Embun pagi menyambut iring-iringan pagi
itu, juga anak-anak berseragam merah-putih dengan tengtengan sapu yang
tersenyum menyapa kami. Sebagian diantaranya berjalan mengikuti arah motor
kami: SDN 1 Tanglad. Iya, mereka adalah sebagian anak-anak yang akan mengikuti
kelas inspirasi nantinya.
Sampai di SDN 1 Tanglad, kami disambut
aktivitas yang mengembalikan ingatan saya pada belasan tahun silam: menyapu
halaman sekolah, merapikan meja dan kursi di kelas, menghaturkan sesajen canang
di sekolah. Momen-momen yang mulai langka ditemui di sekolah perkotaan kini. Setelah
semuanya dimonopoli oleh petugas kebersihan sekolah. Kami juga tak kalah heboh,
mempersiapkan diri dengan memasang spanduk, menghaturkan sesajen canang di
Padmasana (pura) sekolah. Memohon ijin agar diberikan kelancaran dalam kegiatan
di sekolah ini.
Teng! Jam setengah
delapan pagi, upacara bendera dimulai. Siswa-siswa yang sudah selesai berberes
nampak berhamburan lalu membentuk barisan rapi menurut jenjang kelas-nya. Kelas
satu sampai kelas empat berbaris menghadap tiang bendera, sebagai peserta
upacara. Kelas lima dan enam sebagai petugas upacara, juga sebagai pasukan paduan
suara berbaris di sebelah kiri tiang bendera. Bapak dan ibu guru berbaris dua
sap di kanan tiang bendera, bersebelahan dengan kami: relawan kelas inspirasi
SDN 1 Tanglad. Sekadar informasi, jumlah siswa SDN 1 Tanglad adalah 60 siswa
dengan 7 orang guru tetap, dan 4 pegawai honorer. Jumlah siswa ini tergolong
sedikit, karena arus urbanisasi yang masih tak terbendung dari wilayah ini. Telur
emas ternyata masih kalah berkilau dibandingkan dengan daerah-daerah Kuta,
Denpasar, dan Nusa Dua yang katanya juga emas: segitiga emas Bali. Mungkin,
yang paling mengkhawatirkan di sekolah ini adalah tidak berfungsinya toilet,
mengingat terbatasnya air yang menjadi polemik di wilayah ini. Alhasil saya pun
menahan buang air, sampai selesai hari inspirasi dan kembali ke penginapan.
Jalannya upacara
bendera sendiri bisa dikatakan suatu momen langka bagi beberapa inspirator, termasuk
saya. Kendati di beberapa hari peringatan acapkali diadakan upacara di kantor.
Saya tak pernah semerinding kala itu. Saat mendengarkan seruan dari pengibar
bendera: “Bendera Siap!” lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu
mengheningkan cipta, dan mendengar-mengikuti pembacaan Pancasila oleh Bapak
Kepala Sekolah. Merinding! Khidmatnya upacara benar-benar terasa dan mengangkat
relung memori belasan tahun silam kala saya berdiri tegak membacakan teks UUD
1945 berseragam merah-putih berdasi agak kedodoran. Upacara berjalan dengan
lancar. Bendera tepat mencapai ujung tertingginya sesaat lagu Indonesia Raya
selesai, dan para siswa begitu tenangnya mengikuti seremonial ini. Ahh, saya
jadi makin cinta negeri ini.
Upacara bendera
selesai, dilanjutkan dengan sesi opening yang dipandu oleh Ian. Opening kami
kemas secara sederhana, dengan mengembalikannya pada tujuan awal untuk
mencairkan suasana dan mendekatkan para siswa dengan kakak-kakak relawan,
terutama para inspirator.
“Adik-adik, gimana
kabarnya”, tanya Ian.
“Baik”, sahut
mereka tak begitu kompak.
Lalu Ian mencoba
mengkompakkan jawaban mereka, dengan kalimat “Luar Biasa!”. Mereka berhasil
mengikuti seruan Ian, juga para relawan semua. Dengan keras. Juga kompak. Lalu
dilanjutkan dengan tepuk semangat, superman woosh!, dan jingle “Jika Kau Suka KI”.
Jika kau suka KI, tepuk tangan. Prok prok! Jika
kau suka KI, tepuk tangan. Prok prok! Jika kau suka KI, mari kita lakukan, jika
kau suka KI, tepuk tangan! Prok prok!
Jika kau suka KI, hentak bumi. Dug dug! Jika kau
suka KI, hentak bumi. Dug dug! Jika kau suka KI, mari kita lakukan, jika kau
suka KI, hentak bumi! Dug dug!
Jika kau suka KI, lompat hore. Hore! Jika kau suka
KI, lompat hore. Hore! Jika kau suka KI, mari kita lakukan, jika kau suka KI,
lompat hore!
“Horeeeeeeeeeee!”
dengan lompatan yang cukup tinggi. Dan kompak. Opening pun berakhir dengan
semangat mereka memasuki pos-pos kelas inspirasi. Ada yang berlarian menuju
pos, saking semangatnya. Ada yang bermain kereta-keretaan setelah berhasil
dijinakkan oleh Kak Arni dan Wira. Suasananya random. Sumringah. Namun sangat
mengesankan.
Tibalah waktunya
giliran saya. Menginspirasi. Juga harus terinspirasi.
Saya menggelar
sebuah spanduk persegi ukuran tiga kali tiga meter di bawah pohon ketapang di
halaman sekolah, bergambarkan permainan ular tangga. Saya bisa menyebutnya
sebagai ular tangga raksasa. Lengkap dengan tiga boneka dadu, dan yang nantinya
menjadi pion adalah siswa yang ikut bermain. Saya sedikit modifikasi ular
tangga dengan tambahan ikon bintang, jika siswa berhasil menaiki tangga dengan
menjawab tantangan matematika terlebih dahulu. Juga ada tulisan “poles lawan”
dan “dipoles” pada beberapa blok untuk menambah keseruan permainan ini, selain
ada mulut ular yang memangsa pion hingga jatuh di ujung ekornya. Melalui
permainan ini, saya mencoba mendekatkan ilmu matematika, terkhusus peluang yang
mengisahkan soal keberuntungan melalui permainan lemparan dadu. Intinya bahwa
dalam hal apapun, matematika sangat diperlukan. Termasuk mengejar mimpi-mimpi
mereka nantinya.
Sesi pertama saya
kedatangan Grup C, gabungan kelas 5 dan 6. Pembukaan sesi saya awali dengan
permainan sulap angka, dengan menebak tanggal lahir dari beberapa siswa. Saya
senang, ada yang terkesima dan penasaran dengan cara saya menebak. Karenanya,
saya mencoba membocorkan trik kepada satu siswa yang bernama Bayu. Dan keren.
Transfer ilmu kanuragan berhasil. Bayu berhasil menebak tanggal lahir Komang,
setelah sebelumnya komat-kamit menghitung dalam hati. Suasana mulai mencair. Lalu
saya masuk ke permainan ular tangga dengan membagi mereka ke dalam empat
kelompok. Ada kelompok yang mendapati tantangan matematika, dan berhasil
dijawab dengan benar. Ada yang cemong karena dipoles bedak oleh lawannya, juga
ada beruntung bisa memoles bedak pada lawannya. Lagi-lagi saya senang, mereka
tampak menikmati permainan ini. Dan di sisa waktu terakhir, saya mencoba
memasukkan matematika ke dalam mimpi-mimpi mereka. Terlepas dari apapun
cita-cita mereka: dokter, guru, polisi, supir, petani – semuanya membutuhkan
ilmu matematika. Dan matematika bisa dipelajari dengan cara apapun, termasuk lemparan
dadu dan uang koin. Sesederhana itu.
Sesi kedua dan
ketiga saya kedapatan kelas kecil. Karena spanduk ular tangga mulai kotor oleh
debu sisa pijakan sepatu, saya memindahkan pos ke ruangan. Masuk ke kelas kecil
cukup memberikan tantangan tersendiri. Di kelas tiga-empat (grup B), saya
sempat dijahili oleh seorang siswa yang secara sengaja menyalahkan
tebak-tebakan tanggal lahir yang saya peragakan. Juga sulap jumlah batang
korek, yang lagi-lagi gagal berkat salah penjumlahan yang dilakukan oleh salah
seorang siswi. Tapi, mereka kembali bersahabat setelah ular tangga dimainkan. Lain
lagi ceritanya dengan kelas satu-dua (grup A). Dimana, penjumlahan dadu masih dilakukan
sangat manual: dihitung per biji lingkaran dihiasi wajah serius mereka dalam
menghitung dengan media jari-jari tangan. Tapi semuanya terselesaikan dengan
benar. Permainan pantomim angka pun, mereka jawab dengan cepat. Saya-pun sangat
terkesima dengan Shinta, siswi kelas 2 SD yang begitu cepat menjawab soal
hitung-hitungan dari pantomim angka yang saya mainkan. Luar biasa reinkarnasi
dari kekasih Rama ini.
Saat jam
istirahat, relawan beristirahat sejenak di warung samping sekolah. Menyantap
penganan khas Bali: tipat cantok. Dengan kerupuk. Sembari berbagi keceriaan di
kelas. Di mana, Dita (dosen kimia) memainkan percobaan atau praktikum yang
menarik minat siswa untuk menjadi ilmuan. Ian-Dewi yang bermain tentang
aturan-aturan hukum lengkap dengan setelan jubah hitamnya. Dan Ina (perawat)
yang mengajarkan pertolongan pertama pada kecelakaan, cara mencuci tangan yang
benar kepada siswa. Arni dan Wira juga tak kalah hebohnya memobilisasi siswa
dengan rangkaian kereta-keretaan. Para dokumentator: Bang Jerry, Bule, dan Bli
Komang juga menceritakan momen-momen sekali seumur hidup yang berhasil mereka
jepret. Bisa dikatakan kelompok ini tidak banyak persiapan, namun cukup mumpuni
dalam pelaksanaan. Meskipun sebagian dari kami baru sekali dua kali ikutan
Kelas Inspirasi.
Beberapa menit
sebelum closing, para siswa kemudian dibagikan dua lembar postcard cita-cita. Untuk
mereka tulis. Satu untuk dibawa pulang dan diserahkan kepada orang tua atau
keluarga di rumah, satunya dimasukkan ke dalam amplop cokelat yang akan
diserahkan pada guru. Saya bertugas menemani siswa kelas satu dan dua, yang
notabene masih belajar menulis. Tapi saya takjub, hampir 99 persen sudah lancar
dalam menulis, walau masih ada ejaan yang salah. Luar biasa. Beragam cita-cita
dan impian tergores di postcard itu. Ada yang menulis dokter, pemain sepak
bola, petani, astronot, dan banyak lagi. Dan, yang paling mengharukan buat saya
adalah impian adik Ayu (kelas 2 SD) yang ingin menjadi “Guru Matematika”.
Profesi yang sangat dekat dengan inspirasi yang saya bagikan.
Closing dimulai!
Saya yang bertugas memandu. Para siswa kembali berkumpul di lapangan. Lengkap
dengan selembar postcard cita-cita di tangan, tas di punggung, bintang di dada,
dan topi merah-putih di kepala. Menutup kelas inspirasi ini, seluruh siswa
berikut relawan dan guru-guru melaksanakan pawai kecil-kecilan, berbaris
mengular dengan spanduk Kelas Inspirasi membentang dan tangan-tangan mungil
mengacungkan postcard cita-cita. Menyanyikan lagu “Curik-Curik” yang menjadi
ikon keceriaan Kelas Inspirasi SD Negeri 1 Tanglad. Berbaris mengular menuju
jalan di depan sekolah. Mengitari patung di bundaran Desa Tanglad. Dengan
wajah-wajah yang dipenuhi dengan inspirasi dan keceriaan. Momen yang memuncaki
sudut-sudut keluarbiasaan dari acara ini.
“Curik-curik semental alang-alang boko-boko, tiang
meli pohe, aji satak aji satus keteng, mara bakat anak bagus peceng,
enjok-enjok!”
Selesai acara,
tidak lupa kami mohon undur diri dari pihak sekolah yang telah menyambut hangat
kehadiran kami. Tidak banyak yang bisa ditinggalkan, kecuali pedalaman semangat
untuk meraih mimpi yang coba kami bangun dalam kelas inspirasi. Juga beberapa
lembaran kalender tahun 2017 yang berisikan foto-foto relawan berikut quote, sebagai ucapan terima kasih dan
kenang-kenangan dari kelompok kami. Kami mohon undur diri, setelah waktu
semakin berdesakan dengan keberangkatan kembali ke Sanur. Jam setengah satu
siang, kami bergegas menuju penginapan.
Pak Mangku dan
keluarga sudah siap dengan nasi bungkus, bekal kami menuju pelabuhan nanti. Kami
merapikan kembali barang-barang yang tentunya lebih ringan dari sebelum
keberangkatan. Jam satu siang, kami berpamitan dengan keluarga Pak Mangku yang
sudah menerima kehebohan kelompok kami. Tak ketinggalan si Arni, yang meminta
nomor Mbok Kadek, anak kedua Pak Mangku, untuk memulai bisnis kain Rang-Rang di
Denpasar nanti. Jalanan malam dua hari yang lalu kembali kami lewati. Dengan
santai. Karena turunan. Karena siang. Hingga kami-pun sampai kembali di
Pelabuhan Toya Pakeh. Untuk mengembalikan sepeda motor, dan menunggu
keberangkatan kapal Maruti menuju Sanur. Sembari menunggu kapal, kami menyantap
bungkusan nasi Pak Mangku dan bermain 61. Aturan main masih sama. Yang kalah
dipoles bedak. Biar cemong.
Kapal pun merapat
dan kami kembali melalui perjalanan laut menuju Sanur. Lelah, tenaga yang
terkuras memaksa kami beristirahat memejamkan mata di kapal walau gelombang laut
sedang tak begitu bersahabat. Sekitar pukul empat sore, kami sampai di Pantai
Sanur dengan celana sedikit basah oleh air laut. Istirahat sejenak, lalu
mencari-cari transportasi untuk kembali ke LPMP. Untuk acara refleksi,
rangkaian terakhir acara Kelas Inspirasi Bali 3. Acara sedikit diundur dari
semula jam 5 sore menjadi jam 7 malam, karena aula LPMP masih digunakan oleh
instansi pemerintah. Tim Satu Tanglad, hanya menyisakan empat orang ikutan
kegiatan ini: Arni, Dewi, Bang Jerry, dan saya. Bule dan Dita mohon pamit
karena harus kembali ke Lombok dengan motor bututnya. Wira, fasilitator muda
ini, juga meninggalkan LPMP karena ada dinas malam. Ian, yang sudah nyaman
beristirahat di hotel seputaran Jimbaran yang cukup jauh dari Renon. Lalu, Ina
dan Bli Komang yang semula ingin ikut refleksi mendadak ingin pulang lebih
dahulu, karena ada upacara adat di daerahnya. Jadilah kami berempat dengan
wajah sedikit kelelahan, duduk di jajaran dua bangku terdepan menyaksikan
jalannya acara.
Tak banyak yang
mengikuti acara ini. Sebagian memilih untuk beristirahat, sebagian mungkin
memilih melanjutkan perjalanan wisata di sisa waktu. Acara dilangsungkan begitu
santai. Setiap kelompok diminta menyampaikan laporan dan keluh-kesahnya selama
di SD-nya masing-masing. Ada yang menyampaikan kabar bahagia karena mendapat
pengalaman berharga yang luar biasa. Ada yang sedikit kecewa dengan jalannya
acara. Tapi kelompok kami, memberikan respon yang positif. Diwakili Dewi, kami
menyampaikan kondisi sekolah yang butuh perhatian terutama di fasilitas MCK.
Juga kekompakan tim Satu Tanglad, yang luar biasa kebersamaan-nya. Semua
berjalan lancar, tanpa muluk-muluk. Berwisata oke dan puas. Hari inspirasi juga oke dan lancar. Juga berkat dukungan spiritual, yang kami percayai
turut melancarkan kegiatan kami. Hingga jam delapan lewat, acara selesai. Tangan
berkocok bersalaman, ucapan terima kasih dan permohonan maaf bertebaran, dan
salam semoga berjumpa kembali bersahutan.
Tapi ini bukan
akhir dari perjalanan.
Lagu “Curik-curik”
akan tetap berkumandang, mengiringi perjalanan eksotis esok, lusa, dan tahun-tahun
di depan. Sejenak membuka kembali membuka relung tiga hari, dua malam di
Tanglad, Nusa Penida. Sebuah kisah yang semestinya tak usang oleh terpaan
waktu. Karena menginspirasi dan terinspirasi adalah dua kondisi yang bisa
secara paralel terjadi, sepanjang hidup. Benar kata John Dewey, “Education is not preparation for life.
Education is life itself.”
Terima kasih Kelas
Inspirasi Bali 3.
Terima kasih tim
SD Negeri 1 Tanglad.
Cis kacang buncis!