EKONOMI SINTING UNTUK KITA

23.12 Putu Dharma Yusa 4 Comments


Maaf, judulnya agak sedikit nyeleneh. Tapi memang, kali ini saya akan mencorat-coret seputar ilmu ekonomi, yang jarang diungkap dalam buku-buku ekonomi awam di pasaran. Saya memang akhir-akhir ini lebih suka meluangkan waktu untuk membaca buku-buku ekonomi yang anti mainstream, yang tidak pernah diajarkan sewaktu kuliah, yang bisa lebih membuka mata saya tentang siapa dan apa itu ekonomi. Beberapa hal yang cukup menarik perhatian saya adalah tentang underground economy, seperti film horor yang membahas sisi gelap dari ekonomi, kemudian green economy yang menjelaskan ekonomi keberlanjutan dengan menempatkan posisi lingkungan di atas kepentingan manusia, lalu middle class economy yang mengungkap bagaimana perilaku ekonomi kelas menengah yang konon menjadi penyumbang terbesar dalam perekonomian saat ini. Serta, terakhir saya membaca tentang salah satu gagasan ekonomi: ekonomi perilaku, dalam bukunya Pak Edmund Conway yang berjudul “50 Gagasan Ekonomi yang Perlu Anda Ketahui”. Sangat menarik sekali judul Pak Conway ini, karena jujur, dari gagasan-gagasan yang dihadirkan di buku ini sangat membuka cara berpikir saya tentang ekonomi, tentang ilmu yang paling tidak saya pahami sewaktu kuliah. Oke, kali ini saya akan menuliskan ulang apa yang saya pahami tentang tulisannya tentang ekonomi perilaku, ekonomi yang irasional, ekonomi sinting, kalau boleh saya bilang begitu. Hehe

Saya ada pertanyaan pembuka untuk Anda, anak muda beda dan berbahaya. Apa yang Anda rasakan dan lakukan jika di pusat perbelanjaan ada tulisan seperti ini: diskon 50% + 20%, cuci gudang, beli 1 gratis 3, potongan harga 1 juta rupiah dengan menggunakan kartu kredit blablabla? Apakah mata menjadi membelalak, lidah menjulur sembari meneteskan liur, lalu melupakan tujuan awal ke pusat perbelanjaan, lari terbirit-birit menuju letak tulisan itu, dan segera berebutan dengan pelanggan lain? Jika iya, maka itulah yang disebut sebagai irasional, sinting secara ekonomi. Hal inilah yang mendasari bahwa asumsi manusia yang rasional secara konsisten berguguran, seiring berkembangnya zaman. Zaman yang telah membuat manusia sebagai homo economicus menjadi kian tidak rasional, alias seakan tidak ada pertimbangan apapun, kemauan yang tiada batas, dan pada akhirnya menjadi serakah. Ujung-ujungnya kemudian menjadi sebuah budaya: hedonisme. Bahasa bekennya adalah kemewahan.

Nampaknya saya harus berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Amos Tversky dan Daniel Kahneman, yang sejak 1970-an telah mencoba merangkul teori-teori psikologi dalam hal cara otak memproses informasi, dan mengkomparasinya dengan model ekonomi klasik maupun neoklasik. Saya memahaminya sebagai cara manusia dalam mengambil keputusan secara ekonomi. Seperti tawaran yang saya urai di paragraf sebelumnya: apakah saya akan membeli setelah tergiur promo diskon itu, atau saya akan menahan diri. Intinya adalah masalah keputusan. Tapi, keputusan kali ini agak sedikit berbeda dari kondisi biasa, keputusan ketika manusia dihadapkan pada ketidakpastian. Sekali lagi, ketika manusia dihadapkan pada ketidakpastian, manusia akan cenderung bereaksi secara random dan irasional, meskipun sesungguhnya hal seperti ini dapat diterka dan diprediksi sebelumnya. Kata Pak Amos dan Kahneman, reaksi tersebut dinamakan heuristics, jalan pintas mental, yang dipengaruhi oleh pengalaman dan juga lingkungan. Saya mencoba memberi contoh simpel: jika Anda pernah tersengat listrik saat mencolokkan kabel TV, maka saya percaya Anda akan cenderung lebih hati-hati melakukannya di masa mendatang. Ekonomi irasional bisa dicontohkan seperti itu, kadangkala juga ada unsur traumatis, dan hal-seperti ini tidak pernah dibicarakan dalam ekonomi konvensional.

Contoh yang lebih ilmiah lagi dari hasil riset Pak Amos dan Kahneman dengan memanfaatkan teknologi MRI, Magnetic Resonance Imaging, untuk melototi aktivitas otak manusia ketika dihadapkan pada keputusan ekonomi yang irasional alias sinting. Mereka menyebut aktivitas ini sebagai neuroeconomics. Masalah risetnya adalah begini: orang yang diuji coba itu adalah pedagang yang menjual barang dagangan tertentu, misalnya sepatu seharga 200 ribu rupiah. Kemudian, dihadapkan pada pembeli yang menawar harga seolah-olah menghina penjual itu, misalnya ditawar hanya dengan harga 50 ribu rupiah. Ternyata hasil MRI-nya cukup lucu: otak si pedagang ternyata bereaksi sama seperti bagian otak yang aktif ketika seseorang terpapar bau busuk atau gambar yang menjijikkan. Anda bisa bayangkan, reaksi spontan yang terjadi ketika hal ini benar-benar nyata, si pembeli bisa dimaki-maki secara kasar atau hal terburuknya adalah mulut si pembeli disumpal sepatu itu. Maaf terlalu sadis kata-katanya.

Agar lebih jelas, saya akan meringkas prinsip ilmu ekonomi perilaku sebagaimana ditulis oleh Pak Conway. Pertama, manusia itu dipengaruhi oleh pertimbangan nilai dan moral. Contohnya, saya akan mengutamakan menjual barang-barang secara halal atau dengan cara yang benar, daripada hanya mengejar keuntungan yang besar. Kedua, manusia juga bisa membuat pertimbangan yang berbeda ketika uang itu terlibat atau tidak. Bagi seorang ekonom neoklasik, mungkin saja tidak ada bedanya jika saya memberikan kekasih saya kado berupa cincin tunangan senilai 10 juta rupiah, dibandingkan dengan amplop yang berisi uang tunai senilai 10 juta rupiah. Tapi, bagi saya dan kekasih saya dua hal ini sangat-sangat berbeda, karena ada campur tangan emosi di dalamnya, lebih kerennya: cinta. Ketiga, manusia saat ini kebanyakan adalah investor keuangan yang sinting, irasional. Termasuk saya. Saya lebih banyak menghabiskan uang untuk kebutuhan saat ini dan sangat tidak pintar dalam berinvestasi untuk masa depan. Karena bagi saya, masa depan, sekalipun direncanakan dengan matang, pasti akan terjadi hal-hal yang diluar prediksi saya, orang religius menyebutnya sebagai kehendak Tuhan. Apakah Anda juga demikian, anak muda beda berbahaya? Keempat, manusia lebih nyaman mengikuti kebiasaan ketimbang belajar dari pengalaman itu. Contohnya begini, ketika saya membeli tiket pesawat untuk pulang kampung, saya selalu mensortir harga dari yang terendah dan akan membelinya. Padahal maskapai yang akan saya tumpangi itu pelayanannya sangat buruk, dan sudah sering saya tumpangi. Maaf saya tidak bisa menyebut nama maskapai itu. Kelima, alias yang terakhir, manusia kadangkala lebih mendengarkan nasehat dari pengalaman orang lain daripada mendengarkan kata hati sendiri, termasuk dalam hal ekonomi. Misalnya, saya tidak dianjurkan untuk berobat di Rumah Sakit A karena perawatnya judes, cuek, dan galak-galak. Akhirnya, saya tidak jadi berobat di rumah sakit itu, padahal belum tentu yang saya temui adalah perawat yang seperti diceritakan, bisa jadi suster itu sudah ganti piket. Inilah prinsip-prinsip ekonomi irasional itu, dan benar terjadi secara mikro dalam kehidupan pribadi manusia.

Kembali lagi ke permasalahan mengambil keputusan. Jadi, manusia tidak selalu mengambil keputusan hanya berdasarkan iming-iming keuntungan yang dijanjikan atau yang nantinya diperoleh. Hal ini dirasa sangat penting, karena sebagian besar yang menyebut diri mereka penguasa atas kesejahteraan rakyat, mendasari asumsi hanya sebatas keuntungan semata. Istilah seperti ini kemudian disebut sebagai libertarian paternalism atau nudge economics, suatu upaya untuk mempraktekkan ilmu ekonomi perilaku. Pak Conway menjelaskan contoh gagasan kontroversial ketika Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, pada tahun 2008 menerapkan gagasan presumed consent terhadap sumbangan organ, dengan dasar asumsi bahwa semua penduduk akan bersedia menjadi donor organ. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban membuat seluruh penduduk terlindung dari kejahatan dan kemiskinan, namun apakah penduduk juga harus dilindungi dari kesintingan mereka sendiri? Jika keputusan mereka salah, maka semoga saja mereka tidak salah dalam mengambil keputusan di bilik pemilihan umum.

Jika contoh di atas ribet, saya akan menjelaskan contoh yang berulang kali saya dengungkan. Gagasan kontroversial reklamasi Teluk Benoa, Bali seluas 800 hektar yang direncanakan oleh PT. TWBI atas restu penguasa setempat, menggunakan asumsi bahwa jika proyek ini selesai, nantinya akan menciptakan berjuta lapangan kerja, dan pada hilirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lalu, masyarakat dipaksa untuk setuju dengan iming-iming itu. Padahal, masyarakat yang tersadar sudah pintar dan memahami kalau megaproyek itu penuh dengan intrik dan justru akan merusak keseimbangan alam dan lingkungan. Laut yang disucikan akan diurug menjadi daratan, lalu pertanyaannya: apakah rasional jika nantinya masyarakat pesisir menyembah kanal-kanal laut yang isinya kondominium, apartemen, dan perhotelan mewah berikut jalan tol laut yang sedemikian megahnya? Jika laut yang menjadi lahan mencari ikan nelayan Desa Adat Tanjung Benoa dirurug, apakah tidak sinting jika nantinya kapal-kapal nelayan hanya menjadi kayu bakar untuk memasak makanan mereka? Lalu, apakah tidak gila jika banjir rob menggenangi daratan Desa Suwung, Sidakarya, Tanjung Benoa dan justru merugikan masyarakat? Sampai kapankah penguasa dan investor bertahan pada prinsip ekonomi irasional mereka? Sampai kapankah masyarakat bisa bergerak secara irasional atas ketidakpastian yang akan mereka hadapi?

Inilah barangkali yang menjadi sorotan penting kajian ekonomi perilaku saat ini. Ekonomi telah ditransformasi oleh wawasan perilaku dalam konteks psikologis, yang tidak diragukan lagi telah mematahkan asumsi bahwa orang selalu bertindak secara rasional demi keuntungan mereka sendiri. Kenyataannya adalah, manusia sebagai homo economicus menjadi semakin kompleks. Akhirnya, saya menyebut manusia itu menjadi “kita”, bahwa kita saat ini digerogoti oleh ekonomi yang tidak pernah disadari sebelumnya: perilaku dan pengaruh psikologis kita sendiri. Ekonomi sinting ini hadir di hadapan dan di dalam diri kita, anak muda beda dan berbahaya. Pada akhirnya, apakah kita akan tertelan dalam kesintingan itu, atau justru kita akan bergerak melawan untuk menghadapinya? Kalau saya sendiri, saya akan menerapkan seruan puisi Widji Thukul: "lawan" !

4 komentar:

  1. lah, setelah baca sampe abis baru sadar yus kamu yg nulis wkwkwk jadi penasaran sama bukunya pak Conway itu

    BalasHapus
  2. Iya uus, wkwkwk. Maaf, bahasanya masih ngaco. Iya, nanti beberapa tulisan yang menurutku menarik, nanti aku tulis lagi :D

    BalasHapus
  3. Setelah baca malah berpikir, gimana caranya biar tampilan blognya kayak gini ya? hahahaha (gaptek)

    BalasHapus
  4. Jawabannya lucu Bu Ketut, pinter-pinter nyari lalu modifikasi template blog. Tapi konten juga penting lho.

    BalasHapus