EKONOMI SINTING UNTUK KITA
Maaf,
judulnya agak sedikit nyeleneh. Tapi
memang, kali ini saya akan mencorat-coret seputar ilmu ekonomi, yang jarang diungkap
dalam buku-buku ekonomi awam di pasaran. Saya memang akhir-akhir ini lebih suka
meluangkan waktu untuk membaca buku-buku ekonomi yang anti mainstream, yang tidak pernah diajarkan sewaktu kuliah, yang bisa
lebih membuka mata saya tentang siapa dan apa itu ekonomi. Beberapa hal yang
cukup menarik perhatian saya adalah tentang underground
economy, seperti film horor yang membahas sisi gelap dari ekonomi, kemudian
green economy yang menjelaskan
ekonomi keberlanjutan dengan menempatkan posisi lingkungan di atas kepentingan
manusia, lalu middle class economy yang
mengungkap bagaimana perilaku ekonomi kelas menengah yang konon menjadi
penyumbang terbesar dalam perekonomian saat ini. Serta, terakhir saya membaca
tentang salah satu gagasan ekonomi: ekonomi
perilaku, dalam bukunya Pak Edmund Conway yang berjudul “50 Gagasan Ekonomi
yang Perlu Anda Ketahui”. Sangat menarik sekali judul Pak Conway ini, karena
jujur, dari gagasan-gagasan yang dihadirkan di buku ini sangat membuka cara
berpikir saya tentang ekonomi, tentang ilmu yang paling tidak saya pahami sewaktu
kuliah. Oke, kali ini saya akan
menuliskan ulang apa yang saya pahami tentang tulisannya tentang ekonomi
perilaku, ekonomi yang irasional, ekonomi sinting, kalau boleh saya bilang
begitu. Hehe
Saya
ada pertanyaan pembuka untuk Anda, anak muda beda dan berbahaya. Apa yang Anda
rasakan dan lakukan jika di pusat perbelanjaan ada tulisan seperti ini: diskon
50% + 20%, cuci gudang, beli 1 gratis 3, potongan harga 1 juta rupiah dengan
menggunakan kartu kredit blablabla? Apakah
mata menjadi membelalak, lidah menjulur sembari meneteskan liur, lalu melupakan
tujuan awal ke pusat perbelanjaan, lari terbirit-birit menuju letak tulisan
itu, dan segera berebutan dengan pelanggan lain? Jika iya, maka itulah yang
disebut sebagai irasional, sinting secara ekonomi. Hal inilah yang mendasari
bahwa asumsi manusia yang rasional secara konsisten berguguran, seiring berkembangnya
zaman. Zaman yang telah membuat manusia sebagai homo economicus menjadi kian tidak rasional, alias seakan tidak ada
pertimbangan apapun, kemauan yang tiada batas, dan pada akhirnya menjadi
serakah. Ujung-ujungnya kemudian menjadi sebuah budaya: hedonisme. Bahasa
bekennya adalah kemewahan.
Nampaknya
saya harus berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Amos Tversky dan
Daniel Kahneman, yang sejak 1970-an telah mencoba merangkul teori-teori
psikologi dalam hal cara otak memproses informasi, dan mengkomparasinya dengan
model ekonomi klasik maupun neoklasik. Saya memahaminya sebagai cara manusia
dalam mengambil keputusan secara ekonomi. Seperti tawaran yang saya urai di paragraf
sebelumnya: apakah saya akan membeli setelah tergiur promo diskon itu, atau
saya akan menahan diri. Intinya adalah masalah keputusan. Tapi, keputusan kali
ini agak sedikit berbeda dari kondisi biasa, keputusan ketika manusia
dihadapkan pada ketidakpastian. Sekali lagi, ketika manusia dihadapkan pada
ketidakpastian, manusia akan cenderung bereaksi secara random dan irasional,
meskipun sesungguhnya hal seperti ini dapat diterka dan diprediksi sebelumnya. Kata
Pak Amos dan Kahneman, reaksi tersebut dinamakan heuristics, jalan pintas mental, yang dipengaruhi oleh pengalaman
dan juga lingkungan. Saya mencoba memberi contoh simpel: jika Anda pernah
tersengat listrik saat mencolokkan kabel TV, maka saya percaya Anda akan
cenderung lebih hati-hati melakukannya di masa mendatang. Ekonomi irasional
bisa dicontohkan seperti itu, kadangkala juga ada unsur traumatis, dan hal-seperti
ini tidak pernah dibicarakan dalam ekonomi konvensional.
Contoh
yang lebih ilmiah lagi dari hasil riset Pak Amos dan Kahneman dengan
memanfaatkan teknologi MRI, Magnetic
Resonance Imaging, untuk melototi aktivitas otak manusia ketika dihadapkan
pada keputusan ekonomi yang irasional alias sinting. Mereka menyebut aktivitas
ini sebagai neuroeconomics. Masalah
risetnya adalah begini: orang yang diuji coba itu adalah pedagang yang menjual
barang dagangan tertentu, misalnya sepatu seharga 200 ribu rupiah. Kemudian,
dihadapkan pada pembeli yang menawar harga seolah-olah menghina penjual itu,
misalnya ditawar hanya dengan harga 50 ribu rupiah. Ternyata hasil MRI-nya
cukup lucu: otak si pedagang ternyata bereaksi sama seperti bagian otak yang
aktif ketika seseorang terpapar bau busuk atau gambar yang menjijikkan. Anda
bisa bayangkan, reaksi spontan yang terjadi ketika hal ini benar-benar nyata,
si pembeli bisa dimaki-maki secara kasar atau hal terburuknya adalah mulut si
pembeli disumpal sepatu itu. Maaf terlalu sadis kata-katanya.
Agar
lebih jelas, saya akan meringkas prinsip ilmu ekonomi perilaku sebagaimana
ditulis oleh Pak Conway. Pertama, manusia
itu dipengaruhi oleh pertimbangan nilai dan moral. Contohnya, saya akan
mengutamakan menjual barang-barang secara halal atau dengan cara yang benar,
daripada hanya mengejar keuntungan yang besar. Kedua, manusia juga bisa membuat pertimbangan yang berbeda ketika
uang itu terlibat atau tidak. Bagi seorang ekonom neoklasik, mungkin saja tidak
ada bedanya jika saya memberikan kekasih saya kado berupa cincin tunangan
senilai 10 juta rupiah, dibandingkan dengan amplop yang berisi uang tunai
senilai 10 juta rupiah. Tapi, bagi saya dan kekasih saya dua hal ini
sangat-sangat berbeda, karena ada campur tangan emosi di dalamnya, lebih
kerennya: cinta. Ketiga, manusia saat
ini kebanyakan adalah investor keuangan yang sinting, irasional. Termasuk saya.
Saya lebih banyak menghabiskan uang untuk kebutuhan saat ini dan sangat tidak
pintar dalam berinvestasi untuk masa depan. Karena bagi saya, masa depan,
sekalipun direncanakan dengan matang, pasti akan terjadi hal-hal yang diluar
prediksi saya, orang religius menyebutnya sebagai kehendak Tuhan. Apakah Anda
juga demikian, anak muda beda berbahaya? Keempat,
manusia lebih nyaman mengikuti kebiasaan ketimbang
belajar dari pengalaman itu. Contohnya begini, ketika saya membeli tiket
pesawat untuk pulang kampung, saya selalu mensortir harga dari yang terendah
dan akan membelinya. Padahal maskapai yang akan saya tumpangi itu pelayanannya
sangat buruk, dan sudah sering saya tumpangi. Maaf saya tidak bisa menyebut
nama maskapai itu. Kelima, alias yang
terakhir, manusia kadangkala lebih mendengarkan nasehat dari pengalaman orang
lain daripada mendengarkan kata hati sendiri, termasuk dalam hal ekonomi. Misalnya,
saya tidak dianjurkan untuk berobat di Rumah Sakit A karena perawatnya judes,
cuek, dan galak-galak. Akhirnya, saya tidak jadi berobat di rumah sakit itu,
padahal belum tentu yang saya temui adalah perawat yang seperti diceritakan,
bisa jadi suster itu sudah ganti piket. Inilah prinsip-prinsip ekonomi
irasional itu, dan benar terjadi secara mikro dalam kehidupan pribadi manusia.
Kembali
lagi ke permasalahan mengambil keputusan. Jadi, manusia tidak selalu mengambil
keputusan hanya berdasarkan iming-iming keuntungan yang dijanjikan atau yang
nantinya diperoleh. Hal ini dirasa sangat penting, karena sebagian besar yang
menyebut diri mereka penguasa atas kesejahteraan rakyat, mendasari asumsi hanya
sebatas keuntungan semata. Istilah seperti ini kemudian disebut sebagai libertarian paternalism atau nudge economics, suatu upaya untuk
mempraktekkan ilmu ekonomi perilaku. Pak Conway menjelaskan contoh gagasan
kontroversial ketika Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, pada tahun 2008
menerapkan gagasan presumed consent
terhadap sumbangan organ, dengan dasar asumsi bahwa semua penduduk akan
bersedia menjadi donor organ. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban membuat
seluruh penduduk terlindung dari kejahatan dan kemiskinan, namun apakah
penduduk juga harus dilindungi dari kesintingan mereka sendiri? Jika keputusan
mereka salah, maka semoga saja mereka tidak salah dalam mengambil keputusan di
bilik pemilihan umum.
Jika
contoh di atas ribet, saya akan
menjelaskan contoh yang berulang kali saya dengungkan. Gagasan kontroversial
reklamasi Teluk Benoa, Bali seluas 800 hektar yang direncanakan oleh PT. TWBI
atas restu penguasa setempat, menggunakan asumsi bahwa jika proyek ini selesai,
nantinya akan menciptakan berjuta lapangan kerja, dan pada hilirnya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Lalu, masyarakat dipaksa untuk setuju dengan
iming-iming itu. Padahal, masyarakat yang tersadar sudah pintar dan memahami
kalau megaproyek itu penuh dengan intrik dan justru akan merusak keseimbangan
alam dan lingkungan. Laut yang disucikan akan diurug menjadi daratan, lalu
pertanyaannya: apakah rasional jika nantinya masyarakat pesisir menyembah
kanal-kanal laut yang isinya kondominium, apartemen, dan perhotelan mewah
berikut jalan tol laut yang sedemikian megahnya? Jika laut yang menjadi lahan
mencari ikan nelayan Desa Adat Tanjung Benoa dirurug, apakah tidak sinting jika
nantinya kapal-kapal nelayan hanya menjadi kayu bakar untuk memasak makanan
mereka? Lalu, apakah tidak gila jika banjir rob menggenangi daratan Desa Suwung,
Sidakarya, Tanjung Benoa dan justru merugikan masyarakat? Sampai kapankah
penguasa dan investor bertahan pada prinsip ekonomi irasional mereka? Sampai
kapankah masyarakat bisa bergerak secara irasional atas ketidakpastian yang
akan mereka hadapi?
Inilah
barangkali yang menjadi sorotan penting kajian ekonomi perilaku saat ini. Ekonomi
telah ditransformasi oleh wawasan perilaku dalam konteks psikologis, yang tidak
diragukan lagi telah mematahkan asumsi bahwa orang selalu bertindak secara
rasional demi keuntungan mereka sendiri. Kenyataannya adalah, manusia sebagai homo economicus menjadi semakin
kompleks. Akhirnya, saya menyebut manusia itu menjadi “kita”, bahwa kita saat
ini digerogoti oleh ekonomi yang tidak pernah disadari sebelumnya: perilaku dan
pengaruh psikologis kita sendiri. Ekonomi sinting ini hadir di hadapan dan di
dalam diri kita, anak muda beda dan berbahaya. Pada akhirnya, apakah kita akan
tertelan dalam kesintingan itu, atau justru kita akan bergerak melawan untuk
menghadapinya? Kalau saya sendiri, saya akan menerapkan seruan puisi Widji
Thukul: "lawan" !
lah, setelah baca sampe abis baru sadar yus kamu yg nulis wkwkwk jadi penasaran sama bukunya pak Conway itu
BalasHapusIya uus, wkwkwk. Maaf, bahasanya masih ngaco. Iya, nanti beberapa tulisan yang menurutku menarik, nanti aku tulis lagi :D
BalasHapusSetelah baca malah berpikir, gimana caranya biar tampilan blognya kayak gini ya? hahahaha (gaptek)
BalasHapusJawabannya lucu Bu Ketut, pinter-pinter nyari lalu modifikasi template blog. Tapi konten juga penting lho.
BalasHapus