MADE OF SAMPAH
Sampah. Sesungguhnya hidup kita belum lagi bisa lepas
dari sampah. Coba saja tengok makan siang kita hari ini. Sebungkus tipat cantok
plus es gula, misalnya. Tipat cantok
dibungkus kertas minyak biasa yang berwarna cokelat dan diikat karet. Es gula
dibungkus plastik bening ukuran setengah kilo berikut sebatang sedotan yang
bisa bengkok di ujungnya. Kedua menu ini juga dibungkus lagi dengan kresek
berwarna hitam. Setelah rampung menyantap makanan, bungkus yang beragam jenis
itu kita buang. Syukur-syukur ke tong sampah. Atau mungkin, dikumpulkan dahulu
di plastik bekas belanja atau di trash
bag yang berwarna hitam. Sehari atau dua hari kemudian, kita buang ke
tempat pembuangan sementara, sebelum akhirnya diangkut oleh pasukan kebersihan
ke tempat pembuangan akhir. Begitu seterusnya. Hari ke hari, bulan ke bulan,
tahun ke tahun. Rumah kita sih bersih,
bebas dari sampah. Tapi, coba bayangkan kondisi tempat pembuangan akhir.
Menumpuk terus. Belum lagi ceritanya kalau sampah itu kita buang sembarangan. Kalau
sampah itu diganggu oleh tikus, kucing, dan hewan sejenisnya. Kalau sampah itu,
belum diangkut oleh pasukan kebersihan.
Oke, mari kita
menghentikan sejenak pengandai-andai-an kita. Coba kita tengok fakta dan angka-angka
tentang sampah. Setiap hari, ternyata rata-rata manusia Indonesia menghasilkan
sampah sebanyak 0,5 – 0,8 kilogram. Sangat produktif, dalam produksi sampah. Jika
ditotal, maka timbunan sampah akan menjadi sebesar 175 ton per hari atau setara
64 juta ton dalam setahun. Lebih keren
lagi, Indonesia menduduki ranking kedua sebagai negara penghasil sampah plastik
terbesar di dunia, bertengger tepat di bawah Tiongkok sebagai pemuncak
klasemen. Prestasi yang sama juga diraih Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik
di lautan dunia. Penelitian dari University of Georgia mencatat bahwa sekitar
4,8 – 12,7 juta metrik ton sampah plastik memasuki lautan pada tahun 2010, atau
setara dengan 1,3 berat piramida Mesir. Oh
mungkin wajar saja, karena jumlah penduduk Indonesia yang sedemikian gede-nya, 250 juta jiwa (urutan keempat
di dunia). Ini berarti produktivitas sampah penduduk Indonesia berhasil menyalip
India dan Amerika Serikat, yang penduduknya berada di urutan kedua dan ketiga
di dunia. Belum lagi jumlah penduduk Indonesia akan terus tumbuh sekitar 1,5
per tahunnya. Maka, diprediksi pada 2019, produksi sampah di Indonesia akan
menyentuh angka 67,1 juta ton sampah. Setara dengan 122 kali areal Gelora Bung
Karno (GBK), atau mungkin setara dengan satu kali luas Pulau Nusa Penida, Bali.
Bali? Bagaimana dengan Bali? Pulau yang sedemikian
eksotisnya, hingga didatangi sekitar 4 (empat) juta wisatawan setiap tahunnya
atau sama dengan jumlah penduduk Bali (empat jutaan juga). Lalu, apakah kegiatan
wisata yang sedemikian massif-nya tidak meninggalkan masalah lingkungan,
terutama sampah? Apakah penduduk Bali juga rata-rata se-produktif orang
Indonesia pada umumnya, yang memproduksi sekitar 0,5 – 0,8 kilogram sampah per
harinya? Belum lagi, Bali yang kental dengan kegiatan seremonial, yang pastinya
meninggalkan sampah sisa upakara. Nah! inilah salah satu kekhas-an problema
sampah di Bali. Tidak hanya bersumber dari sampah rumah tangga pada umumnya,
melainkan juga sampah dari aktivitas wisata dan upacara ritual keagamaan. Mari
kita telaah lebih dalam mengenai ini. Apakah Bli Made akan tetap membuang
sampah sisa hari raya Galungan di samping kali dekat rumahnya? Apakah Mister
Jhon akan tetap membuang bungkus Pizza yang ia beli di sembarang tempat? Atau
justru akan ada resolusi baru terhadap problematika ini?
Mari kita lihat. Data di UPT Persampahan Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Bali tahun 2014, menujukkan bahwa rata-rata volume sampah per
hari di Bali sebesar 10.005,83 meter kubik atau sekitar 2.500 ton. Ini-pun
hanya data sampah yang secara resmi terbuang di TPA, tidak memasukkan
sampah-sampah yang dibuang atau ditindaklanjuti dengan cara lainnya. Misalnya,
sampah yang dibuang sembarangan, dihanyutkan ke sungai, ditimbun, dibakar, dan
syukur-syukur dimasukkan ke Bank Sampah. Diduga, sampah-sampah yang demikian
berkisar antara 15 – 30 persen atau sekitar 375 – 750 ton sampah tidak sampai
di tempat pembuangan akhir. Mirisnya lagi, kira-kira sepertiga dari sampah yang
terbuang atau sekitar 3.452 meter kubik adalah sampah plastik. Sekali lagi,
sampah plastik. Sampah yang begitu menyusahkan bagi lingkungan, karena susah
terdegradasi. Jika disetarakan, maka akan sama dengan sampah yang diangkut oleh
1150 truk sampah, yang jika dibariskan dapat memanjang sekitar 4,6 kilometer. Cukup
untuk memacetkan jalan sepanjang tol Bali Mandara dari gerbang tol Pelabuhan
Benoa hingga exit toll di Bandara
Ngurah Rai. Secara regional, Kota Denpasar mendapatkan gelar sebagai produsen
sampah terbesar, dengan volume sebesar 2.754 meter kubik per hari. Disusul
kemudian Kabupaten Buleleng dengan volume sebesar 2.028 meter kubik per hari.
Penduduk Bali juga cukup produktif dalam menciptakan
sampah. Diperkirakan, masing-masing orang menghasilkan sampah sekitar 3,5
sampai 4 liter atau 1,4 kilogram per hari. Ini pun dengan catatan: dalam
kondisi normal. Karena volume sampah ini ber-siklus, masih berkorelasi positif
dengan puncak perayaan hari-hari besar tertentu. Di Denpasar misalnya,
disebutkan bahwa saat hari raya Galungan yang jatuh pada Februari 2016 lalu,
terjadi kenaikan volume sampah yang sangat signifikan. Sebesar 50 persen,
dibandingkan hari-hari biasa. Belum lagi Galungan sebelumnya, yang jatuh
berdekatan dengan hari raya Idul Fitri, volume sampah mengalami kenaikan
sebesar 60 – 70 persen. Sampah-sampah sisa upacara keagamaan, seperti canang,
bunga, dupa, korek kayu, yang dibungkus plastik pasti terlihat menumpuk di
sekitaran tempat pembuangan sampah. Lebih tragis lagi, ada yang mem-posting beberapa sampah canang yang
berserak di pelataran Pura. Pelataran yang digunakan umat yang bersembahyang
untuk duduk bersila dan bersimpuh memanjatkan doa-doa kepada Tuhan. Mungkin
kondisi demikian terus saja berulang, tiap enam bulan, tiap tahun. Belum lagi,
aktivitas wisatawan di Bali yang ‘norak’: menikmati keindahan objek tapi tidak
mengindahkan tindak-tanduknya terhadap lingkungan. Pantai-pantai yang sangat
ramai dikunjungi wisatawan seperti Pantai Kuta, Sanur, Nusa Dua tak luput dari
permasalahan sampah. Terutama sampah plastik. Di Pantai Kuta misalnya,
rata-rata timbunan sampah per hari bisa mencapai 30 ton, sudah termasuk sampah
kiriman yang bermuara ke pantai yang katanya eksotis ini. Intinya adalah,
sampah di Bali akan terus meningkat. Seiring dengan meningkatnya kuantitas
penduduk berikut gaya hidup tak ramah lingkungan, semakin tingginya ambisi
untuk mendatangkan jumlah wisatawan yang lebih banyak lagi, dan semakin
semarak-nya upacara ritual keagamaan oleh orang Bali. Bisa dibayangkan apa
jadinya Bali pada tahun 2050 nanti?
Telah banyak opini, solusi, kebijakan pemerintah, dan
aksi individu maupun sosial dalam menekan dan menanggulangi permasalahan
sampah. Langkah-langkah preventif maupun represif sudah sejak dahulu
digembor-gemborkan dan diaktualisasikan. Sayangnya, kepedulian bahwa sampah
adalah masalah yang paling intim dengan manusia dan sampah sebagai masalah
bersama (kolektif), belum dirasakan seutuhnya oleh siapapun, oleh manusia itu
sendiri. Cobalah pejamkan mata kita sejenak. Merenung. Membayangkan pesan-pesan
guru sedari kita SD dahulu. “Jangan buang sampah sembarangan, ya Nak”. Bahwa,
sejak dahulu kita sudah didoktrin seperti itu. Dan anggap saja, kita sering
lupa dengan doktrin itu. Maka, mulai dari detik sekarang, mari kita
mengembalikan doktrin itu menjadi aksi simpel yang setiap hari akan kita
lakukan. Selain itu, sebagai manusia Bali, kita juga telah dibekali pegangan
hidup yang bisa menjadi panduan kita dalam mencintai hidup dan sekitarnya. Tri
Hita Karana, yang salah satunya menuangkan konsep Palemahan: hubungan yang
harmonis manusia dengan lingkungan. Maka, saat manusia bisa mengontrol
perilaku-nya untuk tidak merusak alam lingkungan, maka otomatis alam menjadi
sahabat manusia. Membuang sampah di got dan sungai akan menyisakan bencana
banjir. Menimbun sampah di sembarang tempat akan mendatangkan kuman dan
penyakit. Membakar sampah akan menciptakan gas rumah kaca baru, yang semakin
memanaskan bumi ini. Maka, melaksanakan pola hidup Go Green, bahasa keren dari implementasi konsep Palemahan yang
sedari dulu diwariskan oleh leluhur orang Bali, harus disegerakan.
Benang merah konsep Palemahan ini, bahwa ia juga tidak
bisa sepenuhnya dilepaskan dengan dua konsep besar lainnya: Parahyangan dan
Pawongan. Pemujaan atas kemaha-agungan Tuhan melalui rangkaian upacara-upacara ritual
keagamaan, juga tidak elok jika diikuti dengan sikap dan perilaku yang tidak bijak
terhadap lingkungan. Selesai bersembahyang, kita masih punya tangan yang bisa
diarahkan untuk memungut bekas bunga, dupa, canang
untuk membuangnya ke tong sampah terdekat. Usahakan juga agar mengurangi
penggunaan plastik sebagai pembungkus sarana upacara dan beralih menggunakan
wadah yang lebih sopan: nampan, keben,
dan sebagainya. Juga terkait pawongan, kita juga bisa mengajak dan mengarahkan
orang-orang di sekitar termasuk himbauan ke wisatawan untuk berkepedulian
terhadap sampah. Sementara, kebijakan pemerintah dalam menerapkan kantong
plastik berbayar di sejumlah gerai ritel, juga sejauh ini cukup efektif dalam
menekan residu sampah plastik. Dari 27 kota yang menjadi sampel awal, Kota
Denpasar menjadi satu-satunya daerah di Bali yang menjadi sasaran pendahuluan-nya.
Data dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menunjukkan efek positif
dari kebijakan ini, yaitu mampu menekan sekitar separuh (50 persen) dari
penggunaan sampah plastik. Setelah ini, akan masih banyak lagi ide-ide hijau
yang bergulir, seperti menaikkan lagi harga kantung plastik, menggantinya
dengan reuseable bag atau kardus bekas, juga pemberian insentif kepada konsumen yang
membawa kantung belanja sendiri.
Sampah juga bernilai seni dan ekonomi. Tentu nilai ini
akan muncul setelah seseorang selesai berkutat dengan masalah sampah dan
menemukan peluang dari sampah itu sendiri. Sampah yang beragam jenisnya
kemudian dipilah-pilah sesuai karakteristiknya. Ada yang sampah organik –
berasal dari makhluk hidup yang sangat mudah membusuk atau dibusukkan, seperti
sisa makanan, sisa canang dan banten, dedaunan, ranting pohon, buah, dan
sebagainya. Kedua, sampah anorganik (non-organik) – berasal dari non hayati
berupa produk sintetik yang tidak dapat atau tidak mudah terurai oleh alam,
seperti sampah plastik dan kertas. Dan terakhir, sampah residu – merupakan sampah
yang tidak dapat digunakan lagi (reuse)
dan tidak dapat diolah (recycle) juga
tidak mempunyai nilai ekonomi dan sulit terdekomposisi, seperti sisa
obat-obatan, bahan kimia, sisa minyak goreng, dan sebagainya.
Langkah represif terhadap ketiga model sampah ini kita
kenal dengan istilah 4R (Reduce, Reuse,
Recycle, dan Replace). Sampah organik sudah sangat populer di-reduce menjadi pupuk kompos yang bisa
mengembalikan keberfungsian dan kesuburan tanah. Sampah anorganik biasanya
masuk ke Bank Sampah, kemudian di-recycle
menjadi barang-barang baru yang bernilai ekonomi. Bli I Made Bayak
misalnya, seniman Bali yang mengubah sampah plastik menjadi karya seni yang luar
biasa. Ia mempopulerkan gerakan ini ke masyarakat dengan jargon “Plasticology”.
Pak Wayan Patut, sosok nelayan Serangan, juga berhasil memberdayakan
perempuan-perempuan di Pulau Serangan dalam mengolah sampah plastik di
pulaunya. Terobosan-terobosan produk kreatif yang reuse dan replace juga
sudah mulai muncul ke permukaan. Hadirnya produk dupa isi ulang yang tak lagi
menggunakan bungkus plastik salah satunya. Sementara, sampah residu yang belum
banyak memberikan manfaat secara ekonomi dapat dihantarkan ke tempat pembuangan
akhir untuk selanjutnya ditindaklanjuti secara bijak. Di Bali sendiri, nilai
ekonomi dari sampah yang terbuang tiap tahunnya diperkirakan sebesar 4 (empat)
triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis, dan tidak menjadi fantastis jika dibiarkan
begitu saja. Terbuang percuma.
Terlepas dari angka yang sedemikian besarnya itu, setidaknya
kita masih punya pikiran, tenaga, dan waktu untuk berkontribusi terhadap
lingkungan. Mulai dari hal-hal kecil, lalu konsisten. Sekali lagi, tidak
membuang sampah sembarangan, menekan penggunaan sampah plastik, hingga berujung
pada pemanfaatan sampah yang lebih bijak ke depannya. Bekal kepedulian dan
nilai-nilai budaya sudah seyogyanya selalu menjadi pegangan ke depan. Lebih
optimistis lagi, bahwa dunia ke depan akan semakin mengganaskan program sustainability development yang memaksa
manusia untuk senantiasa berperilaku hidup ramah lingkungan, mempraktekkan
secara benar ajaran Palemahan dalam Tri Hita Karana. Di Eropa sendiri, mulai
tahun ini akan menerapkan kebijakan ekonomi sirkular. Dimana sampah tidak akan lagi
dipandang sebagai residual atau keluaran (output), melainkan akan diperlakukan
juga sebagai masukan (input). Akan ada sebuah industri baru dimana semua sampah
akan digunakan kembali dalam proses produksi, hingga tidak bersisa dan
mencemari lingkungan. Berputar terus, ber-sirkulasi. Strategi dan policy yang sama, tentunya kita harap
juga akan diberlakukan di negeri yang indah ini.
Semoga.
0 komentar: