DI BALIK LENSA: EKS 0 KM JAKARTA
Sejarah telah banyak dilupakan, tidak banyak pula yang
meminatinya. Sebut saja, suatu titik permulaan dari sebuah kota yang menjadi
sentral pemerintahan dan bisnis Indonesia – Jakarta. Banyak yang tak tahu,
dimana lokasi titik nol kota ini berada. Jikalau pun ada yang menjawab,
jawabannya saat ini adalah Monumen Nasional (Monas) sebagai ikon ‘pasaran’
ibukota Jakarta. Pertanyaannya adalah apakah iya monumen yang dibangun paska
kemerdekaan itu adalah titik awal kota pusaka Jakarta? Padahal kita tahu
Jakarta sendiri sudah ‘tua’ dan sudah menginjak usia yang ke-488 tahun. Lalu,
jika bukan Monas, apakah ada bangunan atau saksi bisu lain yang menerangkan
awal sejarah Jakarta?
Menemukan dan Dipertemukan
Ada ! Hasil riset ‘kecil-kecilan’ mengantarkan pada satu
titik lokasi yang menerangkan bahwa di lokasi itu adalah titik 0 kilometer
Jakarta pada masa lalu. Ialah Menara Syahbandar, sebuah menara setinggi 12
meter ini dibangun sekitar tahun 1839 sebagai menara yang berfungsi sebagai
menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia. Konon,
bangunan inilah yang paling tinggi pada masa itu. Dan, pada tahun 1977 menara
ini dijadikan sebagai penanda astronomi titik 0 kilometer kota Jakarta yang
ditandatangani Gubernur Ali Sadikin.
Akan tetapi, film ini tidak akan bercerita tentang
Menara Syahbandar sebagai titik 0 kilometer Jakarta secara astronomi. Nol
kilometer disini lebih dimaknai pada sejarah Kota Jakarta yang ‘bermula’ dari
peran Menara Syahbandar sebagai pintu gerbang bangsa-bangsa asing untuk
membangun sejarah peradaban baru di Kota Jakarta. Selain itu, nol kilometer
juga dimaknai sebagai titik awal dari suatu perubahan.
Mencari Sudut Pandang yang Tepat
Film ini akan memotret Menara Syahbandar sebagai objek
sentral (utama) yang digali melalui nilai-nilai historis, eksistensi
kekiniannya, dan upaya konservasi yang dilakukan. Suara bangunan ini akan
dihidupkan melalui subjek-subjek yang akan bercerita dalam film ini.
Nilai-nilai historis
mencakup sejarah awal mula Kota Batavia (Jakarta) dari pelabuhan Sunda Kelapa
hingga terkait dengan keberadaan Menara Syahbandar. Dibubuhi informasi
pendukung lain, yang berkaitan dengan ‘perjalanan’ Menara Syahbandar dari masa
ke masa.
Eksistensi kekinian
maksudnya keberadaan bangunan pada masa kini. Mulai dari ‘konflik internal’,
yaitu posisi bangunan yang miring mencapai 20 derajat karena tekanan truk-truk
dan kendaraan berat yang lalu lalang di Jalan raya di depan menara ini. Bahkan,
menara ini seperti bergetar (terasa seperti ada gempa) ketika kendaraan
tersebut melewati bangunan ini. Sedangkan dari sisi ‘konflik eksternal’, yaitu
respons dari masyarakat sekitar tentang sejauh mana pemahamannya pada bangunan
bersejarah ini.
Upaya konservasi disini
akan menjelaskan pemecahan-pemecahan masalah dari dua konflik yang dikemukakan
di atas. Seperti upaya rehabilitasi/pemugaran fisik yang telah dilakukan dan
rencana ke depannya. Termasuk, bagaimana memberikan edukasi dan memberikan
nilai guna (baik secara lingkungan dan ekonomi) terutama kepada masyarakat
sekitar. Sehingga, keberadaan bangunan bersejarah ini juga turut memberdayakan
dan ‘menghidupkan’ masyarakat sekitarnya.
Maka dari itu, film EKS 0 KM JAKARTA bisa dipandang dari
dua sudut masa yang berbeda. Dari sisi sejarah, bangunan ini memang adalah
bekas penanda titik nol Jakarta dan menjadi saksi bisu sejarah awal mula Kota
Jakarta. Sedangkan jika dilihat dalam sudut pandang saat ini, kata “eks” bisa
dihapuskan/dihilangkan, karena 0 kilometer bermakna sebagai awal dari
revolusi/perubahan dari apapun yang berkaitan dengan objek sentral ini, pemberdayaan
masyarakat misalnya.
Berkutat dengan Alat
Produksi film ini diawali dari empat orang sejoli:
Yusa, Wika, Sulis, dan Sholeh merencanakan proyek mini pembuatan film
dokumenter, lebih tepatnya untuk belajar dan mengasah kemampuan di lapangan. Kebetulan
niat kami berempat dipertemukan dengan lomba film dokumenter yang
diselenggarakan oleh Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat yang bekerja sama dengan Antara Foto. Tema lombanya adalah “Heritage Cities in Indonesia” yang
kurang lebih mengangkat tentang pesona bangunan-bangunan bersejarah di
kota-kota pusaka yang tersebar di Indonesia. Dan kami berempat mencoba
peruntungan di lomba ini. Hanya sekadar mencoba, lebih jujurnya lomba ini hanya
sekadar pecut untuk melesatkan niat dan kemampuan ke depan.
Berbekal riset kecil-kecilan, mulai dari mengorek-orek
informasi di media cetak maupun online, akhirnya kami dipertemukan dengan objek
ini: Menara Syahbandar di Penjaringan, Jakarta Utara. Kami membaca dan
mengumpulkan bahan-bahan yang dapat memperkokoh keyakinan kami untuk menjadikan
objek ini sebagai kandidat utama film. Setelah dirasa cukup, rasa ingin tahu
kemudian mengantarkan kami menuju objek ini. Akhir bulan Februari, kami pun meluncur ke
lokasi dengan bekal informasi dari google
maps, seorang ahli penunjuk jalan di dunia maya sana. Kesan pertama sampai
di objek bersejarah ini adalah: “Ternyata di Jakarta juga ada bangunan miring
seperti Menara Pisa di Italia, sana”. Iya, objek bersejarah ini memang nampak
agak condong jika dilihat dari sepanjang Jalan Pakin, daerah yang baru pertama
kali saya jelajahi ini. Mulai dari siang menjelang sore hari, kami lebih banyak
menghabiskan waktu dengan memotret dan berjalan-jalan di sekitar untuk mencari
informan yang dapat kami interview. Bahan yang terkumpul pun dirasa sudah
cukup, dan akhirnya kami mencoba merampungkan bekal untuk produksi film ini.
Dan kami sepakat, disinilah film ini akan diproduksi.
Tak izin maka tak sayang, maka setelah proposal awal
rampung dan surat izin disiapkan, kami kembali ke Menara Syahbandar untuk mohon
izin produksi film kurang lebih selama sebulan, kepada UPT. Museum Bahari
Jakarta, unit yang mengelola Menara Syahbandar. Senyum ramah menyapa kami, Bu
Wulandari, selaku Kepala Tata Usaha UPT Musem Bahari, memberikan kesempatan
kepada kami untuk menjamah Menara Syahbandar secara cuma-Cuma untuk objek film
kami. Tentu izin ini kami kantongi setelah kami membicarakan secara jujur film ini
bukan untuk areal komersil, hanya untuk bahan belajar yang didanai dari uang
jajan sehari-hari. Terima kasih Bu Wulan.
Film ini kami produksi di setiap akhir pekan bulan
Maret 2015. Mulai dari matahari terbit hingga terbenam, mulai dari kabut asap
pagi hingga kepulan asap knalpot di senja tiba. Menara Syahbandar dengan setiap
sudutnya kami tangkap dengan bekal kamera seadanya. Dua dari tiga kamera
digital yang kami gunakan berasal dari pinjaman rekan kami, sisanya alat-alat
yang kami gunakan pun masih terbilang sangat sangat terbatas. Tak ketinggalan,
kami juga mengunjungi permukiman warga Pakin yang tergolong agak marjinal,
sebagaimana permukiman kumuh lain di pinggiran ibukota ini. Kami juga sempat
berbincang-bincang dengan warga RT 04, mengenang nostalgia masa kecil mereka
ketika bermain-main di areal Menara Syahbandar, saksi bisu masa kecil mereka. Di
suatu sore, kami juga menyempatkan diri menyewa perahu motor nelayan disana,
hanya untuk mengambil potongan gambar senja hari di pesisir Sunda Kelapa yang
tepat mengarah ke kepala Menara Syahbandar.
Pak Isa, seorang sejarawan yang kebetulan bekerja di
Museum Bahari kami angkat menjadi tokoh sentral di film ini. Suara-suara Pak
Isa menjadi narasi yang menyuarakan kebisuan bangunan sejarah ini. Pertanyaan
seputar sejarah, perjalanan menara hingga kini, interaksi masyarakat, ancaman
yang dialami, dan harapan menjadi topik yang cungkil dari pemikiran Pak Isa. Tak
cukup dari Pak Isa, kami pun mengangkat Pak Catur, seorang pemandu wisata, yang
sudah lama malang melintang di objek ini. Termasuk, beberapa suara-suara warga
sekitar dan pengunjung objek yang kami harap menjadi pelangi-pelangi kecil
dalam film nanti. Dan, sebulan berkutat dengan alat telah menguras dan
melelahkan bagi kami, dan hasil pengambilan gambar telah menjadi air suci yang
menolong kami dari dahaga yang menyiksa di lapangan.
Selesai berkutat dengan kamera, kini kami dipaksa
harus menatap laptop untuk merangkai keping-kepingan video mentah menjadi film.
Sebulan juga lamanya. Hingga, akhir April 2015 film ini kami cetak terbatas ke
dalam DVD untuk sekadar bingkisan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
penyelesaian film ini. Tak lupa, satu keping kami tujukan untuk lomba film
dokumenter Kota Pusaka berikut formulir pendaftaran sebagai pengantarnya. Film
ini kami hantarkan langsung ke empunya acara, Antara Foto di kawasan Pasar
Baru. Dan, 30 April 2015 film ini kami rilis perdana di youtube untuk turut
memperkenalkan objek yang belum banyak dikenal ini.
Link film : https://youtu.be/xvjc2vX-qw0
Kemenangan yang Tertunda
10 Mei 2015 adalah hari yang ditunggu-tunggu para
peserta lomba ini. Hingga sore menjelang tak kunjung diumumkan juga, mungkin
karena saking alotnya penjurian. Dan hasilnya, cover film kami sama sekali
tidak terpampang di pengumuman jawara. Kami menang, tapi bukan dalam lomba ini.
Kami menang karena berhasil menaklukkan rasa penasaran dan keingintahuan kami
dalam membuat film. Mungkin ini adalah awal dari semangat belajar ini. Seperti
sebuah titik nol, sebuah permulaan untuk belajar menghadapi bilangan-bilangan
yang ada di depan. Begitu juga dengan
Anda, anak muda beda dan berbahaya, cobalah bermimpi. Injakkan kakimu di garis
start nol kilometer, dan lesatkan usahamu. Selamat mencoba.
0 komentar: