DI BALIK LENSA: EKS 0 KM JAKARTA

07.59 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Sejarah telah banyak dilupakan, tidak banyak pula yang meminatinya. Sebut saja, suatu titik permulaan dari sebuah kota yang menjadi sentral pemerintahan dan bisnis Indonesia – Jakarta. Banyak yang tak tahu, dimana lokasi titik nol kota ini berada. Jikalau pun ada yang menjawab, jawabannya saat ini adalah Monumen Nasional (Monas) sebagai ikon ‘pasaran’ ibukota Jakarta. Pertanyaannya adalah apakah iya monumen yang dibangun paska kemerdekaan itu adalah titik awal kota pusaka Jakarta? Padahal kita tahu Jakarta sendiri sudah ‘tua’ dan sudah menginjak usia yang ke-488 tahun. Lalu, jika bukan Monas, apakah ada bangunan atau saksi bisu lain yang menerangkan awal sejarah Jakarta?

Menemukan dan Dipertemukan

Ada ! Hasil riset ‘kecil-kecilan’ mengantarkan pada satu titik lokasi yang menerangkan bahwa di lokasi itu adalah titik 0 kilometer Jakarta pada masa lalu. Ialah Menara Syahbandar, sebuah menara setinggi 12 meter ini dibangun sekitar tahun 1839 sebagai menara yang berfungsi sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia. Konon, bangunan inilah yang paling tinggi pada masa itu. Dan, pada tahun 1977 menara ini dijadikan sebagai penanda astronomi titik 0 kilometer kota Jakarta yang ditandatangani Gubernur Ali Sadikin.
Akan tetapi, film ini tidak akan bercerita tentang Menara Syahbandar sebagai titik 0 kilometer Jakarta secara astronomi. Nol kilometer disini lebih dimaknai pada sejarah Kota Jakarta yang ‘bermula’ dari peran Menara Syahbandar sebagai pintu gerbang bangsa-bangsa asing untuk membangun sejarah peradaban baru di Kota Jakarta. Selain itu, nol kilometer juga dimaknai sebagai titik awal dari suatu perubahan.

Mencari Sudut Pandang yang Tepat

Film ini akan memotret Menara Syahbandar sebagai objek sentral (utama) yang digali melalui nilai-nilai historis, eksistensi kekiniannya, dan upaya konservasi yang dilakukan. Suara bangunan ini akan dihidupkan melalui subjek-subjek yang akan bercerita dalam film ini.
Nilai-nilai historis mencakup sejarah awal mula Kota Batavia (Jakarta) dari pelabuhan Sunda Kelapa hingga terkait dengan keberadaan Menara Syahbandar. Dibubuhi informasi pendukung lain, yang berkaitan dengan ‘perjalanan’ Menara Syahbandar dari masa ke masa.
Eksistensi kekinian maksudnya keberadaan bangunan pada masa kini. Mulai dari ‘konflik internal’, yaitu posisi bangunan yang miring mencapai 20 derajat karena tekanan truk-truk dan kendaraan berat yang lalu lalang di Jalan raya di depan menara ini. Bahkan, menara ini seperti bergetar (terasa seperti ada gempa) ketika kendaraan tersebut melewati bangunan ini. Sedangkan dari sisi ‘konflik eksternal’, yaitu respons dari masyarakat sekitar tentang sejauh mana pemahamannya pada bangunan bersejarah ini.
Upaya konservasi disini akan menjelaskan pemecahan-pemecahan masalah dari dua konflik yang dikemukakan di atas. Seperti upaya rehabilitasi/pemugaran fisik yang telah dilakukan dan rencana ke depannya. Termasuk, bagaimana memberikan edukasi dan memberikan nilai guna (baik secara lingkungan dan ekonomi) terutama kepada masyarakat sekitar. Sehingga, keberadaan bangunan bersejarah ini juga turut memberdayakan dan ‘menghidupkan’ masyarakat sekitarnya.
Maka dari itu, film EKS 0 KM JAKARTA bisa dipandang dari dua sudut masa yang berbeda. Dari sisi sejarah, bangunan ini memang adalah bekas penanda titik nol Jakarta dan menjadi saksi bisu sejarah awal mula Kota Jakarta. Sedangkan jika dilihat dalam sudut pandang saat ini, kata “eks” bisa dihapuskan/dihilangkan, karena 0 kilometer bermakna sebagai awal dari revolusi/perubahan dari apapun yang berkaitan dengan objek sentral ini, pemberdayaan masyarakat misalnya.

Berkutat dengan Alat

Produksi film ini diawali dari empat orang sejoli: Yusa, Wika, Sulis, dan Sholeh merencanakan proyek mini pembuatan film dokumenter, lebih tepatnya untuk belajar dan mengasah kemampuan di lapangan. Kebetulan niat kami berempat dipertemukan dengan lomba film dokumenter yang diselenggarakan oleh Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bekerja sama dengan Antara Foto. Tema lombanya adalah “Heritage Cities in Indonesia” yang kurang lebih mengangkat tentang pesona bangunan-bangunan bersejarah di kota-kota pusaka yang tersebar di Indonesia. Dan kami berempat mencoba peruntungan di lomba ini. Hanya sekadar mencoba, lebih jujurnya lomba ini hanya sekadar pecut untuk melesatkan niat dan kemampuan ke depan.
Berbekal riset kecil-kecilan, mulai dari mengorek-orek informasi di media cetak maupun online, akhirnya kami dipertemukan dengan objek ini: Menara Syahbandar di Penjaringan, Jakarta Utara. Kami membaca dan mengumpulkan bahan-bahan yang dapat memperkokoh keyakinan kami untuk menjadikan objek ini sebagai kandidat utama film. Setelah dirasa cukup, rasa ingin tahu kemudian mengantarkan kami menuju objek ini.  Akhir bulan Februari, kami pun meluncur ke lokasi dengan bekal informasi dari google maps, seorang ahli penunjuk jalan di dunia maya sana. Kesan pertama sampai di objek bersejarah ini adalah: “Ternyata di Jakarta juga ada bangunan miring seperti Menara Pisa di Italia, sana”. Iya, objek bersejarah ini memang nampak agak condong jika dilihat dari sepanjang Jalan Pakin, daerah yang baru pertama kali saya jelajahi ini. Mulai dari siang menjelang sore hari, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan memotret dan berjalan-jalan di sekitar untuk mencari informan yang dapat kami interview. Bahan yang terkumpul pun dirasa sudah cukup, dan akhirnya kami mencoba merampungkan bekal untuk produksi film ini. Dan kami sepakat, disinilah film ini akan diproduksi.
Tak izin maka tak sayang, maka setelah proposal awal rampung dan surat izin disiapkan, kami kembali ke Menara Syahbandar untuk mohon izin produksi film kurang lebih selama sebulan, kepada UPT. Museum Bahari Jakarta, unit yang mengelola Menara Syahbandar. Senyum ramah menyapa kami, Bu Wulandari, selaku Kepala Tata Usaha UPT Musem Bahari, memberikan kesempatan kepada kami untuk menjamah Menara Syahbandar secara cuma-Cuma untuk objek film kami. Tentu izin ini kami kantongi setelah kami membicarakan secara jujur film ini bukan untuk areal komersil, hanya untuk bahan belajar yang didanai dari uang jajan sehari-hari. Terima kasih Bu Wulan.
Film ini kami produksi di setiap akhir pekan bulan Maret 2015. Mulai dari matahari terbit hingga terbenam, mulai dari kabut asap pagi hingga kepulan asap knalpot di senja tiba. Menara Syahbandar dengan setiap sudutnya kami tangkap dengan bekal kamera seadanya. Dua dari tiga kamera digital yang kami gunakan berasal dari pinjaman rekan kami, sisanya alat-alat yang kami gunakan pun masih terbilang sangat sangat terbatas. Tak ketinggalan, kami juga mengunjungi permukiman warga Pakin yang tergolong agak marjinal, sebagaimana permukiman kumuh lain di pinggiran ibukota ini. Kami juga sempat berbincang-bincang dengan warga RT 04, mengenang nostalgia masa kecil mereka ketika bermain-main di areal Menara Syahbandar, saksi bisu masa kecil mereka. Di suatu sore, kami juga menyempatkan diri menyewa perahu motor nelayan disana, hanya untuk mengambil potongan gambar senja hari di pesisir Sunda Kelapa yang tepat mengarah ke kepala Menara Syahbandar.
Pak Isa, seorang sejarawan yang kebetulan bekerja di Museum Bahari kami angkat menjadi tokoh sentral di film ini. Suara-suara Pak Isa menjadi narasi yang menyuarakan kebisuan bangunan sejarah ini. Pertanyaan seputar sejarah, perjalanan menara hingga kini, interaksi masyarakat, ancaman yang dialami, dan harapan menjadi topik yang cungkil dari pemikiran Pak Isa. Tak cukup dari Pak Isa, kami pun mengangkat Pak Catur, seorang pemandu wisata, yang sudah lama malang melintang di objek ini. Termasuk, beberapa suara-suara warga sekitar dan pengunjung objek yang kami harap menjadi pelangi-pelangi kecil dalam film nanti. Dan, sebulan berkutat dengan alat telah menguras dan melelahkan bagi kami, dan hasil pengambilan gambar telah menjadi air suci yang menolong kami dari dahaga yang menyiksa di lapangan.
Selesai berkutat dengan kamera, kini kami dipaksa harus menatap laptop untuk merangkai keping-kepingan video mentah menjadi film. Sebulan juga lamanya. Hingga, akhir April 2015 film ini kami cetak terbatas ke dalam DVD untuk sekadar bingkisan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu penyelesaian film ini. Tak lupa, satu keping kami tujukan untuk lomba film dokumenter Kota Pusaka berikut formulir pendaftaran sebagai pengantarnya. Film ini kami hantarkan langsung ke empunya acara, Antara Foto di kawasan Pasar Baru. Dan, 30 April 2015 film ini kami rilis perdana di youtube untuk turut memperkenalkan objek yang belum banyak dikenal ini.


Kemenangan yang Tertunda

10 Mei 2015 adalah hari yang ditunggu-tunggu para peserta lomba ini. Hingga sore menjelang tak kunjung diumumkan juga, mungkin karena saking alotnya penjurian. Dan hasilnya, cover film kami sama sekali tidak terpampang di pengumuman jawara. Kami menang, tapi bukan dalam lomba ini. Kami menang karena berhasil menaklukkan rasa penasaran dan keingintahuan kami dalam membuat film. Mungkin ini adalah awal dari semangat belajar ini. Seperti sebuah titik nol, sebuah permulaan untuk belajar menghadapi bilangan-bilangan yang ada di depan.  Begitu juga dengan Anda, anak muda beda dan berbahaya, cobalah bermimpi. Injakkan kakimu di garis start nol kilometer, dan lesatkan usahamu. Selamat mencoba.

0 komentar: