LINGKUNGAN: KURBAN EKONOMI ?

21.31 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Kali ini saya kembali tergelitik menulis tentang selentingan ilmu ekonomi. Setelah kabar kabut asap yang melanda negeri ini tak kunjung reda, setelah kasus tambang pasir yang juga menambang manusia bernama Salim Kancil dan Tosan tak kunjung diselesaikan, setelah hutan masyarakat Mahuze di Papua dibabat habis untuk perkebunan sawit, dan setelah rencana megaproyek urug laut Teluk Benoa Bali belum juga dihentikan. Mungkin, masih banyak lagi setelah-setelah yang lain yang terjadi di negeri ini. Beragam sudut pandang ditarik dari beberapa masalah ini, mulai dari masalah hak asasi manusia, sosial dan budaya, lingkungan, ekonomi, hingga masalah politik. Dan saya akan mencoba menelisik dari sisi ekonomi lingkungan, ekonomi yang jarang dielu-elukan di tengah semangatnya negara ini mengejar pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yang masih juga dianak-tirikan, padahal yang akan menjadi korban adalah masa depan: anak, cucu, cicit kita nanti.

Berbicara mengenai isu ekonomi yang disejajarkan dengan lingkungan memang sangat luas sekali. Ekonomi lingkungan begitu dekat dengan gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang sudah dimulai sejak Malthus mencetuskan paham keberlanjutan pada tahun 1798. Dan kali ini, saya akan mencoba mengerucutkan benang merah ekonomi dan lingkungan dari bekal buku Pak Edmund Conway yang cukup menarik untuk dibongkar sembari memandang kondisi kekinian di negeri ini. Benarkah ekonomi telah mengurbankan lingkungan? Apakah manusia di masa depan akan merasakan ekonomi yang lebih dengan lingkungan yang lebih buruk atau sebaliknya? Atau merasakan ekonomi yang lebih baik dengan lingkungan yang lebih baik pula?

Sejarah telah mencatat. Bahwa evolusi besar-besaran ekononomi untuk manusia berjalan beriringan dengan eksploitasi sumber daya alam, terutama sejak Revolusi Industri yang dikomandoi oleh negara-negara Eropa. Batu bara dan minyak bumi dikeruk dan dikeruk untuk menjalankan mesin-mesin Eropa, lalu mengembangkan ekonomi, dan menciptakan kekayaan dan kemakmuran yang sedemikian pesatnya dalam beberapa abad terakhir. Tak pelak juga di Indonesia, propaganda “trickle down effects” alias ekonomi yang tumbuh nantinya akan menetes ke bawah, tepat di kerongkongan wong cilik menjadi senjata ampuh Pak Harto setelah menyelesaikan euforia menggulingkan rezim Orba. Keran hutang dari asing dibuka lebar-lebar, hutangnya berbunga kemudian bunganya jatuh tumbuh dan berbunga lagi, dan cara membayarnya lucu: menjual sumber daya alam Indonesia mentah-mentah. Kayu hutan Borneo dibabat habis, emas di bumi Papua dan tembaga di bumi NTB dilelang, bahkan modal manusia, orang-orang Indonesia dipaksa keluar negeri menjadi TKI. Semuanya dilakukan demi satu hal: pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menetes langsung ke kerongkongan rakyat. Sayang, lingkungan dan juga manusianya yang menjadi kurban, dan semua yang menjadi kurban dibungkam suaranya selama kurang lebih tiga puluh tahun.

Dan kini, kondisinya kurang lebih masih sama, sekalipun kesadaran akan hal ini sudah mulai berteriak kencang di permukaan. Dalam tataran global, banyak sekali penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara aktivitas eksploitasi alam untuk ekonomi dengan kerusakan lingkungan, seperti pembakaran bahan bakar fosil dengan pemanasan global. Lihat saja kondisi sekarang. Pelajaran sewaktu Sekolah Dasar yang menyebut musim hujan ada pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau ada pada April-September, dan ditengah-tengahnya ada musim peralihan alias pancaroba, kini hampir sudah tidak berlaku lagi. Kata lainnya, cuaca yang tidak menentu akibat pemanasan global. Tak hanya itu, es-es di kutub juga disebut-sebut telah mencair dan menaikkan permukaan air laut, lalu kemudian membanjiri beberapa kota-kota tepi laut di dunia seperti New York dan London. Di Indonesia juga banyak kota-kota rob (banjir air laut), seperti yang terjadi di Semarang dan Jakarta di daerah Sunda Kelapa. Reklamasi yang dilakukan manusia dengan dalih menciptakan kawasan ekonomi baru juga turut membantu menenggelamkan nelayan pesisir di sekitarnya. Seperti yang terjadi di daerah Tanjung Benoa, Bali pasca amburadulnya proyek reklamasi Pulau Serangan.

Peristiwa yang tidak menyenangkan semacam ini jelas akan membahayakan dunia di masa depan, dan oleh karenanya kita berhadapan dengan dilema besar. Apakah sebaiknya kita menghentikan aktivitas eksploitasi alam dan konsumsi bahan bakar fosil untuk menekan dampak perubahan iklim bagi generasi masa mendatang, walaupun hal ini berarti pertumbuhan ekonomi akan melemah dan kemiskinan yang lebih gemuk dari sekarang? Ataukah sebaliknya, kita terus melakukan apapun itu untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan mengasumsikan generasi esok menjadi lebih kaya dan lebih canggih dalam melawan dampak buruk dari perubahan iklim?

Teknologi dan kemajuannya. Mungkin ciptaan manusia ini diharapkan dan digadang-gadang menjadi pahlawan satu-satunya atas peperangan ini. Tak dapat dipungkiri, teknologi telah menjadi anggota tubuh baru yang menempel di sepanjang aktivitas manusia, apapun itu. Berkat roman Pak Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, saya menjadi paham bagaimana sejarah teknologi telah mampu mengubah manusia pribumi dari era yang penuh ke-manual-an dan ke-primitif-an ke era baru yang disebut sebagai modernisasi. Manusia yang semula diangkut dokar kuda hingga terus menerus ketergantungan, jelas akan menumbuhkan kota yang diikuti dengan bertambahnya jumlah kuda di jalanan, dan tentunya kota akan terkubur dalam tumpukan kotoran kuda. Tapi, Minke, tokoh utama dalam roman ini melihat pemecahan masalah ini, yaitu datangnya kuda besi, hasil peranakan orang-orang Jerman. Kuda besi tiada lain adalah sepeda, bagian dari sejarah perkembangan alat transportasi yang hingga kini melahirkan kuda besi – kuda besi lainnya: sepeda motor, mobil, bus, dan kereta api. Namun, peranakan kuda besi – kuda besi ini juga kembali mengkhawatirkan lingkungan akan kentut polusi yang dikeluarkan. Ekonomi terus tumbuh efisien, tapi lagi-lagi manusia dihadapkan pada permasalahan lingkungan. Mungkin, akan begitu seterusnya ketika kemudian dijawab oleh teknologi dan teknologi.

Kacaunya cuaca dan drastisnya perubahan iklim disebut-sebut sebagai contoh kegagalan pasar oleh Pak Nicholas Stern. Pasar yang serakah akan memproduksi apapun yang manusia butuhkan dan inginkan, sehingga jumlah barang yang disediakan pun menjadi lebih banyak. Industri-industri kian menjamur dengan asap hitam mengembul di corongnya, menandakan ekonomi terus terus dan terus lebih baik. Barang yang diproduksi dihargai secara signifikan secara ekonomi, kemudian dibeli oleh konsumennya. Tapi sayang, udara segar dan polusi yang lahir dari corong asap itu belum sepeserpun memiliki harga, tak banyak orang yang memperhatikannya. Udara adalah satu-satunya barang bebas yang tersisa saat ini, dan tidak seorang pun dipungut biaya jika menghirupnya. Tapi, apakah adil jika udara busuk dihirup masyarakat sekitar pabrik, sedangkan udara segar bisa dinikmati oleh pemilik-pemilik modal yang tinggal di negeri seberang sana? Dengan kualitas udara yang berbeda, seharusnya udara saat ini harus harus dihargai. Biaya aktual dari polusi udara seharusnya sangat mahal. Semahal biaya untuk melawan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan guna memastikan generasi esok dan anak cucu nantinya mendapatkan udara bersih di masa mendatang, dan secara adil. Jika hingga saat ini, kerusakan lingkungan masih tidak ada harganya, maka sama saja kita telah menginvestasikan udara terpolusi pada anak cucu lengkap dengan konsekuensinya. Dan inilah yang harus kita pelototi untuk melihat kasus kabut asap yang melanda negeri ini.

Pak Nicholas Stern, ekonom Inggris membeberkan bukti atas betapa seriusnya resiko dari tidak atau menunda tindakan penyelamatan lingkungan saat ini. Saat ini, kita menanggung resiko pada skala yang lebih besar dibandingkan dengan dua perang dunia pada abad terdahulu. Bahkan, masalah lingkungan telah menjadi masalah global dan tindakannya pun harus dilakukan secara global, tidak hanya oleh negara-negara penghasil emisi, negara paru-paru dunia, tapi semua negara. Laporan Pak Nicholas juga memperlihatkan biaya di masa mendatang untuk menekan dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim dapat menumpuk menjadi 20 persen dari total ekonomi dunia (Produk Domestik Bruto global), dibandingkan biaya yang digelontorkan saat ini yang hanya sebesar 1 persen dari total ekonomi dunia. Anak muda beda dan berbahaya, artinya anak cucu kita nantinya akan menanggung beban dua puluh kali lipat dibandingkan beban kita saat ini, jika kita hanya diam dan menunda tindakan penyelamatan lingkungan yang lebih serius lagi. Tega?

Di tahun 2050, para ilmuan sepakat bahwa guna mencegah dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, saat ini dunia harus mengurangi setengah dari emisi rumah kacanya. Manusia diminta melawan penggundulan hutan, yang berkontribusi 15-20 persen dalam peningkatan emisi gas rumah kaca global. Sayangnya, target semacam ini dirasa sangat sulit untuk dipenuhi, karena tidak semua orang atau negara menyadari pentingnya target ini dan pentingnya nafas anak cucu mereka. Karena pengurangan gas rumah kaca biasanya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah. Selama beberapa tahun, negeri besar semacam AS, Cina, dan Australia dikabarkan berulang kali mundur dari konsesus dalam janji pengurangan emisis global karena fobia akan kerusakan ekonomi mereka. Demikian juga dengan negara-negara berkembang seperti India dan Brazil juga menumpahkan opini bahwa mereka seharusnya tidak perlu bertanggung jawab untuk mengurangi emisi dengan menjaga hutan-hutan mereka. Karena perubahan iklim dianggap sebagai akibat dari revolusi industri dunia Barat, bukan dari ekonomi yang lebih muda. Termasuk Indonesia, yang terkesan setengah hati dalam memerangi penggundulan hutan dengan membiarkan hutan-hutannya terbakar atau mungkin dibakar, lalu kemudian sisa lahannya dijadikan kebun sawit.

Jadi, ekonomi tidak seharusnya mengurbankan lingkungan. Manusia harusnya sadar dan tidak merasa skeptis akan bukti yang ada, bahwa biaya dari tidak bertindak (potensi bencana di hari esok) akan jauh lebih besar daripada biaya untuk bertindak saat ini (mengurangi emisi dan pertumbuhan ekonomi). Upaya melawan perubahan iklim dan menghentikan kerusakan lingkungan seharusnya dipandang sebagai polis asuransi bagi generasi mendatang. Hutan-hutan yang terbakar di Borneo, Sumatera, bahkan di Papua harus dibayar mahal oleh pihak yang bertanggung jawab : entah antek sawit, entah pemerintah; atau minimal mampu membayar biaya perawatan ratusan ribu korban kabut asap di negeri ini dan negeri tetangga. Harga kerusakan lingkungan yang ditanggung oleh penduduk Desa Selok Awar-awar akibat penambangan pasir penuh intrik itu minimal harus sebanding dengan nyawa Pak Salim Kancil yang membela kepentingan lingkungan untuk anak cucu-nya. Rencana reklamasi Teluk Benoa yang mengelabui hukum juga harus melihat harga yang akan dibayar oleh nelayan-nelayan Tanjung Benoa setelah mereka kehilangan ladang ikan dan rumahnya sendiri.

Sekali lagi, ekonomi seharusnya tidak mengurbankan lingkungan. Kehadiran teknologi yang diharapkan menjadi solusi pun seharusnya tidak memunculkan permasalahan lingkungan baru. Hai, anak muda beda dan berbahaya, bertindaklah mulai dari sekarang. Mulai dari cara-cara yang simpel dan bisa dilakukan dalam keseharian: membuang sampah pada tempatnya, kurangi penggunaan kantong plastik, menghemat air ketika mandi, matikan lampu dan listrik ketika akan tidur dan keluar rumah, gunakan angkutan umum jika bepergian, atau jika menggunakan angkutan pribadi hematlah penggunaan bahan bakar, cobalah kreasikan sampah daur ulang menjadi bernilai secara ekonomi, menanamlah pohon di sekitar pekarangan rumah, kurangi penggunaan AC, dan yang paling penting dongengkan kesadaran akan lingkungan ke anak-anak generasi berikutnya. Mulailah dari sekarang, kalau bukan dari sekarang, kapan lagi? Mulailah dari diri sendiri, kalau bukan kita, siapa lagi?

0 komentar: