LINGKUNGAN: KURBAN EKONOMI ?
Kali ini saya kembali tergelitik
menulis tentang selentingan ilmu ekonomi. Setelah kabar kabut asap yang melanda
negeri ini tak kunjung reda, setelah kasus tambang pasir yang juga menambang
manusia bernama Salim Kancil dan Tosan tak kunjung diselesaikan, setelah hutan
masyarakat Mahuze di Papua dibabat habis untuk perkebunan sawit, dan setelah
rencana megaproyek urug laut Teluk Benoa Bali belum juga dihentikan. Mungkin,
masih banyak lagi setelah-setelah yang lain yang terjadi di negeri ini. Beragam
sudut pandang ditarik dari beberapa masalah ini, mulai dari masalah hak asasi
manusia, sosial dan budaya, lingkungan, ekonomi, hingga masalah politik. Dan
saya akan mencoba menelisik dari sisi ekonomi lingkungan, ekonomi yang jarang
dielu-elukan di tengah semangatnya negara ini mengejar pertumbuhan ekonomi. Ekonomi
yang masih juga dianak-tirikan, padahal yang akan menjadi korban adalah masa
depan: anak, cucu, cicit kita nanti.
Berbicara mengenai isu ekonomi yang
disejajarkan dengan lingkungan memang sangat luas sekali. Ekonomi lingkungan
begitu dekat dengan gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang sudah dimulai sejak Malthus
mencetuskan paham keberlanjutan pada tahun 1798. Dan kali ini, saya akan
mencoba mengerucutkan benang merah ekonomi dan lingkungan dari bekal buku Pak
Edmund Conway yang cukup menarik untuk dibongkar sembari memandang kondisi
kekinian di negeri ini. Benarkah ekonomi telah mengurbankan lingkungan? Apakah
manusia di masa depan akan merasakan ekonomi yang lebih dengan lingkungan yang
lebih buruk atau sebaliknya? Atau merasakan ekonomi yang lebih baik dengan
lingkungan yang lebih baik pula?
Sejarah telah mencatat. Bahwa evolusi
besar-besaran ekononomi untuk manusia berjalan beriringan dengan eksploitasi
sumber daya alam, terutama sejak Revolusi Industri yang dikomandoi oleh
negara-negara Eropa. Batu bara dan minyak bumi dikeruk dan dikeruk untuk
menjalankan mesin-mesin Eropa, lalu mengembangkan ekonomi, dan menciptakan
kekayaan dan kemakmuran yang sedemikian pesatnya dalam beberapa abad terakhir.
Tak pelak juga di Indonesia, propaganda “trickle
down effects” alias ekonomi yang tumbuh nantinya akan menetes ke bawah,
tepat di kerongkongan wong cilik menjadi
senjata ampuh Pak Harto setelah menyelesaikan euforia menggulingkan rezim Orba.
Keran hutang dari asing dibuka lebar-lebar, hutangnya berbunga kemudian
bunganya jatuh tumbuh dan berbunga lagi, dan cara membayarnya lucu: menjual
sumber daya alam Indonesia mentah-mentah. Kayu hutan Borneo dibabat habis, emas
di bumi Papua dan tembaga di bumi NTB dilelang, bahkan modal manusia,
orang-orang Indonesia dipaksa keluar negeri menjadi TKI. Semuanya dilakukan
demi satu hal: pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menetes langsung ke
kerongkongan rakyat. Sayang, lingkungan dan juga manusianya yang menjadi
kurban, dan semua yang menjadi kurban dibungkam suaranya selama kurang lebih
tiga puluh tahun.
Dan kini, kondisinya kurang lebih
masih sama, sekalipun kesadaran akan hal ini sudah mulai berteriak kencang di
permukaan. Dalam tataran global, banyak sekali penelitian yang menunjukkan
adanya hubungan yang kuat antara aktivitas eksploitasi alam untuk ekonomi dengan
kerusakan lingkungan, seperti pembakaran bahan bakar fosil dengan pemanasan
global. Lihat saja kondisi sekarang. Pelajaran sewaktu Sekolah Dasar yang
menyebut musim hujan ada pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau ada pada
April-September, dan ditengah-tengahnya ada musim peralihan alias pancaroba,
kini hampir sudah tidak berlaku lagi. Kata lainnya, cuaca yang tidak menentu
akibat pemanasan global. Tak hanya itu, es-es di kutub juga disebut-sebut telah
mencair dan menaikkan permukaan air laut, lalu kemudian membanjiri beberapa
kota-kota tepi laut di dunia seperti New York dan London. Di Indonesia juga banyak
kota-kota rob (banjir air laut), seperti yang terjadi di Semarang dan Jakarta
di daerah Sunda Kelapa. Reklamasi yang dilakukan manusia dengan dalih menciptakan
kawasan ekonomi baru juga turut membantu menenggelamkan nelayan pesisir di
sekitarnya. Seperti yang terjadi di daerah Tanjung Benoa, Bali pasca
amburadulnya proyek reklamasi Pulau Serangan.
Peristiwa yang tidak menyenangkan
semacam ini jelas akan membahayakan dunia di masa depan, dan oleh karenanya
kita berhadapan dengan dilema besar. Apakah sebaiknya kita menghentikan
aktivitas eksploitasi alam dan konsumsi bahan bakar fosil untuk menekan dampak
perubahan iklim bagi generasi masa mendatang, walaupun hal ini berarti
pertumbuhan ekonomi akan melemah dan kemiskinan yang lebih gemuk dari sekarang?
Ataukah sebaliknya, kita terus melakukan apapun itu untuk menggenjot
pertumbuhan ekonomi dengan mengasumsikan generasi esok menjadi lebih kaya dan
lebih canggih dalam melawan dampak buruk dari perubahan iklim?
Teknologi dan kemajuannya. Mungkin
ciptaan manusia ini diharapkan dan digadang-gadang menjadi pahlawan satu-satunya
atas peperangan ini. Tak dapat dipungkiri, teknologi telah menjadi anggota
tubuh baru yang menempel di sepanjang aktivitas manusia, apapun itu. Berkat
roman Pak Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, saya menjadi
paham bagaimana sejarah teknologi telah mampu mengubah manusia pribumi dari era
yang penuh ke-manual-an dan ke-primitif-an ke era baru yang disebut sebagai
modernisasi. Manusia yang semula diangkut dokar kuda hingga terus menerus
ketergantungan, jelas akan menumbuhkan kota yang diikuti dengan bertambahnya
jumlah kuda di jalanan, dan tentunya kota akan terkubur dalam tumpukan kotoran
kuda. Tapi, Minke, tokoh utama dalam roman ini melihat pemecahan masalah ini,
yaitu datangnya kuda besi, hasil peranakan orang-orang Jerman. Kuda besi tiada
lain adalah sepeda, bagian dari sejarah perkembangan alat transportasi yang
hingga kini melahirkan kuda besi – kuda besi lainnya: sepeda motor, mobil, bus,
dan kereta api. Namun, peranakan kuda besi – kuda besi ini juga kembali mengkhawatirkan
lingkungan akan kentut polusi yang dikeluarkan. Ekonomi terus tumbuh efisien,
tapi lagi-lagi manusia dihadapkan pada permasalahan lingkungan. Mungkin, akan
begitu seterusnya ketika kemudian dijawab oleh teknologi dan teknologi.
Kacaunya cuaca dan drastisnya
perubahan iklim disebut-sebut sebagai contoh kegagalan pasar oleh Pak Nicholas
Stern. Pasar yang serakah akan memproduksi apapun yang manusia butuhkan dan
inginkan, sehingga jumlah barang yang disediakan pun menjadi lebih banyak. Industri-industri
kian menjamur dengan asap hitam mengembul di corongnya, menandakan ekonomi
terus terus dan terus lebih baik. Barang yang diproduksi dihargai secara
signifikan secara ekonomi, kemudian dibeli oleh konsumennya. Tapi sayang, udara
segar dan polusi yang lahir dari corong asap itu belum sepeserpun memiliki
harga, tak banyak orang yang memperhatikannya. Udara adalah satu-satunya barang
bebas yang tersisa saat ini, dan tidak seorang pun dipungut biaya jika
menghirupnya. Tapi, apakah adil jika udara busuk dihirup masyarakat sekitar
pabrik, sedangkan udara segar bisa dinikmati oleh pemilik-pemilik modal yang
tinggal di negeri seberang sana? Dengan kualitas udara yang berbeda, seharusnya
udara saat ini harus harus dihargai. Biaya aktual dari polusi udara seharusnya
sangat mahal. Semahal biaya untuk melawan perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan guna memastikan generasi esok dan anak cucu nantinya mendapatkan
udara bersih di masa mendatang, dan secara adil. Jika hingga saat ini,
kerusakan lingkungan masih tidak ada harganya, maka sama saja kita telah
menginvestasikan udara terpolusi pada anak cucu lengkap dengan konsekuensinya. Dan
inilah yang harus kita pelototi untuk melihat kasus kabut asap yang melanda
negeri ini.
Pak Nicholas Stern, ekonom Inggris
membeberkan bukti atas betapa seriusnya resiko dari tidak atau menunda tindakan
penyelamatan lingkungan saat ini. Saat ini, kita menanggung resiko pada skala
yang lebih besar dibandingkan dengan dua perang dunia pada abad terdahulu.
Bahkan, masalah lingkungan telah menjadi masalah global dan tindakannya pun
harus dilakukan secara global, tidak hanya oleh negara-negara penghasil emisi,
negara paru-paru dunia, tapi semua negara. Laporan Pak Nicholas juga
memperlihatkan biaya di masa mendatang untuk menekan dampak kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim dapat menumpuk menjadi 20 persen dari total
ekonomi dunia (Produk Domestik Bruto global), dibandingkan biaya yang
digelontorkan saat ini yang hanya sebesar 1 persen dari total ekonomi dunia. Anak
muda beda dan berbahaya, artinya anak cucu kita nantinya akan menanggung beban
dua puluh kali lipat dibandingkan beban kita saat ini, jika kita hanya diam dan
menunda tindakan penyelamatan lingkungan yang lebih serius lagi. Tega?
Di tahun 2050, para ilmuan sepakat
bahwa guna mencegah dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, saat ini
dunia harus mengurangi setengah dari emisi rumah kacanya. Manusia diminta
melawan penggundulan hutan, yang berkontribusi 15-20 persen dalam peningkatan
emisi gas rumah kaca global. Sayangnya, target semacam ini dirasa sangat sulit
untuk dipenuhi, karena tidak semua orang atau negara menyadari pentingnya
target ini dan pentingnya nafas anak cucu mereka. Karena pengurangan gas rumah
kaca biasanya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah. Selama
beberapa tahun, negeri besar semacam AS, Cina, dan Australia dikabarkan
berulang kali mundur dari konsesus dalam janji pengurangan emisis global karena
fobia akan kerusakan ekonomi mereka. Demikian juga dengan negara-negara
berkembang seperti India dan Brazil juga menumpahkan opini bahwa mereka
seharusnya tidak perlu bertanggung jawab untuk mengurangi emisi dengan menjaga
hutan-hutan mereka. Karena perubahan iklim dianggap sebagai akibat dari
revolusi industri dunia Barat, bukan dari ekonomi yang lebih muda. Termasuk
Indonesia, yang terkesan setengah hati dalam memerangi penggundulan hutan dengan
membiarkan hutan-hutannya terbakar atau mungkin dibakar, lalu kemudian sisa
lahannya dijadikan kebun sawit.
Jadi, ekonomi tidak seharusnya
mengurbankan lingkungan. Manusia harusnya sadar dan tidak merasa skeptis akan
bukti yang ada, bahwa biaya dari tidak bertindak (potensi bencana di hari esok)
akan jauh lebih besar daripada biaya untuk bertindak saat ini (mengurangi emisi
dan pertumbuhan ekonomi). Upaya melawan perubahan iklim dan menghentikan
kerusakan lingkungan seharusnya dipandang sebagai polis asuransi bagi generasi
mendatang. Hutan-hutan yang terbakar di Borneo, Sumatera, bahkan di Papua harus
dibayar mahal oleh pihak yang bertanggung jawab : entah antek sawit, entah
pemerintah; atau minimal mampu membayar biaya perawatan ratusan ribu korban
kabut asap di negeri ini dan negeri tetangga. Harga kerusakan lingkungan yang ditanggung
oleh penduduk Desa Selok Awar-awar akibat penambangan pasir penuh intrik itu minimal
harus sebanding dengan nyawa Pak Salim Kancil yang membela kepentingan lingkungan
untuk anak cucu-nya. Rencana reklamasi Teluk Benoa yang mengelabui hukum juga
harus melihat harga yang akan dibayar oleh nelayan-nelayan Tanjung Benoa
setelah mereka kehilangan ladang ikan dan rumahnya sendiri.
Sekali lagi, ekonomi seharusnya
tidak mengurbankan lingkungan. Kehadiran teknologi yang diharapkan menjadi
solusi pun seharusnya tidak memunculkan permasalahan lingkungan baru. Hai, anak
muda beda dan berbahaya, bertindaklah mulai dari sekarang. Mulai dari cara-cara
yang simpel dan bisa dilakukan dalam keseharian: membuang sampah pada
tempatnya, kurangi penggunaan kantong plastik, menghemat air ketika mandi, matikan
lampu dan listrik ketika akan tidur dan keluar rumah, gunakan angkutan umum
jika bepergian, atau jika menggunakan angkutan pribadi hematlah penggunaan
bahan bakar, cobalah kreasikan sampah daur ulang menjadi bernilai secara
ekonomi, menanamlah pohon di sekitar pekarangan rumah, kurangi penggunaan AC, dan
yang paling penting dongengkan kesadaran akan lingkungan ke anak-anak generasi
berikutnya. Mulailah dari sekarang, kalau bukan dari sekarang, kapan lagi?
Mulailah dari diri sendiri, kalau bukan kita, siapa lagi?
0 komentar: