MENIMBANG SEMEN DI REMBANG

23.34 Putu Dharma Yusa 0 Comments



Janji manis itu bernama kesejahteraan. Nama ini juga kian sering terpakai dan terpampang rapi di program-program pemerintah, untuk menggiring opini publik kalau-kalau tugas dan janji mereka (merasa) sudah ditepati. Di mata mereka, kesejahteraan semata-mata hanya ukuran ekonomi belaka, ukuran ekonomi yang bisa diukur dengan uang, uang, dan uang. Mudah-mudahan mereka tidak melupakan konsep dan definisi kesejahteraan yang lain. Buku Pak Radhar Panca Dahana, seorang sastrawan yang mengkritisi praktik ekonomi saat ini, merangkum arti kesejahteraan sebagai ukuran hidup yang cukup, dan tidak berlebihan-lebihan. Uang bukanlah syarat mutlak untuk kesejahteraan, ia adalah syarat cukup. Yang terpenting, masyarakat sudah merasa hidupnya bahagia atas apa yang mereka miliki.

Kali ini, nama kesejahteraan menjadi jurus silat ampuh PT. Semen Indonesia untuk membangun pabriknya di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lokasinya tak begitu jauh dari rumah warga Suku Samin, Kabupaten Pati, yang berhasil mengusir mereka setelah memenangkan gugatan hukum melalui proses peradilan yang cukup panjang. Lokasinya juga masih bersebelahan dengan Pulau Bali yang kaki bawahnya akan ditambal pulau buatan (reklamasi) oleh PT. TWBI. Juga di ujung negeri: Desa Mahuze, Merauke, yang memiliki lahan pertanian terluas di Papua dan akan diubah pesonanya menjadi perkebunan sawit oleh seonggok investor yang mengaku pahlawan devisa. Semua ini atas nama kesejahteraan, dan anehnya masyarakat menolak tawaran kesejahteraan itu.

Kembali ke Rembang. Beberapa hari yang lalu, nikmatnya seruput kopi pagi menghantarkan saya pada tulisan “Konflik Pabrik Rembang: Semen Indonesia Minta Rekomendasi Akademisi” di lembaran koran yang kebetulan saya baca. Tulisan ini mengabarkan bahwa PT. Semen Indonesia Tbk akan membonceng akademisi atas kasus gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terkait analisis dampak lingkungan (amdal) pabrik Semen Rembang. Keterlibatan akademisi, katanya ditujukan untuk membela mengangkat derajat perekonomian masyarakat Rembang, bukan untuk membela perusahaan. Semoga benar begitu. Sebab ketika kepentingan dan uang yang berbicara, hasil amdal bisa jadi terpeleset. Licinnya uang dolar yang tak boleh dilipat sembarangan itu, bisa jadi lebih licin dari kulit pisang yang mampu merobohkan idealisme siapapun. Saya pun tertarik menelanjangi kasus ini.

Awalnya, saya diperkenalkan konflik pembangunan pabrik semen ini dari acara pitching forum Eagle Awards yang ke-9 tahun 2013 yang berjudul “Barisan Gendeng di Pusaran Industri” oleh sang sutradara muda: Rizki Rengganu Suri dan Wiliams Wijaya Saragih. Film dokumenter apik ini menyuguhkan perlawanan warga Samin dalam mengusir investor semen. Mereka berhadapan pada pihak yang pro pabrik semen di Rembang, aksi penambangan liar, serta Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang dan Wilayah yang mengancam semangat sedulur sikep Samin. Sedulur sikep adalah idealisme lokal warga Samin yang hidup secara sederhana, selaras dengan alam dan sesama. Hal ini pun kembali ditegaskan dalam film dokumenter “Samin vs Semen” buah perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru oleh Pak Dandhy D. Laksono dan Pak Ucok Suparta. Film ini jelas sekali menangkap betapa kerasnya perjuangan warga Samin hingga sampai memblokade jalan dan berhadapan dengan aparat penegak hukum. Dan perlu dicatat: yang dihadang oleh barikade aparat itu adalah ibu-ibu petani yang bermahkota-kan caping dan sepotong bambu (tidak runcing) yang dihiasi bendera merah-putih. Bahkan, mereka mendirikan tenda sepanjang jalan menuju lahan bakal pabrik dan hingga larut malam masih mendirikan pengajian berselimutkan kain seadanya, memohon keadilan dari yang Maha Kuasa.

"Nandur pari thukul pari, ngundhuh pari. Becik ketitik ala ketara."

Artinya: menanam padi akan tumbuh padi, dan menuai padi. Perbuatan baik akan tampak, buruk pun akan kentara. Jujur terhadap hidup, berperilaku dan bertindak sesuai dengan ucapan, serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain.

Prinsip adiluhung inilah yang sangat membekas dan menyadarkan saya tentang bagaimana seharusnya hidup. Warga Samin pun tidak dibenarkan mencari kebutuhan hidup secara berlebihan, istilahnya sakmadya, secukupnya saja. Bahkan, terlihat mereka tidak mewajibkan generasi penerusnya untuk sekolah formal. Anak-anak cukup belajar di rumah bersama orang tuanya, yang penting bisa membaca dan menulis. Menurut mereka, tujuan pendidikan sesungguhnya bukan untuk menjadi pandai, tapi untuk mengerti. Sebab, orang pandai akan cenderung memperdaya dan menipu orang lain. Memperdaya dengan segala logika yang disokong ilmu-ilmu yang mereka telan selama mereka menempuh pendidikan.

. . .

Kronologis gelombang konflik ini justru bermula dari kemenangan warga Samin. Mei 2009, warga Samin di daerah Pati berhasil menggagalkan rencana pendirian pabrik dan penambangan semen oleh PT. Semen Gresik (sekarang: PT. Semen Indonesia). Kegagalan ini membuat PT Semen Indonesia melirik tetangga Pati: Kabupaten Rembang, tepatnya masih dalam kawasan karst Pegunungan Kendheng yaitu Watuputih. Masyarakat Rembang pun terbelah dua: ada yang pro dan kontra. Masyarakat yang pro jelas menginginkan harapan untuk pekerjaan yang lebih menarik dari sekadar bertani. Secara tidak langsung, mereka juga telah percaya bahwa PT Semen Gresik tidak akan merusak lingkungan, karena adanya program Corporate Social Responsibility (CSR). Atau, pendapat paling buruknya adalah mereka tidak berdaya karena menganggap rencana pendirian pabrik adalah sebuah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Di pihak seberangnya, masyarakat yang kontra memiliki alasan konservatif, mereka khawatir akan nasib alam lingkungan mereka. Khawatir pada lahan pertanian dan suplai air untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka lebih membutuhkan air daripada semen untuk hidup, sekalipun semen bisa dijual untuk membeli air. Mereka percaya pada fakta yang menyebut bahwa dimana setiap industri besar berdiri, pasti akan melahirkan biang persoalan baru yang jauh lebih pelik.

Timbangan Kanan: Satu Sak Semen

Satu sak semen ini berlabelkan kesejahteraan model baru. Kesejahteraan yang lahir dari gagasan MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang memecah Pulau Jawa menjadi dua, sisi utara dan sisi selatan. Sisi utara difokuskan untuk kawasan industri, sedangkan sisi selatan untuk agrikultur alias pertanian. Mega proyek ini sudah jelas mengutuk Rembang secara perlahan menjadi kawasan industri Jawa, dimulai dari industri yang katanya sangat menopang pembangunan bangsa: semen. Artinya, tawaran kesejahteraan bagi masyarakat sudah dilegalkan oleh pemerintah negeri ini. Senjata pamungkas inilah yang selalu dipegang pemerintah, investor, dan masyarakat pro untuk ‘berperang’ melawan rival mereka, yang notabene adalah kerabat dan bangsa sendiri.

Masyarakat pro juga dilengkapi dengan senjata lain: bahwa PT. Semen Indonesia adalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) alias perusahaan lokal negeri ini. Artinya, doktrin untuk mencintai produk lokal dan menekan ketergantungan akan produk semen impor buatan asing. Laba dan pendapatan BUMN pastinya akan masuk ke dalam kas negara, yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan.  Selain itu, penciptaan lapangan kerja baru untuk masyarakat lokal juga menjadi alasan mainstream masyarakat yang pro proyek ini.

Semen pun telah menunjukkan bukti kesungguhannya pada masyarakat Rembang. Program CSR telah digulingkan di awal. Pendirian pabrik diawali dengan pembangunan sejumlah tempat ibadah bagi masyarakat sekitar, dan beberapa bantuan dana terhadap komunitas-komunitas lokal. Bukti ini cukup membuat masyarakat melihat jalan mulus beraspal menuju kesejahteraan itu. Jalannya jelas mulus, karena dibangun dari campuran semen. Sementara jalan sebelumnya adalah jalan setapak di atas pematang-pematang sawah petani setempat. Timbangan kanan ini cukup berat.

Timbangan Kiri: Sekarung Gabah Petani

Protes dilayangkan oleh masyarakat kontra yang sebagian besar berasal dari dua desa: Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Mayoritas penduduk dua desa ini adalah petani, pahlawan pangan yang nampaknya sedikit termarjinalkan di negeri ini. Lahan pertanian mereka akan terancam kering di musim kemarau, jika di Pegunungan Watuputih didirikan pabrik. Watuputih termasuk bagian dari Pegunungan Kendheng, adalah kawasan karst yang mengandung cekungan air tanah dan telah disahkan melalui Kepres Nomor 26 Tahun 2011. Artinya, pemerintah pun telah mengakui kandungan air tanah dari lokasi bakal pabrik ini. Mungkin pemerintah lelah, sehingga melupakan dan mengabaikan keputusan ini.

Ada tiga titik lokasi yang akan dibangun oleh PT Semen Indonesia di Watuputih. Lokasi seluas 105 hektar untuk bangunan pabrik, 520 hektar untuk penambangan batu gamping, dan 240 hektar untuk penambangan tanah luat. Jika dikalkulasi, total luas tanah yang akan digunakan adalah 865 hektar. Wow ! Industrialisasi ini akan diprediksi membawa masalah pelik bagi lingkungan: rusaknya sumber mata air, polusi udara akibat hembusan asap pabrik, pencemaran air karena limbah pabrik, hingga kekeringan yang melanda sawah-sawah petani tak bersalah itu. Dalam kondisi seperti ini, sekarung gabah pun akan menjadi sangat berarti.

Industrialisasi juga mengancam tatanan sosial masyarakat setempat. Industri akan mendatangkan manusia-manusia berkantong tebal untuk berinvestasi, menggusur dan meminggirkan masyarakat lokal. Rusaknya lingkungan adalah pil pahit yang harus ditelan petani setempat, membuat mereka terpaksa menjual lahan dan bekerja di luar keahlian bertani.  Bertani dengan cara tradisional penuh dengan semangat gotong-royong, ciri khas bangsa Indonesia, akan digantikan dengan kompetisi alias persaingan memperebutkan pekerjaan ataupun jabatan di pabrik. Kebutuhan hidup akan menjadi kian kompleks, tak sesederhana sewaktu bertani, berimbas pada menjamurnya pusat perdagangan dan hiburan. Dan, masyarakat yang kontra tidak menganggap ini sebagai kesejahteraan, justru adalah radikalisme ekonomi yang memperlebar jurang kesenjangan itu sendiri.

. . .

Masyarakat kontra pabrik semen lahir atas dasar kesadaran dan inisiatif sendiri. Mereka yang terbuka pemikirannya dan belajar dari pengalaman yang ada menularkan ke masyarakat lainnya. Secara tidak sengaja, mereka telah menerapkan teori komunikasi lingkungan. Bagaimana menjaga alam dan lingkungan dengan kekuatan sosial manusia. Mereka beraksi: melakukan demonstrasi. Beberapa spanduk dibentangkan di jalan-jalan desa sebagai simbol penolakan pembangunan pabrik semen. Puncaknya, saat proses peletakan batu pertama oleh PT. Semen Indonesia tertanggal 16 Juni 2014, persis saat ibu-ibu yang bermahkota-kan caping dihadang oleh barikade aparat penegak hukum. Pemblokiran jalan juga kembali dilakukan pada tanggal 25 November 2014, ibu-ibu kembali menghadang jalan utama pabrik yang biasa dilewati oleh truk pembawa material. Dari cerita yang saya peroleh, warga pun terkena intimidasi aparat. Ibu Murtini salah satunya, mendapatkan luka di kaki bekas injakan seorang aparat, diangkat secara paksa dan dipinggirkan ke pinggir jalan oleh oknum aparat.

Tidak hanya fisik, perang non fisik pun juga telah dilakukan. Seperti kontak langsung sesama penggiat isu seperti pameran dan diskusi terbuka. Tak ketinggalan pula perang dunia maya yang membanjiri sosial media dengan tanda pagar khasnya, seperti #saveRembang. Akhirnya, kunci untuk merampungkan kasus ini dengan melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang guna mencabut surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 pada Juni 2012 tentang izin penambangan PT Semen Gresik (kini: PT. Semen Indonesia) di Kabupaten Rembang. Sayangnya, pada 16 April 2015 gugatan ini ditolak. Alasannya bahwa gugatan dinilai sudah expired, kadaluarsa, dan basi. Majelis hakim menyatakan bahwa gugatan hanya bisa dilayangkan maksimal 90 hari setelah sosialisasi kepada warga. Anehnya, warga sendiri mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari PT Semen Indonesia Tbk. Tetapi kata lurah dari Tegaldowo, sosialisasi sudah disampaikan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit. Mungkin saja yang diundang nonton adalah masyarakat yang pro, yang kontra masih sibuk mencangkul di sawah.

Hingga detik ini, pembangunan pabrik masih tetap berjalan. Hingga akhir Agustus, disebutkan bahwa realisasi pembangunan pabrik sudah mencapai 62 persen. Masyarakat yang pro mulai menuai senyum akan harapan kesejahteraan. Sedangkan, masyarakat yang kontra masih gigih berjuang menggagalkan proyek yang terlanjur jalan ini. Melalui Walhi, yang menggugat dengan mempertanyakan proses amdal, analisis mengenai dampak lingkungan, serta gugatan sebelumnya yang disebut-sebut sudah ‘basi’ kepada PTUN Surabaya. Belum diketahui pasti, kemenangan ada di pihak siapa. Yang jelas, manusia yang berjuang tetapi alam yang dipertaruhkan. Alam tidak bisa berbuat apa-apa.

. .  .

Lalu Anda, anak muda beda dan berbahaya, akan membela pihak yang mana? Apakah satu sak semen sama beratnya dengan sekarung gabah untuk mengukur kesejahteraan? Kalau menurut saya, paradigma atau cara memandang kesejahteraan-lah yang harus diubah, terutama bagi pemerintah, sang pengambil keputusan bagi rakyatnya. Kesejahteraan bukanlah ukuran material, yang terlihat dari angka-angka cantik tentang kekayaan dan pekerjaan yang berkelas tinggi. Kesejahteraan adalah masalah non-material dan sifatnya sangat personal sekali. Dalam film Samin versus Semen diceritakan bahwa pemuda Samin yang kesehariannya bertani mengaku sudah sangat sejahtera dengan kehidupannya kini. Lalu kesejahteraan macam apa lagi yang akan diberikan oleh pemerintah dengan janji pabrik semennya?

Jika lapangan kerja baru berikut gaji yang teratur sebulan atau seminggu sekali yang menjadi alasannya, akan muncul pertanyaan baru. Bukankah tingkat pendidikan masyarakat lokal yang harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan SDM pabrik itu? Bukankah mereka hanya akan menjadi pekerja kontrak dan pekerja kasar yang dimandori oleh bos-bos berkantong tebal? Bukankah justru pendatang yang pendidikan tinggi yang lebih dihargai? Bukankah iklim khas bangsa gotong-royong akan digantikan dengan iklim kompetisi, yang belum cocok diterapkan pada perilaku masyarakat tradisional? Apakah seperti ini kesejahteraan model baru yang ditawarkan? Jika iya, sungguh betapa berlikunya jalan mulus beraspal menuju kesejahteraan itu.

Lalu, terakhir tentang ketimpangan. Pembangunan pabrik semen di Pulau Jawa secara eksplisit akan memanjakan Jawa dengan pembangunan-pembangunan modern yang kian megahnya. Kata lainnya, pembangunan akan berfokus di Pulau Jawa dan ketimpangan akan kian menjadi-jadi. Jika alasannya akses infrastruktur untuk pabrik di Jawa yang sudah memadai, maka rasa-rasanya kurang tepat. Sebab, justru harusnya pembangunan suatu pabrik yang merangsang pembangunan infrastruktur di daerahnya. Kenapa tidak dibangun pabrik semen di Papua, NTT atau Maluku? Daerah dimana harga semennya mencapai 500 ribu rupiah per sak. Daerah yang paling membutuhkan semen sebagai perekat pembangunan, daerah yang harusnya didekatkan kesenjangannya dengan Jawa. Kenapa harus Jawa lagi, Jawa lagi?

Karena Indonesia tidak hanya Pulau Jawa dengan Rembang di dalamnya. Masih banyak nusa-nusa lainnya yang menunggu program-program bijak pemerintah. Bijak, maksudnya alam diposisikan di atas kepentingan modal dan manusia itu sendiri. Alam bukanlah objek, manusia bukanlah subjek. Seandainya alam bisa berkata dan menjerit, maka hari ini ia akan meneriakkan rasa kesakitan dan meneteskan air matanya. Sampai detik ini, alam masih belum berkata dan menangis. Tapi, tanda-tanda ke arah ini sudah mulai terasa.

0 komentar: