MENIMBANG SEMEN DI REMBANG
Janji manis itu
bernama kesejahteraan. Nama ini juga kian sering terpakai dan terpampang rapi
di program-program pemerintah, untuk menggiring opini publik kalau-kalau tugas
dan janji mereka (merasa) sudah ditepati. Di mata mereka, kesejahteraan
semata-mata hanya ukuran ekonomi belaka, ukuran ekonomi yang bisa diukur dengan
uang, uang, dan uang. Mudah-mudahan mereka tidak melupakan konsep dan definisi
kesejahteraan yang lain. Buku Pak Radhar Panca Dahana, seorang sastrawan yang
mengkritisi praktik ekonomi saat ini, merangkum arti kesejahteraan sebagai ukuran
hidup yang cukup, dan tidak berlebihan-lebihan. Uang bukanlah syarat mutlak
untuk kesejahteraan, ia adalah syarat cukup. Yang terpenting, masyarakat sudah
merasa hidupnya bahagia atas apa yang mereka miliki.
Kali ini, nama
kesejahteraan menjadi jurus silat ampuh PT. Semen Indonesia untuk membangun pabriknya
di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lokasinya tak begitu jauh dari rumah warga Suku
Samin, Kabupaten Pati, yang berhasil mengusir mereka setelah memenangkan
gugatan hukum melalui proses peradilan yang cukup panjang. Lokasinya juga masih
bersebelahan dengan Pulau Bali yang kaki bawahnya akan ditambal pulau buatan
(reklamasi) oleh PT. TWBI. Juga di ujung negeri: Desa Mahuze, Merauke, yang
memiliki lahan pertanian terluas di Papua dan akan diubah pesonanya menjadi
perkebunan sawit oleh seonggok investor yang mengaku pahlawan devisa. Semua ini
atas nama kesejahteraan, dan anehnya masyarakat menolak tawaran kesejahteraan
itu.
Kembali ke Rembang.
Beberapa hari yang lalu, nikmatnya seruput kopi pagi menghantarkan saya pada
tulisan “Konflik Pabrik Rembang: Semen Indonesia Minta Rekomendasi Akademisi”
di lembaran koran yang kebetulan saya baca. Tulisan ini mengabarkan bahwa PT.
Semen Indonesia Tbk akan membonceng akademisi atas kasus gugatan Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) terkait analisis dampak lingkungan (amdal) pabrik
Semen Rembang. Keterlibatan akademisi, katanya ditujukan untuk membela mengangkat
derajat perekonomian masyarakat Rembang, bukan untuk membela perusahaan. Semoga
benar begitu. Sebab ketika kepentingan dan uang yang berbicara, hasil amdal
bisa jadi terpeleset. Licinnya uang dolar yang tak boleh dilipat sembarangan
itu, bisa jadi lebih licin dari kulit pisang yang mampu merobohkan idealisme
siapapun. Saya pun tertarik menelanjangi kasus ini.
Awalnya, saya diperkenalkan
konflik pembangunan pabrik semen ini dari acara pitching forum Eagle Awards yang ke-9 tahun 2013 yang berjudul “Barisan
Gendeng di Pusaran Industri” oleh sang sutradara muda: Rizki Rengganu Suri dan
Wiliams Wijaya Saragih. Film dokumenter apik ini menyuguhkan perlawanan warga
Samin dalam mengusir investor semen. Mereka berhadapan pada pihak yang pro
pabrik semen di Rembang, aksi penambangan liar, serta Peraturan Daerah (Perda)
Tata Ruang dan Wilayah yang mengancam semangat sedulur sikep Samin. Sedulur
sikep adalah idealisme lokal warga Samin yang hidup secara sederhana,
selaras dengan alam dan sesama. Hal ini pun kembali ditegaskan dalam film
dokumenter “Samin vs Semen” buah perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru oleh Pak
Dandhy D. Laksono dan Pak Ucok Suparta. Film ini jelas sekali menangkap betapa
kerasnya perjuangan warga Samin hingga sampai memblokade jalan dan berhadapan
dengan aparat penegak hukum. Dan perlu dicatat: yang dihadang oleh barikade
aparat itu adalah ibu-ibu petani yang bermahkota-kan caping dan sepotong bambu
(tidak runcing) yang dihiasi bendera merah-putih. Bahkan, mereka mendirikan
tenda sepanjang jalan menuju lahan bakal pabrik dan hingga larut malam masih
mendirikan pengajian berselimutkan kain seadanya, memohon keadilan dari yang
Maha Kuasa.
"Nandur pari thukul pari, ngundhuh pari. Becik ketitik ala
ketara."
Artinya: menanam padi akan tumbuh padi, dan menuai padi. Perbuatan
baik akan tampak, buruk pun akan kentara. Jujur terhadap hidup, berperilaku dan
bertindak sesuai dengan ucapan, serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain.
Prinsip adiluhung
inilah yang sangat membekas dan menyadarkan saya tentang bagaimana seharusnya
hidup. Warga Samin pun tidak dibenarkan mencari kebutuhan hidup secara
berlebihan, istilahnya sakmadya,
secukupnya saja. Bahkan, terlihat mereka tidak mewajibkan generasi penerusnya
untuk sekolah formal. Anak-anak cukup belajar di rumah bersama orang tuanya,
yang penting bisa membaca dan menulis. Menurut mereka, tujuan pendidikan
sesungguhnya bukan untuk menjadi pandai, tapi untuk mengerti. Sebab, orang
pandai akan cenderung memperdaya dan menipu orang lain. Memperdaya dengan
segala logika yang disokong ilmu-ilmu yang mereka telan selama mereka menempuh
pendidikan.
. . .
Kronologis
gelombang konflik ini justru bermula dari kemenangan warga Samin. Mei 2009,
warga Samin di daerah Pati berhasil menggagalkan rencana pendirian pabrik dan
penambangan semen oleh PT. Semen Gresik (sekarang: PT. Semen Indonesia).
Kegagalan ini membuat PT Semen Indonesia melirik tetangga Pati: Kabupaten
Rembang, tepatnya masih dalam kawasan karst Pegunungan Kendheng yaitu
Watuputih. Masyarakat Rembang pun terbelah dua: ada yang pro dan kontra. Masyarakat
yang pro jelas menginginkan harapan untuk pekerjaan yang lebih menarik dari
sekadar bertani. Secara tidak langsung, mereka juga telah percaya bahwa PT
Semen Gresik tidak akan merusak lingkungan, karena adanya program Corporate Social Responsibility (CSR).
Atau, pendapat paling buruknya adalah mereka tidak berdaya karena menganggap
rencana pendirian pabrik adalah sebuah keputusan yang tidak dapat diganggu
gugat. Di pihak seberangnya, masyarakat yang kontra memiliki alasan
konservatif, mereka khawatir akan nasib alam lingkungan mereka. Khawatir pada
lahan pertanian dan suplai air untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka lebih
membutuhkan air daripada semen untuk hidup, sekalipun semen bisa dijual untuk
membeli air. Mereka percaya pada fakta yang menyebut bahwa dimana setiap
industri besar berdiri, pasti akan melahirkan biang persoalan baru yang jauh
lebih pelik.
Timbangan Kanan: Satu Sak Semen
Satu sak semen ini
berlabelkan kesejahteraan model baru. Kesejahteraan yang lahir dari gagasan
MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang memecah Pulau
Jawa menjadi dua, sisi utara dan sisi selatan. Sisi utara difokuskan untuk
kawasan industri, sedangkan sisi selatan untuk agrikultur alias pertanian. Mega
proyek ini sudah jelas mengutuk Rembang secara perlahan menjadi kawasan
industri Jawa, dimulai dari industri yang katanya sangat menopang pembangunan
bangsa: semen. Artinya, tawaran kesejahteraan bagi masyarakat sudah dilegalkan
oleh pemerintah negeri ini. Senjata pamungkas inilah yang selalu dipegang
pemerintah, investor, dan masyarakat pro untuk ‘berperang’ melawan rival
mereka, yang notabene adalah kerabat dan bangsa sendiri.
Masyarakat pro juga
dilengkapi dengan senjata lain: bahwa PT. Semen Indonesia adalah perusahaan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) alias perusahaan lokal negeri ini. Artinya,
doktrin untuk mencintai produk lokal dan menekan ketergantungan akan produk
semen impor buatan asing. Laba dan pendapatan BUMN pastinya akan masuk ke dalam
kas negara, yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan. Selain itu, penciptaan lapangan kerja baru
untuk masyarakat lokal juga menjadi alasan mainstream masyarakat yang pro
proyek ini.
Semen pun telah
menunjukkan bukti kesungguhannya pada masyarakat Rembang. Program CSR telah
digulingkan di awal. Pendirian pabrik diawali dengan pembangunan sejumlah
tempat ibadah bagi masyarakat sekitar, dan beberapa bantuan dana terhadap
komunitas-komunitas lokal. Bukti ini cukup membuat masyarakat melihat jalan
mulus beraspal menuju kesejahteraan itu. Jalannya jelas mulus, karena dibangun
dari campuran semen. Sementara jalan sebelumnya adalah jalan setapak di atas
pematang-pematang sawah petani setempat. Timbangan kanan ini cukup berat.
Timbangan Kiri: Sekarung Gabah Petani
Protes dilayangkan
oleh masyarakat kontra yang sebagian besar berasal dari dua desa: Desa
Tegaldowo dan Timbrangan. Mayoritas penduduk dua desa ini adalah petani,
pahlawan pangan yang nampaknya sedikit termarjinalkan di negeri ini. Lahan
pertanian mereka akan terancam kering di musim kemarau, jika di Pegunungan
Watuputih didirikan pabrik. Watuputih termasuk bagian dari Pegunungan Kendheng,
adalah kawasan karst yang mengandung cekungan air tanah dan telah disahkan
melalui Kepres Nomor 26 Tahun 2011. Artinya, pemerintah pun telah mengakui
kandungan air tanah dari lokasi bakal pabrik ini. Mungkin pemerintah lelah,
sehingga melupakan dan mengabaikan keputusan ini.
Ada tiga titik lokasi
yang akan dibangun oleh PT Semen Indonesia di Watuputih. Lokasi seluas 105
hektar untuk bangunan pabrik, 520 hektar untuk penambangan batu gamping, dan
240 hektar untuk penambangan tanah luat. Jika dikalkulasi, total luas tanah
yang akan digunakan adalah 865 hektar. Wow ! Industrialisasi ini akan
diprediksi membawa masalah pelik bagi lingkungan: rusaknya sumber mata air,
polusi udara akibat hembusan asap pabrik, pencemaran air karena limbah pabrik,
hingga kekeringan yang melanda sawah-sawah petani tak bersalah itu. Dalam
kondisi seperti ini, sekarung gabah pun akan menjadi sangat berarti.
Industrialisasi
juga mengancam tatanan sosial masyarakat setempat. Industri akan mendatangkan
manusia-manusia berkantong tebal untuk berinvestasi, menggusur dan meminggirkan
masyarakat lokal. Rusaknya lingkungan adalah pil pahit yang harus ditelan
petani setempat, membuat mereka terpaksa menjual lahan dan bekerja di luar
keahlian bertani. Bertani dengan cara
tradisional penuh dengan semangat gotong-royong, ciri khas bangsa Indonesia,
akan digantikan dengan kompetisi alias persaingan memperebutkan pekerjaan
ataupun jabatan di pabrik. Kebutuhan hidup akan menjadi kian kompleks, tak
sesederhana sewaktu bertani, berimbas pada menjamurnya pusat perdagangan dan
hiburan. Dan, masyarakat yang kontra tidak menganggap ini sebagai
kesejahteraan, justru adalah radikalisme ekonomi yang memperlebar jurang
kesenjangan itu sendiri.
. . .
Masyarakat kontra
pabrik semen lahir atas dasar kesadaran dan inisiatif sendiri. Mereka yang terbuka
pemikirannya dan belajar dari pengalaman yang ada menularkan ke masyarakat
lainnya. Secara tidak sengaja, mereka telah menerapkan teori komunikasi
lingkungan. Bagaimana menjaga alam dan lingkungan dengan kekuatan sosial
manusia. Mereka beraksi: melakukan demonstrasi. Beberapa spanduk dibentangkan
di jalan-jalan desa sebagai simbol penolakan pembangunan pabrik semen. Puncaknya,
saat proses peletakan batu pertama oleh PT. Semen Indonesia tertanggal 16 Juni
2014, persis saat ibu-ibu yang bermahkota-kan caping dihadang oleh barikade
aparat penegak hukum. Pemblokiran jalan juga kembali dilakukan pada tanggal 25
November 2014, ibu-ibu kembali menghadang jalan utama pabrik yang biasa
dilewati oleh truk pembawa material. Dari cerita yang saya peroleh, warga pun
terkena intimidasi aparat. Ibu Murtini salah satunya, mendapatkan luka di kaki
bekas injakan seorang aparat, diangkat secara paksa dan dipinggirkan ke pinggir
jalan oleh oknum aparat.
Tidak hanya fisik,
perang non fisik pun juga telah dilakukan. Seperti kontak langsung sesama penggiat
isu seperti pameran dan diskusi terbuka. Tak ketinggalan pula perang dunia maya
yang membanjiri sosial media dengan tanda pagar khasnya, seperti #saveRembang.
Akhirnya, kunci untuk merampungkan kasus ini dengan melayangkan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang guna mencabut surat keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 pada Juni 2012 tentang izin
penambangan PT Semen Gresik (kini: PT. Semen Indonesia) di Kabupaten Rembang.
Sayangnya, pada 16 April 2015 gugatan ini ditolak. Alasannya bahwa gugatan
dinilai sudah expired, kadaluarsa,
dan basi. Majelis hakim menyatakan bahwa gugatan hanya bisa dilayangkan
maksimal 90 hari setelah sosialisasi kepada warga. Anehnya, warga sendiri
mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari PT Semen Indonesia Tbk. Tetapi
kata lurah dari Tegaldowo, sosialisasi sudah disampaikan dalam bentuk
pertunjukan wayang kulit. Mungkin saja yang diundang nonton adalah masyarakat
yang pro, yang kontra masih sibuk mencangkul di sawah.
Hingga detik ini,
pembangunan pabrik masih tetap berjalan. Hingga akhir Agustus, disebutkan bahwa
realisasi pembangunan pabrik sudah mencapai 62 persen. Masyarakat yang pro
mulai menuai senyum akan harapan kesejahteraan. Sedangkan, masyarakat yang
kontra masih gigih berjuang menggagalkan proyek yang terlanjur jalan ini. Melalui
Walhi, yang menggugat dengan mempertanyakan proses amdal, analisis mengenai
dampak lingkungan, serta gugatan sebelumnya yang disebut-sebut sudah ‘basi’
kepada PTUN Surabaya. Belum diketahui pasti, kemenangan ada di pihak siapa. Yang
jelas, manusia yang berjuang tetapi alam yang dipertaruhkan. Alam tidak bisa
berbuat apa-apa.
. .
.
Lalu Anda, anak
muda beda dan berbahaya, akan membela pihak yang mana? Apakah satu sak semen
sama beratnya dengan sekarung gabah untuk mengukur kesejahteraan? Kalau menurut
saya, paradigma atau cara memandang kesejahteraan-lah yang harus diubah, terutama
bagi pemerintah, sang pengambil keputusan bagi rakyatnya. Kesejahteraan
bukanlah ukuran material, yang terlihat dari angka-angka cantik tentang kekayaan
dan pekerjaan yang berkelas tinggi. Kesejahteraan adalah masalah non-material
dan sifatnya sangat personal sekali. Dalam film Samin versus Semen diceritakan
bahwa pemuda Samin yang kesehariannya bertani mengaku sudah sangat sejahtera
dengan kehidupannya kini. Lalu kesejahteraan macam apa lagi yang akan diberikan
oleh pemerintah dengan janji pabrik semennya?
Jika lapangan kerja
baru berikut gaji yang teratur sebulan atau seminggu sekali yang menjadi
alasannya, akan muncul pertanyaan baru. Bukankah tingkat pendidikan masyarakat
lokal yang harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, belum cukup untuk memenuhi
semua kebutuhan SDM pabrik itu? Bukankah mereka hanya akan menjadi pekerja
kontrak dan pekerja kasar yang dimandori oleh bos-bos berkantong tebal? Bukankah
justru pendatang yang pendidikan tinggi yang lebih dihargai? Bukankah iklim
khas bangsa gotong-royong akan digantikan dengan iklim kompetisi, yang belum
cocok diterapkan pada perilaku masyarakat tradisional? Apakah seperti ini
kesejahteraan model baru yang ditawarkan? Jika iya, sungguh betapa berlikunya
jalan mulus beraspal menuju kesejahteraan itu.
Lalu, terakhir
tentang ketimpangan. Pembangunan pabrik semen di Pulau Jawa secara eksplisit
akan memanjakan Jawa dengan pembangunan-pembangunan modern yang kian megahnya. Kata
lainnya, pembangunan akan berfokus di Pulau Jawa dan ketimpangan akan kian
menjadi-jadi. Jika alasannya akses infrastruktur untuk pabrik di Jawa yang
sudah memadai, maka rasa-rasanya kurang tepat. Sebab, justru harusnya
pembangunan suatu pabrik yang merangsang pembangunan infrastruktur di
daerahnya. Kenapa tidak dibangun pabrik semen di Papua, NTT atau Maluku? Daerah
dimana harga semennya mencapai 500 ribu rupiah per sak. Daerah yang paling
membutuhkan semen sebagai perekat pembangunan, daerah yang harusnya didekatkan
kesenjangannya dengan Jawa. Kenapa harus Jawa lagi, Jawa lagi?
Karena Indonesia
tidak hanya Pulau Jawa dengan Rembang di dalamnya. Masih banyak nusa-nusa
lainnya yang menunggu program-program bijak pemerintah. Bijak, maksudnya alam
diposisikan di atas kepentingan modal dan manusia itu sendiri. Alam bukanlah
objek, manusia bukanlah subjek. Seandainya alam bisa berkata dan menjerit, maka
hari ini ia akan meneriakkan rasa kesakitan dan meneteskan air matanya. Sampai
detik ini, alam masih belum berkata dan menangis. Tapi, tanda-tanda ke arah ini
sudah mulai terasa.
0 komentar: