SELAMAT MALAM, JUNI

09.55 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Hai Juni, kita ketemu lagi. Setelah dua setengah dasawarsa kita tak bersua. Semoga tidak berlebihan. Bagaimana kabar-mu? Apakah kamu masih mengenal wajahku yang dulu pernah kau potret? Atau kamu masih tidak puas dengan kehadiranku ini? Maafkan aku yang sekarang, Juni. Ijinkan aku memelukmu sejenak, melepas akutnya rindu, dan menceritakan penantian panjang selama ini. Sekali lagi, maafkan. Ini bukan soal kronologi waktu yang sedemikian panjangnya. Aku, hanya ingin bertutur padamu tentang: pilihan. Hal biasa yang dialami manusia, tetapi luar biasa bagiku. Menentukan pilihan adalah pertaruhan masa depan. Aku belum lagi terbiasa dengan kata ‘pertaruhan’. Sampai akhirnya, aku bisa meleburkannya menjadi yang lebih simpel: menemui diri.

Masih teringat oleh ku, bagaimana semesta mengajariku cara hidup. Bermain ayunan akar pohon beringin: terjatuh, luka berdarah, tanpa diobati pun ia sembuh dengan sendirinya. Lalu sekolah. Aku sangat takut berkenalan dengan orang-orang baru, meskipun nakal dan jahil pada akhirnya. Sempat dikejar pemilik kebun semangka, dan dilaporkan kepada guru di sekolah. Sempat mencuri uang bapak, hanya karena tidak dibelikan mainan anak-anak yang mainstream waktu itu. Sempat dijewer ibu, karena tidak lancar menghafal perkalian dari satu kali satu, hingga sepuluh kali sepuluh. Pernah juga hampir terlindas ban truk yang sedang mundur ke belakang. Cukup sering juga menerima hadiah alat tulis dibungkus kertas cokelat karena prestasiku di kelas. Pernah membuat dan menjajakan layangan di pinggir jalan. Pernah juga membuat ogoh-ogoh mini yang tak boleh diarak saat pengerupukan. Pernah juga meminjam telepon genggam orang tua untuk sms-an dengan pacar pertama. Pernah juga dikarantina sekian minggu untuk belajar menulis ilmiah. Pernah dikagumi salah seorang juri waktu lomba karya tulis di Malang. Pernah kamping di Danau Buyan yang makanannya digerogoti habis oleh anjing liar. Pernah kuliah berseragam dengan pangkat di pundak. Pernah disangka pengidap HIV/AIDS karena sakit yang tak terdiagnosis secara benar. Pernah menari kecak dan menjadi rakyat di teater bertemakan Soekarno. Kini, bekerja di bidang yang mata kuliahnya tidak disukai. Semua mengalir begitu saja. Air yang mengalir, bukan aku. Aku hanya dedaunan yang kebetulan saja hanyut pada aliran ini. Aku menyebut aliran ini sebagai hidup, kehidupan.

Sampai kini aku masih hanyut, belum bisa sepenuhnya mengemudikan diri. Memegang kendali atas diri sendiri. Aliran air begitu derasnya. Memaksa aku melupakan seisi perjalanan sebelumnya. Memaksa aku melihat sesuatu yang baru. Lalu melupakan. Menemui hal baru. Kembali melupakan. Sampah-sampah ingatan seperti ini, cukup membantu aku untuk melupakan diri. Tertidur!

Aku menyangkut pada ranting tua. Mungkin aku sudah mencapai sepertiga perjalanan menuju hilir. Mungkin seperempat, atau mungkin setengah. Aku tak tahu pastinya. Di ranting tua ini, aku lagi-lagi melihat sesuatu yang baru. Ah, sesuatu ini belum pernah kujumpai sebelumnya. Ranting tua itu membisiki aku sesuatu, “ini namanya mimpi!” Gerakan kecilnya itu membuat dirinya sebentar lagi patah. Di sisa waktunya, ia menitipkan pesan padaku. “Bawalah mimpi ini kemanapun dirimu hanyut. Dalam percabangan sungai nanti, dirimu akan dinahkodai menuju anak sungai yang tepat. Dengan-nya, kamu akan bisa memegang kendali atas ganasnya aliran sungai ini”.  Aku mempercayainya.

Siang hari, matahari bersinar sedemikian teriknya. Aku tak sanggup memejamkan mata. Seisi kepalaku dihujani deretan angka berbaris dan berkolom, diterpa puluhan instruksi yang sebagian tak kupahami, juga dicumbui guyonan manis yang meyakinkanku untuk tertawa sekencang-kencangnya. Mimpi itu tak akan ada disitu. Kecuali, aku bisa sejenak menghela nafas, lalu memejamkan mata. Barangkali akan ada mimpi yang bisa aku kenali. Sejauh ini: belum ada. Maka, wajar apabila aku menjadi dedaunan yang tak suka berfotosintesis di siang hari.

Malam-pun tiba. Entah kenapa, secangkir kopi pahit tak mampu mengurungkan niatku untuk memejamkan mata. Saat mataku membelalak, aku masih tersadar dalam mimpi. Tulisan-tulisan bisa aku selesaikan. Aku bisa rajin menjelma di kerumunan orang-orang berkepedulian. Bisa merangkai pecahan-pecahan video mentah menjadi cukup apik. Bisa menghabiskan satu buku setebal seratus halaman dalam semalam suntuk. Bisa membereskan angka-angka yang tak bisa kupecahkan di siang hari. Bisa bercengkrama dengan manusia-manusia yang aku sayangi. Bisa melelapkan diri dalam cerita-cerita film yang sarat makna. Bisa mengayuh sepeda lipat sembari mendengarkan acara di radio kesayangan. Dan mungkin yang lainnya. Tiba-tiba aku menjadi lebih menyukai malam. Terlebih pada sorot cahaya lampu jalanan di sudut ibukota, yang terbukti gagal membenamkan mimpi. Mungkin di sisa perjalanan nanti, aku akan sangat bergantung pada malam. Sebagaimana hidup yang bergantung pada mimpi. Aku-pun masih mencoba menemui diri. Mencoba menyederhanakan hidup dan mimpi.

Hai Juni, terima kasih atas waktu dan pelukanmu. Aku sudah lelah, segera ingin melanjutkan mimpi. Esok, mungkin kamu tak melihatku lagi. Atau satu dasawarsa lagi, aku yang tak melihatmu. Tapi sebelum kamu pergi, bolehkah aku menitipkan salam? Tolong sampaikan pada si kembar Gemini-mu:

“Sudahkah mereka membasuh muka sebelum tidur di malam ini?”.
Selamat malam, Juni.


0 komentar: