SELAMAT MALAM, JUNI
Hai Juni, kita ketemu lagi. Setelah dua setengah
dasawarsa kita tak bersua. Semoga tidak berlebihan. Bagaimana kabar-mu? Apakah
kamu masih mengenal wajahku yang dulu pernah kau potret? Atau kamu masih tidak
puas dengan kehadiranku ini? Maafkan aku yang sekarang, Juni. Ijinkan aku
memelukmu sejenak, melepas akutnya rindu, dan menceritakan penantian panjang selama
ini. Sekali lagi, maafkan. Ini bukan soal kronologi waktu yang sedemikian
panjangnya. Aku, hanya ingin bertutur padamu tentang: pilihan. Hal biasa yang
dialami manusia, tetapi luar biasa bagiku. Menentukan pilihan adalah pertaruhan
masa depan. Aku belum lagi terbiasa dengan kata ‘pertaruhan’. Sampai akhirnya, aku
bisa meleburkannya menjadi yang lebih simpel: menemui diri.
Masih teringat oleh ku, bagaimana semesta mengajariku cara
hidup. Bermain ayunan akar pohon beringin: terjatuh, luka berdarah, tanpa
diobati pun ia sembuh dengan sendirinya. Lalu sekolah. Aku sangat takut
berkenalan dengan orang-orang baru, meskipun nakal dan jahil pada akhirnya. Sempat
dikejar pemilik kebun semangka, dan dilaporkan kepada guru di sekolah. Sempat mencuri
uang bapak, hanya karena tidak dibelikan mainan anak-anak yang mainstream waktu
itu. Sempat dijewer ibu, karena tidak lancar menghafal perkalian dari satu kali
satu, hingga sepuluh kali sepuluh. Pernah juga hampir terlindas ban truk yang
sedang mundur ke belakang. Cukup sering juga menerima hadiah alat tulis
dibungkus kertas cokelat karena prestasiku di kelas. Pernah membuat dan
menjajakan layangan di pinggir jalan. Pernah juga membuat ogoh-ogoh mini yang
tak boleh diarak saat pengerupukan. Pernah juga meminjam telepon genggam orang
tua untuk sms-an dengan pacar pertama. Pernah juga dikarantina sekian minggu
untuk belajar menulis ilmiah. Pernah dikagumi salah seorang juri waktu lomba
karya tulis di Malang. Pernah kamping di Danau Buyan yang makanannya digerogoti
habis oleh anjing liar. Pernah kuliah berseragam dengan pangkat di pundak. Pernah
disangka pengidap HIV/AIDS karena sakit yang tak terdiagnosis secara benar. Pernah
menari kecak dan menjadi rakyat di teater bertemakan Soekarno. Kini, bekerja di
bidang yang mata kuliahnya tidak disukai. Semua mengalir begitu saja. Air yang
mengalir, bukan aku. Aku hanya dedaunan yang kebetulan saja hanyut pada aliran
ini. Aku menyebut aliran ini sebagai hidup, kehidupan.
Sampai kini aku masih hanyut, belum bisa sepenuhnya mengemudikan
diri. Memegang kendali atas diri sendiri. Aliran air begitu derasnya. Memaksa
aku melupakan seisi perjalanan sebelumnya. Memaksa aku melihat sesuatu yang
baru. Lalu melupakan. Menemui hal baru. Kembali melupakan. Sampah-sampah
ingatan seperti ini, cukup membantu aku untuk melupakan diri. Tertidur!
Aku menyangkut pada ranting tua. Mungkin aku sudah
mencapai sepertiga perjalanan menuju hilir. Mungkin seperempat, atau mungkin
setengah. Aku tak tahu pastinya. Di ranting tua ini, aku lagi-lagi melihat
sesuatu yang baru. Ah, sesuatu ini belum pernah kujumpai sebelumnya. Ranting
tua itu membisiki aku sesuatu, “ini namanya mimpi!” Gerakan kecilnya itu
membuat dirinya sebentar lagi patah. Di sisa waktunya, ia menitipkan pesan
padaku. “Bawalah mimpi ini kemanapun dirimu hanyut. Dalam percabangan sungai
nanti, dirimu akan dinahkodai menuju anak sungai yang tepat. Dengan-nya, kamu
akan bisa memegang kendali atas ganasnya aliran sungai ini”. Aku mempercayainya.
Siang hari, matahari bersinar sedemikian teriknya. Aku
tak sanggup memejamkan mata. Seisi kepalaku dihujani deretan angka berbaris dan
berkolom, diterpa puluhan instruksi yang sebagian tak kupahami, juga dicumbui guyonan
manis yang meyakinkanku untuk tertawa sekencang-kencangnya. Mimpi itu tak akan
ada disitu. Kecuali, aku bisa sejenak menghela nafas, lalu memejamkan mata. Barangkali
akan ada mimpi yang bisa aku kenali. Sejauh ini: belum ada. Maka, wajar apabila
aku menjadi dedaunan yang tak suka berfotosintesis di siang hari.
Malam-pun tiba. Entah kenapa, secangkir kopi pahit tak mampu
mengurungkan niatku untuk memejamkan mata. Saat mataku membelalak, aku masih
tersadar dalam mimpi. Tulisan-tulisan bisa aku selesaikan. Aku bisa rajin menjelma
di kerumunan orang-orang berkepedulian. Bisa merangkai pecahan-pecahan video
mentah menjadi cukup apik. Bisa menghabiskan satu buku setebal seratus halaman
dalam semalam suntuk. Bisa membereskan angka-angka yang tak bisa kupecahkan di
siang hari. Bisa bercengkrama dengan manusia-manusia yang aku sayangi. Bisa melelapkan
diri dalam cerita-cerita film yang sarat makna. Bisa mengayuh sepeda lipat sembari
mendengarkan acara di radio kesayangan. Dan mungkin yang lainnya. Tiba-tiba aku
menjadi lebih menyukai malam. Terlebih pada sorot cahaya lampu jalanan di sudut
ibukota, yang terbukti gagal membenamkan mimpi. Mungkin di sisa perjalanan
nanti, aku akan sangat bergantung pada malam. Sebagaimana hidup yang bergantung
pada mimpi. Aku-pun masih mencoba menemui diri. Mencoba menyederhanakan hidup
dan mimpi.
Hai Juni, terima kasih atas waktu dan pelukanmu. Aku
sudah lelah, segera ingin melanjutkan mimpi. Esok, mungkin kamu tak melihatku
lagi. Atau satu dasawarsa lagi, aku yang tak melihatmu. Tapi sebelum kamu
pergi, bolehkah aku menitipkan salam? Tolong sampaikan pada si kembar Gemini-mu:
“Sudahkah mereka membasuh muka sebelum tidur di malam ini?”.
Selamat malam, Juni.
0 komentar: