MERDEKA DARI BALIK JENDELA

01.52 Putu Dharma Yusa 0 Comments


“Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 tahun, Ayo Kerja !” Kurang lebih kalimat seperti inilah yang banyak bertebaran di sosial media, spanduk, dan poster-poster menjelang 17 Agustus 2015 beberapa waktu lalu. Ramai, saking ramainya sampai-sampai ucapan selamat juga datang dari Presiden Barack Obama, yang dulu sempat menghabiskan masa kecilnya di tanah air. Saya pun cukup heran, perayaan kemerdekaan Indonesia tahun ini lebih terasa dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Entahlah, apakah karena logonya yang baru diganti. Atau, karena suasana kemerdekaan tahun ini, saya isi dengan hal baru yang menjadi salah satu mimpi sederhana saya: berbagi. Saya berusaha mencari jawabannya. Logo baru itu ternyata belum cukup mampu menarik perhatian saya, maka saya putuskan untuk menulis alasan kedua: berbagi dalam suasana kemerdekaan Indonesia ke-70.

Adalah Komunitas Jendela Jakarta, sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak yang belum merdeka secara ekonomi. Markasnya berlokasi di daerah Pangkalan Motor, Jalan Manggarai Utara VI, RT 08/RW 01 Manggarai, Jakarta Selatan. Di komunitas ini, banyak sekali berkumpul relawan-relawan dari berbagai bidang atas satu nama: pendidikan. Pendidikan yang seperti apa? Pendidikan yang menaruh harapan pada minat anak-anak untuk membaca. Karena membuka halaman buku sama seperti membuka jendela dunia untuk memperkecil dunia itu sendiri. Buku-bukunya tertata cukup rapi di ruangan perpustakaan berdindingkan papan kayu. Kegiatan di komunitas ini efektif pada akhir pekan, alias Sabtu dan Minggu. Ada puluhan anak-anak yang ‘dibesarkan’ di komunitas ini, mulai dari umur 5 hingga 15 tahun. Dan saya sendiri, adalah relawan yang masih seumur jagung. Saya belum lama bergabung di komunitas yang sudah berdiri sejak akhir 2012 silam. Tapi, dalam waktu yang singkat saya sudah merasa dekat dengan anak-anak dan rekan-rekan relawan di komunitas ini. Hmmm, jendela memang diperuntukkan untuk mendekatkan rumah dengan dunia indah di luar sana, dan saya mulai membuka jendela itu.

Hari itu adalah hari Minggu, 16 Agustus 2015. Dengan menggaet pemuda setempat, Komunitas Jendela mengadakan perlombaan dalam rangka memperingati kemerdekaan RI yang ke-70. Seperti jenis-jenis perlombaan tujuh-belasan umumnya, begitulah kurang lebih gambarannya. Cuma yang membedakan adalah kesederhanaannya. Juga senyum yang terpancar dari wajah anak-anak dan warga yang menaruh harapan akan Indonesia yang lebih baik. Lomba-lomba yang diadakan seperti marathon edukasi yang menantang anak-anak jendela untuk bermain sambil belajar. Dilanjutkan dengan lomba-lomba yang lumrah dilaksanakan seperti lomba menangkap belut dan mengumpulkan bendera ke dalam botol untuk anak-anak yang berusia di bawah 7 tahun. Selain itu juga ada memasukkan benang ke jarum sambil lomba kelereng, lalu lomba estafet dari balap karung – makan krupuk -  ambil koin di buah pepaya yang dilumuri arang, lomba memecahkan balon yang diisi tepung, termasuk lomba futsal dengan mengenakan sarung. Selain untuk anak kecil, perlombaan juga diperuntukkan untuk ibu-ibu yang melahirkan mereka. Lombanya juga tidak kalah seru, ada lomba merias wajah, lomba goyang dimana buah diletakkan di dua dahi peserta, lomba balap karung, dan lomba kelereng. Seharian penuh dari pagi hingga sore warga RT 08/RW 01 harus berpaling dari rutinitas harian mereka, dan menyaksikan anak-anak mereka beradu ketangkasan di lomba tujuh-belasan itu.

Keesokan harinya, 17 Agustus 2015. Teriknya sinar matahari pagi berhasil dihadang oleh pohon besar di depan perpustakaan Komunitas Jendela Manggarai. Tiang bambu dengan katrol berkarat yang digantung tali tambang siap sedia menunggu sangsaka merah putih dikerek naik. Pengeras suara lengkap dengan microphone mulai menyanyikan lagu-lagu dari album Untukmu Indonesiaku yang dinyanyikan oleh Grup Band Cokelat. Kakak-kakak relawan juga sibuk mempersiapkan jalannya upacara bendera: ada yang mengatur lipatan bendera, merapikan naskah-naskah yang digunakan, dan juga ada yang bermain-main dengan adik-adik yang baru datang sepulang upacara bendera di sekolah masing-masing. Suasana hingar bingar ini dipercantik lagi dengan kedatangan adik-adik komunitas yang akan mengikuti upacara bendera peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka.

Pemandangan yang khas terlihat di sini. Sebagian besar dari adik-adik komunitas memang mengenakan seragam sekolah sesuai jenjang sekolahnya masing-masing, apakah SD atau SMP. Tapi tidak cukup lengkap dan belum cukup rapi untuk dilihat. Ada yang tidak bawa topi, atau mungkin tidak punya. Ada yang dasi merahnya kependekan, atau kepanjangan karena tali dasinya sudah kendur. Ada yang bajunya sudah kotor ditempeli campuran keringat dan debu. Ada yang tidak memakai ikat pinggang yang masih beruntung celananya tidak kedodoran. Bahkan yang paling khas, ketika seragam sekolah sudah terpakai, mereka tidak memakai sepatu dan kaus kaki, hanya sandal rumahan yang tidak cukup bersih terlihat. Dan sisanya lagi, hampir separuhnya tidak mengenakan seragam sekolah. Mereka mengenakan baju rumah apa adanya. Mudah-mudahan situasi seperti ini bisa terbayang di benak kita.

Upacara dimulai, barisan disiapkan. Anak-anak komunitas baris bersap diikuti kakak-kakak relawan yang disandari badan adik-adik kecil di bawah 5 tahun. Wajar, mereka agak susah diatur. Febri, sang pemimpin upacara terlihat mulai merapikan barisan peserta. Ita juga telah bersiap-siap di depan mic karena diberi tugas membacakan susunan upacara. Regi yang mengingat-ingat lagu karena ditugaskan menjadi dirijen. Yuni yang terlihat seperti belajar membaca, karena memegang teks pembukaan UUD 1945. Salim yang terkadang memejamkan mata, karena di tanggannya ada lembaran teks doa. Ihsan yang menjadi ajudan sekaligus membawa Pancasila berdiri tidak begitu tegap di belakang Kak Andi Pri sebagai Pembina Upacara. Dan tak ketinggalan trio cilik: Tika, Sena, dan Salwa, yang menjadi srikandi pengibar bendera di tiang bambu itu. Jalannya upacara relatif lancar di tengah kesederhanaan tiang bambu, perpustakaan berdinding papan, dan tanah berkerikil yang tak lagi berdebu setelah disiram oleh Pak Yamin, warga yang dipercaya menjaga perpus. Jika diintip dari balik jendela, saya sepertinya berada di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Lebih tepatnya saat proklamasi dikumandangkan dan bendera merah putih dikibarkan. Merdeka !

Di sela-sela lamunan sembari memantau jalannya upacara di antara petugas, terlihat trio cilik pengibar bendera melangkahkan kakinya menuju ke hadapan tiang bambu sederhana itu. Hentakan sandal Sena bercampur sepatu Tika dan Salwa terdengar tidak senada. Maklum, tanah menuju tiang bendera memang tidak cukup rata untuk menyamakan hentakan suara kaki. Bendera pun berhasil diikat berkat kelentikan jari-jari kecil Salwa dan ditarik berkibar di tangan Tika, Sena hanya memegang tali agar tidak terjatuh ke tanah. Nampaknya Febri masih terlihat gugup, sehingga Regi memimpin peserta upacara untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada aba-aba penghormatan dari Febri. Aba-abanya baru disadari kemudian setelah kakak-kakak relawan memberi kode kepada Febri. Tak apa, kesalahan kecil seperti ini belum cukup menyurutkan semangat anak-anak jendela memperingati 70 tahun Indonesia Merdeka. Akhirnya, bendera merah putih selamat hingga pucuk tiang bambu. Sang bayu pun menerpanya dan mengibarkan merah putih dengan gagahnya. Upacara pun selesai, dan sekali lagi berlangsung cukup lancar, walau tidak serapi upacara di Istana Presiden. Wajah para petugas upacara pun terlihat cukup lega telah menyelesaikan tugasnya masing-masing. Saya melihatnya seperti para pahlawan yang baru selesai memukul mundur pada imperialis, para penjajah.

Sore harinya, diadakan pentas seni yang menampilkan bakat-bakat unik anak-anak jendela, seperti menari, menyanyi, membaca puisi, dan bermain drama. Di sela-sela acara diisi dengan pembagian hadiah lomba serta joged goyang penguin bersama warga yang menonton, seperti acara YK* yang tiap beberapa segmen ada goyang bersama penontonnya. Penari-penari yang tampil dihiasi kostum berbahan koran dan dihiasi pita bercorak merah dan putih. Tariannya cukup menghibur dan meriuhkan tepuk tangan penonton. Nyanyian anak-anak jendela pun cukup menyihir penonton untuk turut mengeluarkan suaranya. Dan, drama yang bertemakan kepahlawanan juga dihadirkan, judulnya “Perjuangan Desa Tanah Hilir”. Cerita singkatnya adalah perjuangan pemuda desa melawan kompeni Belanda yang ingin membumi hanguskan desa untuk kepentingan penjajah. Endingnya, pemuda desa berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang dikomandoi oleh Dirck, Hendrick, berikut pasukannya. Atas kemenangan ini, Suseno, sang pemimpin pemuda desa, meneriakkan suara lantang untuk memacu semangat pemuda. Tapi, ending ini tidak berjalan mulus. Suseno yang diperankan oleh Dadan, terlihat sedikit gugup seperti mengingat-ingat kata-kata penutupnya.

“Berjuang atau Mati ?”, teriak Suseno.
Pasukannya menyahut, “Merdeka”.
Sekali lagi Suseno berteriak, “Berjuang atau Merdeka?”.
Pasukan dan penonton juga kembali menyahut dengan lebih kencang, “Merdeka !!!”.

Lalu kemudian suasana hening sejenak, menoleh sesama, dan diakhiri dengan tertawa bersama yang cukup kencang. Suseno sepertinya lupa akan dialog yang seharusnya “Merdeka atau Mati?”. Tapi, serempak anak-anak jendela memilih merdeka. Kesan khas inilah yang menutup arti perjalanan 70 tahun Indonesia Merdeka dari balik jendela.

Iya, merdeka adalah sebuah pesan yang harus terus diperjuangkan. Caranya? Apapun itu yang menurut kita baik untuk negeri ini. Saya pribadi lebih memilih mengisi kemerdekaan dengan berbagi bersama anak-anak Manggarai, berbagi apa yang bisa saya bagi. Tidak seperti para pejabat negeri ini yang hanya berbagi di kala kampanye pemilihan umum, atau tidak seperti anggota dewan yang justru terus mengharapkan bagian. Dari balik jendela, ada banyak jalan untuk terus menjaga dan mengisi kemerdekaan negeri ini. Jangan tunggu negeri ini dijajah. Karena sesungguhnya penjajah ada di dalam negeri ini. Penjajah yang menggerogoti rakyat atas nama kesejahteraan, penjajah yang melacurkan hasil bumi pertiwi atas nama kemakmuran, dan penjajah yang menjajakan hukum atas nama keadilan. Jangan lupakan senyum-senyum dan mimpi penerus bangsa ini ada. Karena nasib bangsa ini, ada di tangan-tangan mungil mereka. Anda setuju, anak muda beda dan berbahaya?

0 komentar: