MERDEKA DARI BALIK JENDELA
“Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 tahun, Ayo Kerja !”
Kurang lebih kalimat seperti inilah yang banyak bertebaran di sosial media,
spanduk, dan poster-poster menjelang 17 Agustus 2015 beberapa waktu lalu. Ramai,
saking ramainya sampai-sampai ucapan selamat juga datang dari Presiden Barack
Obama, yang dulu sempat menghabiskan masa kecilnya di tanah air. Saya pun cukup
heran, perayaan kemerdekaan Indonesia tahun ini lebih terasa dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Entahlah, apakah karena logonya yang baru diganti.
Atau, karena suasana kemerdekaan tahun ini, saya isi dengan hal baru yang
menjadi salah satu mimpi sederhana saya: berbagi. Saya berusaha mencari
jawabannya. Logo baru itu ternyata belum cukup mampu menarik perhatian saya,
maka saya putuskan untuk menulis alasan kedua: berbagi dalam suasana
kemerdekaan Indonesia ke-70.
Adalah Komunitas Jendela Jakarta, sebuah komunitas yang
bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak yang belum merdeka secara
ekonomi. Markasnya berlokasi di daerah Pangkalan Motor, Jalan Manggarai Utara
VI, RT 08/RW 01 Manggarai, Jakarta Selatan. Di komunitas ini, banyak sekali
berkumpul relawan-relawan dari berbagai bidang atas satu nama: pendidikan. Pendidikan
yang seperti apa? Pendidikan yang menaruh harapan pada minat anak-anak untuk
membaca. Karena membuka halaman buku sama seperti membuka jendela dunia untuk memperkecil
dunia itu sendiri. Buku-bukunya tertata cukup rapi di ruangan perpustakaan
berdindingkan papan kayu. Kegiatan di komunitas ini efektif pada akhir pekan, alias
Sabtu dan Minggu. Ada puluhan anak-anak yang ‘dibesarkan’ di komunitas ini, mulai
dari umur 5 hingga 15 tahun. Dan saya sendiri, adalah relawan yang masih seumur
jagung. Saya belum lama bergabung di komunitas yang sudah berdiri sejak akhir
2012 silam. Tapi, dalam waktu yang singkat saya sudah merasa dekat dengan
anak-anak dan rekan-rekan relawan di komunitas ini. Hmmm, jendela memang diperuntukkan untuk mendekatkan rumah dengan
dunia indah di luar sana, dan saya mulai membuka jendela itu.
Hari itu adalah hari Minggu, 16 Agustus 2015. Dengan
menggaet pemuda setempat, Komunitas Jendela mengadakan perlombaan dalam rangka
memperingati kemerdekaan RI yang ke-70. Seperti jenis-jenis perlombaan tujuh-belasan
umumnya, begitulah kurang lebih gambarannya. Cuma yang membedakan adalah
kesederhanaannya. Juga senyum yang terpancar dari wajah anak-anak dan warga
yang menaruh harapan akan Indonesia yang lebih baik. Lomba-lomba yang diadakan
seperti marathon edukasi yang menantang anak-anak jendela untuk bermain sambil belajar.
Dilanjutkan dengan lomba-lomba yang lumrah dilaksanakan seperti lomba menangkap
belut dan mengumpulkan bendera ke dalam botol untuk anak-anak yang berusia di
bawah 7 tahun. Selain itu juga ada memasukkan benang ke jarum sambil lomba
kelereng, lalu lomba estafet dari balap karung – makan krupuk - ambil koin di buah pepaya yang dilumuri arang,
lomba memecahkan balon yang diisi tepung, termasuk lomba futsal dengan
mengenakan sarung. Selain untuk anak kecil, perlombaan juga diperuntukkan untuk
ibu-ibu yang melahirkan mereka. Lombanya juga tidak kalah seru, ada lomba
merias wajah, lomba goyang dimana buah diletakkan di dua dahi peserta, lomba
balap karung, dan lomba kelereng. Seharian penuh dari pagi hingga sore warga RT
08/RW 01 harus berpaling dari rutinitas harian mereka, dan menyaksikan
anak-anak mereka beradu ketangkasan di lomba tujuh-belasan itu.
Keesokan harinya, 17 Agustus 2015. Teriknya sinar
matahari pagi berhasil dihadang oleh pohon besar di depan perpustakaan
Komunitas Jendela Manggarai. Tiang bambu dengan katrol berkarat yang digantung
tali tambang siap sedia menunggu sangsaka merah putih dikerek naik. Pengeras
suara lengkap dengan microphone mulai
menyanyikan lagu-lagu dari album Untukmu Indonesiaku yang dinyanyikan oleh Grup
Band Cokelat. Kakak-kakak relawan juga sibuk mempersiapkan jalannya upacara
bendera: ada yang mengatur lipatan bendera, merapikan naskah-naskah yang
digunakan, dan juga ada yang bermain-main dengan adik-adik yang baru datang
sepulang upacara bendera di sekolah masing-masing. Suasana hingar bingar ini
dipercantik lagi dengan kedatangan adik-adik komunitas yang akan mengikuti
upacara bendera peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka.
Pemandangan yang khas terlihat di sini. Sebagian besar
dari adik-adik komunitas memang mengenakan seragam sekolah sesuai jenjang
sekolahnya masing-masing, apakah SD atau SMP. Tapi tidak cukup lengkap dan belum
cukup rapi untuk dilihat. Ada yang tidak bawa topi, atau mungkin tidak punya. Ada
yang dasi merahnya kependekan, atau kepanjangan karena tali dasinya sudah
kendur. Ada yang bajunya sudah kotor ditempeli campuran keringat dan debu. Ada
yang tidak memakai ikat pinggang yang masih beruntung celananya tidak
kedodoran. Bahkan yang paling khas, ketika seragam sekolah sudah terpakai,
mereka tidak memakai sepatu dan kaus kaki, hanya sandal rumahan yang tidak
cukup bersih terlihat. Dan sisanya lagi, hampir separuhnya tidak mengenakan
seragam sekolah. Mereka mengenakan baju rumah apa adanya. Mudah-mudahan situasi
seperti ini bisa terbayang di benak kita.
Upacara dimulai, barisan disiapkan. Anak-anak komunitas
baris bersap diikuti kakak-kakak relawan yang disandari badan adik-adik kecil
di bawah 5 tahun. Wajar, mereka agak susah diatur. Febri, sang pemimpin upacara
terlihat mulai merapikan barisan peserta. Ita juga telah bersiap-siap di depan mic karena diberi tugas membacakan
susunan upacara. Regi yang mengingat-ingat lagu karena ditugaskan menjadi
dirijen. Yuni yang terlihat seperti belajar membaca, karena memegang teks
pembukaan UUD 1945. Salim yang terkadang memejamkan mata, karena di tanggannya
ada lembaran teks doa. Ihsan yang menjadi ajudan sekaligus membawa Pancasila berdiri
tidak begitu tegap di belakang Kak Andi Pri sebagai Pembina Upacara. Dan tak
ketinggalan trio cilik: Tika, Sena, dan Salwa, yang menjadi srikandi pengibar
bendera di tiang bambu itu. Jalannya upacara relatif lancar di tengah
kesederhanaan tiang bambu, perpustakaan berdinding papan, dan tanah berkerikil
yang tak lagi berdebu setelah disiram oleh Pak Yamin, warga yang dipercaya
menjaga perpus. Jika diintip dari balik jendela, saya sepertinya berada di
rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Lebih tepatnya saat
proklamasi dikumandangkan dan bendera merah putih dikibarkan. Merdeka !
Di sela-sela lamunan sembari memantau jalannya upacara
di antara petugas, terlihat trio cilik pengibar bendera melangkahkan kakinya
menuju ke hadapan tiang bambu sederhana itu. Hentakan sandal Sena bercampur
sepatu Tika dan Salwa terdengar tidak senada. Maklum, tanah menuju tiang
bendera memang tidak cukup rata untuk menyamakan hentakan suara kaki. Bendera
pun berhasil diikat berkat kelentikan jari-jari kecil Salwa dan ditarik
berkibar di tangan Tika, Sena hanya memegang tali agar tidak terjatuh ke tanah.
Nampaknya Febri masih terlihat gugup, sehingga Regi memimpin peserta upacara
untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada aba-aba penghormatan dari
Febri. Aba-abanya baru disadari kemudian setelah kakak-kakak relawan memberi
kode kepada Febri. Tak apa, kesalahan kecil seperti ini belum cukup menyurutkan
semangat anak-anak jendela memperingati 70 tahun Indonesia Merdeka. Akhirnya, bendera
merah putih selamat hingga pucuk tiang bambu. Sang bayu pun menerpanya dan
mengibarkan merah putih dengan gagahnya. Upacara pun selesai, dan sekali lagi
berlangsung cukup lancar, walau tidak serapi upacara di Istana Presiden. Wajah
para petugas upacara pun terlihat cukup lega telah menyelesaikan tugasnya
masing-masing. Saya melihatnya seperti para pahlawan yang baru selesai memukul
mundur pada imperialis, para penjajah.
Sore harinya, diadakan pentas seni yang menampilkan
bakat-bakat unik anak-anak jendela, seperti menari, menyanyi, membaca puisi,
dan bermain drama. Di sela-sela acara diisi dengan pembagian hadiah lomba serta
joged goyang penguin bersama warga yang menonton, seperti acara YK* yang tiap
beberapa segmen ada goyang bersama penontonnya. Penari-penari yang tampil
dihiasi kostum berbahan koran dan dihiasi pita bercorak merah dan putih. Tariannya
cukup menghibur dan meriuhkan tepuk tangan penonton. Nyanyian anak-anak jendela
pun cukup menyihir penonton untuk turut mengeluarkan suaranya. Dan, drama yang
bertemakan kepahlawanan juga dihadirkan, judulnya “Perjuangan Desa Tanah Hilir”.
Cerita singkatnya adalah perjuangan pemuda desa melawan kompeni Belanda yang
ingin membumi hanguskan desa untuk kepentingan penjajah. Endingnya, pemuda desa
berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang dikomandoi oleh Dirck, Hendrick, berikut
pasukannya. Atas kemenangan ini, Suseno, sang pemimpin pemuda desa, meneriakkan
suara lantang untuk memacu semangat pemuda. Tapi, ending ini tidak berjalan
mulus. Suseno yang diperankan oleh Dadan, terlihat sedikit gugup seperti mengingat-ingat
kata-kata penutupnya.
“Berjuang atau Mati ?”, teriak Suseno.
Pasukannya menyahut, “Merdeka”.
Sekali lagi Suseno berteriak, “Berjuang atau Merdeka?”.
Pasukan dan penonton juga kembali menyahut dengan lebih
kencang, “Merdeka !!!”.
Lalu kemudian suasana hening sejenak, menoleh sesama,
dan diakhiri dengan tertawa bersama yang cukup kencang. Suseno sepertinya lupa
akan dialog yang seharusnya “Merdeka atau Mati?”. Tapi, serempak anak-anak
jendela memilih merdeka. Kesan khas inilah yang menutup arti perjalanan 70
tahun Indonesia Merdeka dari balik jendela.
Iya, merdeka adalah sebuah pesan yang harus terus
diperjuangkan. Caranya? Apapun itu yang menurut kita baik untuk negeri ini. Saya
pribadi lebih memilih mengisi kemerdekaan dengan berbagi bersama anak-anak
Manggarai, berbagi apa yang bisa saya bagi. Tidak seperti para pejabat negeri
ini yang hanya berbagi di kala kampanye pemilihan umum, atau tidak seperti anggota
dewan yang justru terus mengharapkan bagian. Dari balik jendela, ada banyak
jalan untuk terus menjaga dan mengisi kemerdekaan negeri ini. Jangan tunggu
negeri ini dijajah. Karena sesungguhnya penjajah ada di dalam negeri ini. Penjajah
yang menggerogoti rakyat atas nama kesejahteraan, penjajah yang melacurkan
hasil bumi pertiwi atas nama kemakmuran, dan penjajah yang menjajakan hukum
atas nama keadilan. Jangan lupakan senyum-senyum dan mimpi penerus bangsa ini ada.
Karena nasib bangsa ini, ada di tangan-tangan mungil mereka. Anda setuju, anak
muda beda dan berbahaya?
0 komentar: