LELAH DILANDA RINDU
Aku juga manusia
biasa. Manusia biasa yang beruntung: masih ditemani cinta dalam keseharian.
Benar kata orang: hidup tanpa cinta, bagai dunia tanpa taman, dan bagai taman
taka da bunganya. Tak dipungkiri, cinta lah yang membuat bara api
corat-mencoret ini masih terjaga. Seperti kata Sapardi Djoko Darmono, “Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang telah menjadikannya abu”, seperti inilah arti cinta menurutku sejauh
ini. Dan kali ini, cinta telah menuliskan sesuatu untuk aku bagikan. Emmy
Fibrianti, itulah nama cinta bagiku. Ini adalah tulisannya: tentang cinta di
tengah perbedaan jarak dan waktu. Selamat membaca, cinta.
For five years, become a couple
in a long-distance relationship. Can anyone believe that? I, even my
self can not believe it. Trust me, this is my first love story. Now I want to
tell you, what I feel right now at this moment. The distance that stretches between
us makes me can’t hug you when I missing you. Even if I only want to hear your
voice, I have to know when the right time to call you. Looks like this would
make me crazy.
Haruskah aku berterima kasih pada
jarak dan waktu, atau sebaliknya ?
Aku tak tahu pasti jarak Jakarta
- Bali, mungkin ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Hanya satu yang aku tahu
pasti: kita berada pada zona waktu yang berbeda. Waktu di tempatku lebih cepat
satu jam dibanding tempatmu. Jarak yang terbentang jauh membuat mata ini tak
dapat melihatmu ketika ia ingin bertemu. Sedangkan, waktu membuatku harus rela
tidur lebih larut, karena telinga ini masih ingin mendengar suaramu. Lalu,
apakah aku masih harus berterima kasih pada jarak dan waktu?
Namun dibalik itu semua, jarak
juga mengajariku hal penting: aku dituntut untuk menjadi orang yang lebih
sabar. Aku harus sabar menantikan hari dimana aku dan kamu dapat berjumpa
secara nyata, bukan lewat skype ataupun via suara. Jika aku
hitung-hitung, perlu waktu kurang lebih 180 hari agar dapat berjumpa denganmu.
Tahukah kamu, tidak mudah untuk menjadi sabar ketika rindu menerpa?
Lalu, apa yang diajarkan waktu
padaku?
Ketika jarak melatihku untuk
menjadi orang yang lebih sabar, waktu membuatku sadar betapa berharganya setiap
detik yang kita lewati bersama. Aku harus pintar membaca situasi dan tahu kapan
harus bermanja-manja denganmu atau bahkan memberimu waktu untuk dirimu sendiri.
Waktumu yang tidak begitu banyak ketika pulang ke Bali membuat kita sebisa
mungkin mengabadikan setiap momen bersama. Every
single thing that we’ve been trough it felt so perfect. Misalnya, masakin
mie rebus saja dapat dikategorikan sebagai tindakan yang romantic, hahahaha. Then, do I have to say thank you?
Kepada jarak dan waktu . . .
Sampai detik ini, kalian berdua
masih menjadi alasan kandasnya sebuah hubungan untuk beberapa pasangan LDR di
luar sana. Entahlah, apakah benar kalian sejahat itu? Atau mungkin, cinta
mereka yang tidak cukup kuat untuk mengalahkan kalian berdua? Kepada jarak dan
waktu, aku semogakan kalian dapat menjadi sahabat dalam waktu dekat untuk kami
berdua.
Dan kepada kekasih ku . . .
Aku tak pernah menyangka, hanya
berawal dari sebuah pesan singkat “Hi, may I know your name?” darimu
kita bisa sampai sejauh ini. Did
you know that I already
fall in love with you when I was sixteen? Hahaha I hope you’ve noticed that.
Tak pernah ku sangka pula
hubungan yang awalnya “jalani aja dulu”, kini menjadi topik dalam setiap
pembicaraan ringan kita, tentang masa depan. Aku sangat senang, kau melibatkanku
dalam setiap rencana masa depanmu. Rencana yang tidak hanya sekedar rencana,
namun rencana yang kita sedang upayakan agar menjadi kenyataan. Semoga semesta
mendukung, astungkara.
Sebagai makhluk Tuhan yang tidak
sempurna, terima kasih sudah menerima ku apa adanya. Thankyou for being strong to accept
the truth. I know its hard to face the fact, but you are strong enough to
accept it.
4 Agustus 2015 - Emmy
Fibrianti.
0 komentar: