WISATA BALI MOVEMENTS
Kata orang, siapa yang tidak mengenal Bali? Ya, Bali sedemikian
terkenalnya hingga tak henti-hentinya dikerubuti wisatawan domestik maupun
asing. Kuta, Ubud, Sanur, Tanah Lot, Lovina, Candidasa, Nusa Dua, dan seabrek
tempat wisata lainnya menjadi kawah turis yang dikunjungi ribuan orang per
harinya. Tak jarang, bagi wisatawan yang haus akan lokasi baru menyebut daftar
daerah-daerah di atas adalah wisata mainstream.
Bahasa kurang populernya: sudah biasa. Kata-kata mainstream yang juga pada akhirnya memunculkan aksi-aksi para
traveler menerabas semak-semak gunung dan pantai, untuk menemukan objek wisata
anti mainstream. Sebut saja Bukit Asah dan Pantai Bias Tugel di Karangasem, air
terjun Sekumpul Buleleng, dan serentetan pantai-pantai indah di Nusa Penida menjadi
tujuan utama para traveler. Bak tersaingi, kini justru wisatawan lokal lah yang
menyerbu tempat baru ini. Tapi, coretan ini tidak membahas hal ini. Saya akan
menulis pengalaman saya dan kawan-kawan, ketika maplesiran alias jalan-jalan ala muda beda berbahaya selama sehari menuju
tempat anti mainstream. Jalan-jalan ini kami sebut wisata “Bali Movements”.
Hari itu hari Selasa, hitungan
tanggalnya 14 Juli 2015. Saya bersama tiga orang kawan: Pande, Indra, dan Ivan
berjumpa di sebuah minimart di Tohpati, Denpasar sekitar jam 11 siang. Semalam
sebelumnya, kami membuka diskusi online berempat untuk merencakan perjalanan
ini. Diskusinya singkat, dan kami sepakat untuk menuju ke empat lokasi yang
bisa membuka mata dan kepedulian tentang alam dan sekitar. Berbekal sepeda
motor butut awal tahun 2000-an, sebilah kamera DSLR, dan cemilan ringan yang
tertelan rapi di perut, kami langsung cus ke lokasi. Ini list tempatnya:
EKS REKLAMASI PULAU SERANGAN
EKS REKLAMASI PULAU SERANGAN
Melewati
jalan By Pass Ngurah Rai, kami berbelok ke kiri melewati jalanan yang
dikelilingi rimbunan bakau pinggirannya. Ruas kiri dan kanan jalan itu dibatasi
oleh deretan cemara hijau yang terlihat tak lagi sering diurus. Dari batasan
pinggir jalan terlihat bekas-bekas tanah kapur putih yang disangga beton agar
tak rusak di tanah gambut. Ini adalah jalan menuju jembatan dan Pulau Serangan.
Jalan yang seringkali dulu aku lewati ketika riset karya ilmiah tentang
pelestarian penyu dan terumbu karang setelah rusak akibat megaproyek reklamasi
Pulau Serangan. Jalan ini juga menjadi saksi bisu ketika saya, Bang Jastis, dan
Bang Tommy (dari Eagle Institute Indonesia) memproduksi film dokumenter “Karya
Segara (Bekerja untuk Laut)” selama sepekan lebih di bulan Maret 2013 silam.
Teriknya matahari menghentikan kami di sela-sela pepohonan jembatan
Pulau Serangan. Kami tidak masuk ke areal desa. Bukan karena kami tidak mau
membayar sumbangan untuk desa adat yang dikenakan 2.000 rupiah per orang, tapi
kami ingin melihat eks proyek reklamasi Serangan hanya dari jembatan ini. Reklamasi
pulau Serangan telah mengurug pesisir dan menjadikan pulau ini seluas 491
hektar, empat kali luas pulau asli (semula). Bayangkan, berapa banyak terumbu
karang, mangrove, penyu, dan biota laut lainnya yang meninggalkan bumi ini
karena kerakusan manusia di kala itu? Bayangkan, bagaimana nelayan menangkap
ikan setelah mata pencahariannya ditimbun koral dan pasir? Sungguh parah,
banyak nelayan yang beralih profesi menjadi penambang karang. Imbasnya,
ekosistem kian rusak parah. Serangan yang dulunya menjadi tempat singgah
berbagai jenis penyu, menjadi daerah pembantai penyu, bahkan katanya terbesar
di dunia. Wisatawan asing pun mengecam tindakan ini dan berniat memboikot
pariwisata Bali.
Tanah-tanah kapur eks reklamasi kini
masih tak terurus, hanya ditumbuhi pepohonan tak bermanfaat, lahannya untuk
aktivitas belajar mengemudi mobil, pinggirannya hanya terlihat orang duduk
memancing berharap ikan menyapu umpan, dan tak ketinggalan tumpukan sampah yang
mulai menggunung sedemikian indahnya. Setidaknya, begini yang kami rasakan di
tempat ini. Reklamasi ini saja belum beres, lalu mengapa kongkalikong penguasa
dan pengusaha berencana mereklamasi lagi Teluk Benoa yang tak jauh dari tempat
ini? Kami jadi membayangkan, jika proyek itu jadi: berapa juta ekosistem laut
lagi yang dipaksa mati untuk kerakusan manusia? Berapa banyak nelayan pesisir
yang akan dipaksa beralih profesi karena lahannya diurug? Dan, akankah berakhir
lagi seperti ini, seperti eks reklamasi Pulau Serangan yang tidak dibangunkan
apa-apa?
TOL BALI MANDARA – DESA ADAT TANJUNG BENOA
TOL BALI MANDARA – DESA ADAT TANJUNG BENOA
Setelah puas membayangkan
kekejaman reklamasi Pulau Serangan, kami berempat menuju tempat berikutnya:
Desa Adat Tanjung Benoa, desa yang menjadi sasaran utama rencana Reklamasi
Teluk Benoa. Kami sengaja melewati tol laut Bali Mandara yang diresmikan
tanggal 23 September 2013 lalu. Bukan karena ingin perjalanan lebih cepat, tapi
kami ingin membuktikan apakah benar tol ini dibuat untuk reklamasi semata. Selama
ini, kemacetan dan kemudahan akses dari Denpasar – Bandara Ngurah Rai – Nusa
Dua untuk event-event internasional di Bali menjadi alasan kenapa tol laut ini
dibangun. Tapi, riset kami membuktikan bahwa ada potongan sambungan jalan yang
sudah disiapkan di tengah-tengah tol ini. Benar, tol ini memang disiapkan untuk
memuluskan rencana reklamasi Teluk Benoa. Jika reklamasi jalan, investor
tinggal menyambungkan areal reklamasi dengan tol melalui sambungan itu. Luar
biasa.
Sekalipun naik motor, kami masih bisa masuk tol. Karena tol ini juga
menyediakan jalan khusus untuk pengendara motor, di ruas paling pinggir. Bayarannya
3.000 rupiah untuk jarak tempuh sekitar 12 kilometer menuju Nusa Dua. Hembusan
angin laut yang kencang, cukup menghambat perjalanan kami di tol ini. Jalan
motor yang tidak cukup kencang membuat kami merasakan tol ini sangat sangat
sepi. Hitungan motor dan mobil yang lewat tidak sebanyak yang kami perkirakan,
walaupun kala itu menunjukkan jam 1 siang. Hitungan ini menambah kuatnya
argumen kami, kalau tol ini mutlak didesain untuk kepentingan reklamasi, bukan untuk
mengurai kemacetan semata. Sejauh mata memandang, pikiran kami sedikit
disejukkan setelah di beberapa areal pendangkalan tertancap bendera “Tolak
Reklamasi Teluk Benoa” yang gagah dikibarkan oleh sang bayu. Sekitar lima belas
menit, kami berhasil meloloskan diri dari tol laut yang dipenuhi tipu daya ini.
Motor butut kami kemudian meluncur ke Desa Adat Tanjung Benoa. Sebelum
memasuki desa, kami disambut poster dan baliho yang kurang lebih bertuliskan
begini “Save Mangrove . . .” dari Forum Peduli M***rove, maaf harus saya
sensor. Organisasi ini disebut-sebut sebagai kepanjangan tangan investor
reklamasi Teluk Benoa, untuk membuat citra mereka menjadi baik di mata masyarakat.
Bahasa kurang populernya: greenwashing.
Greenwashing itu seperti topeng,
hanyalah kedok yang mengatasnamakan alam untuk kepentingan eksploitasi atau
keuntungan semata. “Persetan dengan tulisan itu!”, pikirku. Masuk ke areal Desa
Adat Tanjung Benoa, kami disapa seorang lelaki berumur yang mengenakan pakaian
adat Bali untuk memungut uang pembangunan desa adat. Selain bapak tadi, ada juga
baliho besar yang menyambut kami, tulisannya kira-kira begini “Masyarakat
Tanjung Benoa Menolak Reklamasi Teluk Benoa”. Adeem.
“Maaf dek-dek, jalannya salah. Tadi harusnya belok ke kiri”, begitu
kata-kata seorang bapak yang mengejar kami dengan sepeda motornya. Lalu,
menanyakan tujuan kami mau kemana. Kami mengira bapak itu adalah warga lokal
yang sedang mengincar wisatawan untuk berwisata air di wahana tempat ia
bekerja. Kami menjelaskan tujuan kami: hanya untuk jalan-jalan biasa. Bapak
itupun pergi, dengan gas motor yang cukup kencang. Tapi kami tidak
mempermasalahkan itu. Masalahnya adalah jalan yang kami tuju itu adalah benar
areal pantai, yang dulu sewaktu pernah aku datangi. Tapi kini sudah dilarang, tak
tahu alasannya. Mungkin sudah menjadi pantai private. Tak sembarangan
orang boleh masuk, termasuk orang Bali dan orang lokal sekalipun, kecuali ada
bayarannya. Akhirnya, sepeda motor kami parkir di pinggir stasiun pengisian
bahan bakar untuk kapal, dan kami bergegas menuju pesisir pantai melalui
jalanan rumah warga Tanjung Benoa.
Perut kami keroncongan. Warung tipat cantok menjadi surga bagi
cacing-cacing di perut kala itu. Warungnya tepat berada di depan pesisir barat
Tanjung Benoa, menghadap ke tol laut yang barusan kami lewati. Di depan warung
ini tak lagi ada pasir, hanya beton-beton yang menjadi penghalang abrasi yang
kian parah pasca reklamasi Pulau Serangan, pulau yang barusan kami kunjungi. Sehabis
memuaskan si cacing di perut, kami sedikit mewawancari ibu penjual tipat cantok
tentang kondisi lingkungannya ini. Benar saja: sebelum reklamasi Serangan, air
laut tidak setinggi sekarang. Di depan rumahnya telah terjadi abrasi dan
sesekali terjadi banjir rob, luapan air laut menuju daratan. Sekali lagi kami
membayangkan bagaimana jika reklamasi Teluk Benoa dijalankan, mungkin saja
warung tipat cantok ini akan tergenangi air laut, secara permanen. Jikping.
Dari narasi ibu itu, kami simpulkan ibunya menolak keras reklamasi
Teluk Benoa. Tapi, apa iya suaranya
dari ‘nak betenan’ (kalangan bawah) ini bakal didengar oleh ‘nak beduuran’
(kalangan atas: penguasa – investor). Kata ibu itu, seluruh warga Desa Adat
Tanjung Benoa dari enam banjar menolak rencana reklamasi itu. Tapi sepertinya
wakil-wakil rakyat yang dipilihnya seperti tuli mendadak, seketika tak
mendengar ocehan pemilihnya. Sedang, ketika uang yang berbicara atas nama
kesejahteraan, telinga mereka langsung mendengar, dengan semangat pula.
TAMAN BACA KESIMAN
TAMAN BACA KESIMAN
Jam
3 sore kami berpamitan dengan pesisir Tanjung Benoa yang sebagian
keperawanannya telah direnggut investor, menuju ke lokasi berikutnya: Taman
Baca Kesiman, Denpasar. Taman baca ini berlokasi di Jalan Sedap Malam Nomor 238
Kesiman, Denpasar. Nama jalan ini cukup fenomenal, ketika kasus Angeline
mencuat dan menyita perhatian banyak pihak. Tapi, taman baca ini tak kalah
fenomenalnya. Disinilah basecamp
anak-anak muda kritis dan idealis berkumpul, mengorganisasi pemikiran dan
menyuarakannya dengan cara-cara yang kreatif. Disinilah kawan-kawan WALHI
(Wahana Lingkungan Hidup) Bali, forBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi),
serta komunitas-komunitas aktivis sosial-lingkungan menyiapkan pergerakan. Bagi
kami, ini adalah tempat yang akan mengisi kantung pemikiran kami akan
pentingnya makna dari sebuah perjuangan, yang semakin hari kantong itu semakin
dikempeskan rutinitas yang membosankan.
Setengah
empat sore kami berdiri di depan gerbang yang masih tertutup. Nampak tak ada
aktivitas yang terlihat dari balik celah gerbang. Padahal, kami sudah janjian
terlebih dahulu dengan beberapa rekan untuk datang ke tempat ini. Menurut
penuturan rekan kami, taman baca baru dibuka sekitar jam 1 siang dan akan ramai
menjelang petang dan malam hari. Atas tutur ini, kami putuskan untuk menunggu
barang beberapa menit, sembari berharap ada rekan yang berbaik hati membukakan
pintu untuk kami. Doa kami terkabul, ada seorang pemuda dengan menaiki motor matic menggandeng kardus segera
membukakan gerbang untuk kami. Belakangan kami berkenalan, beliau adalah Bli
Made, nama yang umum untuk anak kedua di Bali. Setelah gerbang dibuka, kami
akhirnya sadar: kami adalah pengunjung pertama di taman baca, khusus hari itu.
Taman
baca ini benar-benar adalah taman, ada pepohonan rindang berikut taman bunga,
ada kursi-kursi yang tertata rapi di taman, ada gazebo untuk tempat melepas kepenatan, ada lapangan kira-kira cukup
untuk bermain futsal, ada kafe kecil yang menjual aneka minuman, dan di luar
taman ini adalah sawah-sawah petani yang baru selesai digarap dan belum
dijejali investor. Di pertengahan areal ini, berdiri sebuah bangunan yang
desainnya klasik tapi menarik, dan di tempat inilah buku-buku itu tersimpan dan
tertata rapi. Poster-poster penulis legendalis pun terpampang di bangunan ini:
Pramoedya Ananta Toer dan Kartini. Tak ketinggalan juga, ada tempelan kata-kata
mutiara yang masih saya kenang sampai sekarang: “Sudah Jatuh Tertimpa Ormas”.
Bagi saya pribadi, kata-kata ini sudah cukup menggambarkan betapa perjuangan
ini sangat berat, karena berhadapan dengan pihak-pihak yang punya kepentingan, pihak
yang merasa dirinya lebih penting.
Memasuki areal suci dimana buku-buku itu
disimpan, saya harus melepas alas kaki. Pada langkah pertama, saya sudah bisa
menyaksikan kalau buku-buku ini mutlak adalah bacaan untuk pergerakan. Sejarah,
hukum, seni, sosial, budaya, paham, filsafat, terlihat berjejer dan
bertumpuk-tumpuk di raknya masing-masing. Dan wow, buku karya Mas Pram (Pramoedya Ananta Toer) tersedia cukup
lengkap disini. Bagi saya, tulisan Mas Pram bisa menghipnotis pembaca untuk
melawan nurani dalam melihat sesuatu. Simpelnya: membuat orang tersadar dan
bergerak. Setelah cukup puas saya melihat dan mendokumentasikan buku-buku di
taman baca ini, beberapa pemuda dan pemudi mulai berdatangan ke taman baca ini.
Ada juga yang mengajak pasangan, dengan dandanan yang cukup rapi mengharumkan tentunya.
Pemandangan seperti ini jarang sekali saya lihat.
Keluar
dari ruangan itu, di luar rekan-rekan saya berbincang ramai dengan Bli Hadi.
Belakangan kami ketahui, beliau adalah keponakan yang empunya tempat ini: Bli
Gung Alit. Dari ceritanya, kami tangkap bahwa lokasi ini baru diresmikan
setahun yang lalu, tapi komunitas yang mengelolanya sudah berdiri sejak lama.
Nama komunitasnya adalah Komunitas Taman Baca 65. Sedikit menerka, dari nama
komunitas ini sudah menunjukkan sebuah simbol perlawanan atas ke-abu-abuan,
ketidakjelasan di negara ini. Tapi obrolan kami saat itu masih jelas, kemudian menyerempet ke pergerakan Bali Tolak
Reklamasi berikut aksi-aksi yang selama ini digelorakan. Bli Hadi ini ternyata adalah
orang yang suka mendokumentasikan gerakan-gerakan ini lewat foto ataupun video.
Katanya, perjuangan ini murni, tanpa bayaran sepeserpun. Berbeda dengan mereka,
yang menghalalkan segala cara untuk menyukseskan sebuah rencana dengan dana tak
terbatas. Dan, perjuangan ini tidak akan pernah mati, atau setidaknya minimal
bara api bisa terus hidup, dan yang menghidupkan itu adalah semangat. Begitu
kami menutup dialog seru ketika itu.
BALI NOT FOR SALE, UBUD
BALI NOT FOR SALE, UBUD
Sebelum
jam setengah 5 sore, kami mohon pamitan dengan rekan-rekan kami di Taman Baca
Kesiman Denpasar. Senja mulai menunjukkan cahayanya dan kami bergegas ke lokasi
terakhir: Bali Not For Sale, Ubud, Gianyar. Kemacetan seputaran Ubud pun kami
terobos perlahan, agar sesampainya di lokasi itu matahari belum memulai tidurnya.
Sepanjang jalan, kami juga melihat sekumpulan anak-anak kecil yang sedang ngelawang (parade) Barong Bangkung di
depan bar dan artshop di Ubud,
disaksikan wisatawan tentunya. Melihat itu, saya tersenyum lantas terpikirkan
begini: anak-anak saat ini masih bisa merayakan kesenian tradisionalnya sama
seperti yang saya alami dulu, bahkan sekarang terasa maju dan modern. Perlahan,
suara gamelan Barong Bangkung menghilang dari pendengaran digantikan bising
kendaraan, tanda saya sudah memasuki ke lokasi di Jalan Sri Wedari, Ubud.
Jam
tangan saat itu sudah menunjukkan jam 5 sore lewat 15 menit. Masih dalam
kondisi mengendarai motor, matahari senja terlihat menebarkan sinar dengan gagahnya
di tulisan “NOT FOR SALE” yang tertancap di tengah pematang sawah Junjungan.
Begitulah kami melihat tulisan itu, hati kami cukup puas: kami hampir sampai di
lokasi terakhir wisata ini. Lokasi ini kami ketahui setelah beragam aksi
pergerakan, seperti konser musik dan pembuatan video clip diselenggarakan di
lokasi ini. Cover facebook saya juga
sempat menggunakan lukisan alam ini untuk menunjukkan simbol perlawanan akan
kerakusan investor menggerayangi tanah titipan leluhur kami.
Nama
tempat ini sebenarnya adalah The Loden House, milik Bli Gede Sayur, seorang pelukis
lokal yang kritis menyuarakan keprihatinannya akan kondisi sekitar. Di belakang
halaman rumah yang hanya digunakan sebagai tempat melukisnya, terpampang kolam
ikan dan sawah miliknya berikut tulisan “Not For Sale” tadi. Pergerakan ini memang
sudah dimulai sejak lama, dengan beragam kata dan bentuk tulisan yang kian waktu
kian berganti. Jadi, kebetulan pas kami kesana mendapatkan tulisan Not For Sale
yang menjulang gagah dari atas ke bawah. Tulisan itu terbuat dari serpihan potongan
bambu yang disematkan di tiang penyangga yang terbuat dari bambu pula.
Tak terasa, langit sudah gelap dan menutup perbincangan hangat kami
di lokasi ini. Tapi kami tidak bergegas pulang, kami istirahat sejenak untuk
melepas dahaga di warung yang bersebelahan dengan lokasi ini: The Mezzo. Yang
empunya warung ini juga masih ada hubungan saudara dengan Bli Gede Sayur, dan
dikerjakan pula oleh pemuda-pemudi lokal. Kelapa muda dan es coklat menjadi
santapan penutup perjalanan wisata kami.
* * *
Ini adalah sebuah trip
yang menguras tenaga, dan pikiran. Perjalanan ini menggedor seisi kepala kami dan
memaksa mata kami terbuka untuk lebih sadar dan tergerak. Kami pun mencoba merangkai
benang merah dari perjalanan ini. Kami sudah melihat kondisi eks reklamasi
Pulau Serangan, hancur dan masih belum juga terurus. Bahwa reklamasi
sangat-sangat merugikan alam dan masyarakat. Lalu, kami menatap sendiri tol
laut Bali Mandara yang memang disiapkan khusus untuk rencana reklamasi Teluk
Benoa, tapi masyarakat lokal Tanjung Benoa sendiri menolak keras rencana ini.
Mereka sudah cukup menjadi korban keganasan pasca megaproyek reklamasi Pulau
Serangan. Sekali lagi, sudah cukup. Kemudian, kami menebak arti dan bentuk
perjuangan di Taman Baca Kesiman Denpasar. Bahwa pergerakan harus terus
disuarakan, dan salah satu medianya melalui tulisan. Tulisan untuk dibaca dan kemudian
mendoktrin pembaca untuk tergerak, atau minimal tersadar. Dan terakhir, Bali
Not For Sale di the Loden House yang melawan kerakusan investor menanam
beton-betonnya di sawah leluhur kami. Bali kami tidak dijual.
Dan buat anak muda yang ngaku #jaenIdupdiBali (enak hidup di Bali), yang
suka ke tempat-tempat yang katanya antimainstream,
kami tantang kalianuntuk berpetualang ke tempat ini. Abadikan, lalu sebarkan
apa yang kalian dapatkan. Percaya, mata kalian akan bisa sedikit terbuka.
Melihat fakta, tak lagi hanya sebatas eksotika palsu belaka.
yusaaaa selamat berjuang, pingin ke tempat2 yang dituliskan... semoga terhindar dari keterancaman
BalasHapusIya Ran, makasi supportnya. Kapan-kapan boleh nih kita meet up, mau diajarin dunia broadcast dong. Hahaha
BalasHapus