WISATA BALI MOVEMENTS

04.21 Putu Dharma Yusa 2 Comments


Kata orang, siapa yang tidak mengenal Bali? Ya, Bali sedemikian terkenalnya hingga tak henti-hentinya dikerubuti wisatawan domestik maupun asing. Kuta, Ubud, Sanur, Tanah Lot, Lovina, Candidasa, Nusa Dua, dan seabrek tempat wisata lainnya menjadi kawah turis yang dikunjungi ribuan orang per harinya. Tak jarang, bagi wisatawan yang haus akan lokasi baru menyebut daftar daerah-daerah di atas adalah wisata mainstream. Bahasa kurang populernya: sudah biasa. Kata-kata mainstream yang juga pada akhirnya memunculkan aksi-aksi para traveler menerabas semak-semak gunung dan pantai, untuk menemukan objek wisata anti mainstream. Sebut saja Bukit Asah dan Pantai Bias Tugel di Karangasem, air terjun Sekumpul Buleleng, dan serentetan pantai-pantai indah di Nusa Penida menjadi tujuan utama para traveler. Bak tersaingi, kini justru wisatawan lokal lah yang menyerbu tempat baru ini. Tapi, coretan ini tidak membahas hal ini. Saya akan menulis pengalaman saya dan kawan-kawan, ketika maplesiran alias jalan-jalan ala muda beda berbahaya selama sehari menuju tempat anti mainstream. Jalan-jalan ini kami sebut wisata “Bali Movements”.

Hari itu hari Selasa, hitungan tanggalnya 14 Juli 2015. Saya bersama tiga orang kawan: Pande, Indra, dan Ivan berjumpa di sebuah minimart di Tohpati, Denpasar sekitar jam 11 siang. Semalam sebelumnya, kami membuka diskusi online berempat untuk merencakan perjalanan ini. Diskusinya singkat, dan kami sepakat untuk menuju ke empat lokasi yang bisa membuka mata dan kepedulian tentang alam dan sekitar. Berbekal sepeda motor butut awal tahun 2000-an, sebilah kamera DSLR, dan cemilan ringan yang tertelan rapi di perut, kami langsung cus ke lokasi. Ini list tempatnya:

EKS REKLAMASI PULAU SERANGAN




Melewati jalan By Pass Ngurah Rai, kami berbelok ke kiri melewati jalanan yang dikelilingi rimbunan bakau pinggirannya. Ruas kiri dan kanan jalan itu dibatasi oleh deretan cemara hijau yang terlihat tak lagi sering diurus. Dari batasan pinggir jalan terlihat bekas-bekas tanah kapur putih yang disangga beton agar tak rusak di tanah gambut. Ini adalah jalan menuju jembatan dan Pulau Serangan. Jalan yang seringkali dulu aku lewati ketika riset karya ilmiah tentang pelestarian penyu dan terumbu karang setelah rusak akibat megaproyek reklamasi Pulau Serangan. Jalan ini juga menjadi saksi bisu ketika saya, Bang Jastis, dan Bang Tommy (dari Eagle Institute Indonesia) memproduksi film dokumenter “Karya Segara (Bekerja untuk Laut)” selama sepekan lebih di bulan Maret 2013 silam.

Teriknya matahari menghentikan kami di sela-sela pepohonan jembatan Pulau Serangan. Kami tidak masuk ke areal desa. Bukan karena kami tidak mau membayar sumbangan untuk desa adat yang dikenakan 2.000 rupiah per orang, tapi kami ingin melihat eks proyek reklamasi Serangan hanya dari jembatan ini. Reklamasi pulau Serangan telah mengurug pesisir dan menjadikan pulau ini seluas 491 hektar, empat kali luas pulau asli (semula). Bayangkan, berapa banyak terumbu karang, mangrove, penyu, dan biota laut lainnya yang meninggalkan bumi ini karena kerakusan manusia di kala itu? Bayangkan, bagaimana nelayan menangkap ikan setelah mata pencahariannya ditimbun koral dan pasir? Sungguh parah, banyak nelayan yang beralih profesi menjadi penambang karang. Imbasnya, ekosistem kian rusak parah. Serangan yang dulunya menjadi tempat singgah berbagai jenis penyu, menjadi daerah pembantai penyu, bahkan katanya terbesar di dunia. Wisatawan asing pun mengecam tindakan ini dan berniat memboikot pariwisata Bali.

Tanah-tanah kapur eks reklamasi kini masih tak terurus, hanya ditumbuhi pepohonan tak bermanfaat, lahannya untuk aktivitas belajar mengemudi mobil, pinggirannya hanya terlihat orang duduk memancing berharap ikan menyapu umpan, dan tak ketinggalan tumpukan sampah yang mulai menggunung sedemikian indahnya. Setidaknya, begini yang kami rasakan di tempat ini. Reklamasi ini saja belum beres, lalu mengapa kongkalikong penguasa dan pengusaha berencana mereklamasi lagi Teluk Benoa yang tak jauh dari tempat ini? Kami jadi membayangkan, jika proyek itu jadi: berapa juta ekosistem laut lagi yang dipaksa mati untuk kerakusan manusia? Berapa banyak nelayan pesisir yang akan dipaksa beralih profesi karena lahannya diurug? Dan, akankah berakhir lagi seperti ini, seperti eks reklamasi Pulau Serangan yang tidak dibangunkan apa-apa?

TOL BALI MANDARA – DESA ADAT TANJUNG BENOA


Setelah puas membayangkan kekejaman reklamasi Pulau Serangan, kami berempat menuju tempat berikutnya: Desa Adat Tanjung Benoa, desa yang menjadi sasaran utama rencana Reklamasi Teluk Benoa. Kami sengaja melewati tol laut Bali Mandara yang diresmikan tanggal 23 September 2013 lalu. Bukan karena ingin perjalanan lebih cepat, tapi kami ingin membuktikan apakah benar tol ini dibuat untuk reklamasi semata. Selama ini, kemacetan dan kemudahan akses dari Denpasar – Bandara Ngurah Rai – Nusa Dua untuk event-event internasional di Bali menjadi alasan kenapa tol laut ini dibangun. Tapi, riset kami membuktikan bahwa ada potongan sambungan jalan yang sudah disiapkan di tengah-tengah tol ini. Benar, tol ini memang disiapkan untuk memuluskan rencana reklamasi Teluk Benoa. Jika reklamasi jalan, investor tinggal menyambungkan areal reklamasi dengan tol melalui sambungan itu. Luar biasa.

Sekalipun naik motor, kami masih bisa masuk tol. Karena tol ini juga menyediakan jalan khusus untuk pengendara motor, di ruas paling pinggir. Bayarannya 3.000 rupiah untuk jarak tempuh sekitar 12 kilometer menuju Nusa Dua. Hembusan angin laut yang kencang, cukup menghambat perjalanan kami di tol ini. Jalan motor yang tidak cukup kencang membuat kami merasakan tol ini sangat sangat sepi. Hitungan motor dan mobil yang lewat tidak sebanyak yang kami perkirakan, walaupun kala itu menunjukkan jam 1 siang. Hitungan ini menambah kuatnya argumen kami, kalau tol ini mutlak didesain untuk kepentingan reklamasi, bukan untuk mengurai kemacetan semata. Sejauh mata memandang, pikiran kami sedikit disejukkan setelah di beberapa areal pendangkalan tertancap bendera “Tolak Reklamasi Teluk Benoa” yang gagah dikibarkan oleh sang bayu. Sekitar lima belas menit, kami berhasil meloloskan diri dari tol laut yang dipenuhi tipu daya ini.

Motor butut kami kemudian meluncur ke Desa Adat Tanjung Benoa. Sebelum memasuki desa, kami disambut poster dan baliho yang kurang lebih bertuliskan begini “Save Mangrove . . .” dari Forum Peduli M***rove, maaf harus saya sensor. Organisasi ini disebut-sebut sebagai kepanjangan tangan investor reklamasi Teluk Benoa, untuk membuat citra mereka menjadi baik di mata masyarakat. Bahasa kurang populernya: greenwashing. Greenwashing itu seperti topeng, hanyalah kedok yang mengatasnamakan alam untuk kepentingan eksploitasi atau keuntungan semata. “Persetan dengan tulisan itu!”, pikirku. Masuk ke areal Desa Adat Tanjung Benoa, kami disapa seorang lelaki berumur yang mengenakan pakaian adat Bali untuk memungut uang pembangunan desa adat. Selain bapak tadi, ada juga baliho besar yang menyambut kami, tulisannya kira-kira begini “Masyarakat Tanjung Benoa Menolak Reklamasi Teluk Benoa”. Adeem.

“Maaf dek-dek, jalannya salah. Tadi harusnya belok ke kiri”, begitu kata-kata seorang bapak yang mengejar kami dengan sepeda motornya. Lalu, menanyakan tujuan kami mau kemana. Kami mengira bapak itu adalah warga lokal yang sedang mengincar wisatawan untuk berwisata air di wahana tempat ia bekerja. Kami menjelaskan tujuan kami: hanya untuk jalan-jalan biasa. Bapak itupun pergi, dengan gas motor yang cukup kencang. Tapi kami tidak mempermasalahkan itu. Masalahnya adalah jalan yang kami tuju itu adalah benar areal pantai, yang dulu sewaktu pernah aku datangi. Tapi kini sudah dilarang, tak tahu alasannya. Mungkin sudah menjadi pantai private.  Tak sembarangan orang boleh masuk, termasuk orang Bali dan orang lokal sekalipun, kecuali ada bayarannya. Akhirnya, sepeda motor kami parkir di pinggir stasiun pengisian bahan bakar untuk kapal, dan kami bergegas menuju pesisir pantai melalui jalanan rumah warga Tanjung Benoa.

Perut kami keroncongan. Warung tipat cantok menjadi surga bagi cacing-cacing di perut kala itu. Warungnya tepat berada di depan pesisir barat Tanjung Benoa, menghadap ke tol laut yang barusan kami lewati. Di depan warung ini tak lagi ada pasir, hanya beton-beton yang menjadi penghalang abrasi yang kian parah pasca reklamasi Pulau Serangan, pulau yang barusan kami kunjungi. Sehabis memuaskan si cacing di perut, kami sedikit mewawancari ibu penjual tipat cantok tentang kondisi lingkungannya ini. Benar saja: sebelum reklamasi Serangan, air laut tidak setinggi sekarang. Di depan rumahnya telah terjadi abrasi dan sesekali terjadi banjir rob, luapan air laut menuju daratan. Sekali lagi kami membayangkan bagaimana jika reklamasi Teluk Benoa dijalankan, mungkin saja warung tipat cantok ini akan tergenangi air laut, secara permanen. Jikping.

Dari narasi ibu itu, kami simpulkan ibunya menolak keras reklamasi Teluk Benoa. Tapi, apa iya suaranya dari ‘nak betenan’ (kalangan bawah) ini bakal didengar oleh ‘nak beduuran’ (kalangan atas: penguasa – investor). Kata ibu itu, seluruh warga Desa Adat Tanjung Benoa dari enam banjar menolak rencana reklamasi itu. Tapi sepertinya wakil-wakil rakyat yang dipilihnya seperti tuli mendadak, seketika tak mendengar ocehan pemilihnya. Sedang, ketika uang yang berbicara atas nama kesejahteraan, telinga mereka langsung mendengar, dengan semangat pula.

TAMAN BACA KESIMAN


Jam 3 sore kami berpamitan dengan pesisir Tanjung Benoa yang sebagian keperawanannya telah direnggut investor, menuju ke lokasi berikutnya: Taman Baca Kesiman, Denpasar. Taman baca ini berlokasi di Jalan Sedap Malam Nomor 238 Kesiman, Denpasar. Nama jalan ini cukup fenomenal, ketika kasus Angeline mencuat dan menyita perhatian banyak pihak. Tapi, taman baca ini tak kalah fenomenalnya. Disinilah basecamp anak-anak muda kritis dan idealis berkumpul, mengorganisasi pemikiran dan menyuarakannya dengan cara-cara yang kreatif. Disinilah kawan-kawan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Bali, forBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi), serta komunitas-komunitas aktivis sosial-lingkungan menyiapkan pergerakan. Bagi kami, ini adalah tempat yang akan mengisi kantung pemikiran kami akan pentingnya makna dari sebuah perjuangan, yang semakin hari kantong itu semakin dikempeskan rutinitas yang membosankan.

Setengah empat sore kami berdiri di depan gerbang yang masih tertutup. Nampak tak ada aktivitas yang terlihat dari balik celah gerbang. Padahal, kami sudah janjian terlebih dahulu dengan beberapa rekan untuk datang ke tempat ini. Menurut penuturan rekan kami, taman baca baru dibuka sekitar jam 1 siang dan akan ramai menjelang petang dan malam hari. Atas tutur ini, kami putuskan untuk menunggu barang beberapa menit, sembari berharap ada rekan yang berbaik hati membukakan pintu untuk kami. Doa kami terkabul, ada seorang pemuda dengan menaiki motor matic menggandeng kardus segera membukakan gerbang untuk kami. Belakangan kami berkenalan, beliau adalah Bli Made, nama yang umum untuk anak kedua di Bali. Setelah gerbang dibuka, kami akhirnya sadar: kami adalah pengunjung pertama di taman baca, khusus hari itu.

Taman baca ini benar-benar adalah taman, ada pepohonan rindang berikut taman bunga, ada kursi-kursi yang tertata rapi di taman, ada gazebo untuk tempat melepas kepenatan, ada lapangan kira-kira cukup untuk bermain futsal, ada kafe kecil yang menjual aneka minuman, dan di luar taman ini adalah sawah-sawah petani yang baru selesai digarap dan belum dijejali investor. Di pertengahan areal ini, berdiri sebuah bangunan yang desainnya klasik tapi menarik, dan di tempat inilah buku-buku itu tersimpan dan tertata rapi. Poster-poster penulis legendalis pun terpampang di bangunan ini: Pramoedya Ananta Toer dan Kartini. Tak ketinggalan juga, ada tempelan kata-kata mutiara yang masih saya kenang sampai sekarang: “Sudah Jatuh Tertimpa Ormas”. Bagi saya pribadi, kata-kata ini sudah cukup menggambarkan betapa perjuangan ini sangat berat, karena berhadapan dengan pihak-pihak yang punya kepentingan, pihak yang merasa dirinya lebih penting.

Memasuki areal suci dimana buku-buku itu disimpan, saya harus melepas alas kaki. Pada langkah pertama, saya sudah bisa menyaksikan kalau buku-buku ini mutlak adalah bacaan untuk pergerakan. Sejarah, hukum, seni, sosial, budaya, paham, filsafat, terlihat berjejer dan bertumpuk-tumpuk di raknya masing-masing. Dan wow, buku karya Mas Pram (Pramoedya Ananta Toer) tersedia cukup lengkap disini. Bagi saya, tulisan Mas Pram bisa menghipnotis pembaca untuk melawan nurani dalam melihat sesuatu. Simpelnya: membuat orang tersadar dan bergerak. Setelah cukup puas saya melihat dan mendokumentasikan buku-buku di taman baca ini, beberapa pemuda dan pemudi mulai berdatangan ke taman baca ini. Ada juga yang mengajak pasangan, dengan dandanan yang cukup rapi mengharumkan tentunya. Pemandangan seperti ini jarang sekali saya lihat.

Keluar dari ruangan itu, di luar rekan-rekan saya berbincang ramai dengan Bli Hadi. Belakangan kami ketahui, beliau adalah keponakan yang empunya tempat ini: Bli Gung Alit. Dari ceritanya, kami tangkap bahwa lokasi ini baru diresmikan setahun yang lalu, tapi komunitas yang mengelolanya sudah berdiri sejak lama. Nama komunitasnya adalah Komunitas Taman Baca 65. Sedikit menerka, dari nama komunitas ini sudah menunjukkan sebuah simbol perlawanan atas ke-abu-abuan, ketidakjelasan di negara ini. Tapi obrolan kami saat itu masih jelas, kemudian menyerempet ke pergerakan Bali Tolak Reklamasi berikut aksi-aksi yang selama ini digelorakan. Bli Hadi ini ternyata adalah orang yang suka mendokumentasikan gerakan-gerakan ini lewat foto ataupun video. Katanya, perjuangan ini murni, tanpa bayaran sepeserpun. Berbeda dengan mereka, yang menghalalkan segala cara untuk menyukseskan sebuah rencana dengan dana tak terbatas. Dan, perjuangan ini tidak akan pernah mati, atau setidaknya minimal bara api bisa terus hidup, dan yang menghidupkan itu adalah semangat. Begitu kami menutup dialog seru ketika itu.

BALI NOT FOR SALE, UBUD


Sebelum jam setengah 5 sore, kami mohon pamitan dengan rekan-rekan kami di Taman Baca Kesiman Denpasar. Senja mulai menunjukkan cahayanya dan kami bergegas ke lokasi terakhir: Bali Not For Sale, Ubud, Gianyar. Kemacetan seputaran Ubud pun kami terobos perlahan, agar sesampainya di lokasi itu matahari belum memulai tidurnya. Sepanjang jalan, kami juga melihat sekumpulan anak-anak kecil yang sedang ngelawang (parade) Barong Bangkung di depan bar dan artshop di Ubud, disaksikan wisatawan tentunya. Melihat itu, saya tersenyum lantas terpikirkan begini: anak-anak saat ini masih bisa merayakan kesenian tradisionalnya sama seperti yang saya alami dulu, bahkan sekarang terasa maju dan modern. Perlahan, suara gamelan Barong Bangkung menghilang dari pendengaran digantikan bising kendaraan, tanda saya sudah memasuki ke lokasi di Jalan Sri Wedari, Ubud.

Jam tangan saat itu sudah menunjukkan jam 5 sore lewat 15 menit. Masih dalam kondisi mengendarai motor, matahari senja terlihat menebarkan sinar dengan gagahnya di tulisan “NOT FOR SALE” yang tertancap di tengah pematang sawah Junjungan. Begitulah kami melihat tulisan itu, hati kami cukup puas: kami hampir sampai di lokasi terakhir wisata ini. Lokasi ini kami ketahui setelah beragam aksi pergerakan, seperti konser musik dan pembuatan video clip diselenggarakan di lokasi ini. Cover facebook saya juga sempat menggunakan lukisan alam ini untuk menunjukkan simbol perlawanan akan kerakusan investor menggerayangi tanah titipan leluhur kami.

Nama tempat ini sebenarnya adalah The Loden House, milik Bli Gede Sayur, seorang pelukis lokal yang kritis menyuarakan keprihatinannya akan kondisi sekitar. Di belakang halaman rumah yang hanya digunakan sebagai tempat melukisnya, terpampang kolam ikan dan sawah miliknya berikut tulisan “Not For Sale” tadi. Pergerakan ini memang sudah dimulai sejak lama, dengan beragam kata dan bentuk tulisan yang kian waktu kian berganti. Jadi, kebetulan pas kami kesana mendapatkan tulisan Not For Sale yang menjulang gagah dari atas ke bawah. Tulisan itu terbuat dari serpihan potongan bambu yang disematkan di tiang penyangga yang terbuat dari bambu pula.

Di lokasi ini kami berjumpa dengan pemuda setempat: Bli Juta. Beliau yang juga menjelaskan lokasi ini terbuka untuk siapapun, selama 24 jam nonstop. Katanya, lokasi ini juga acapkali dijadikan tempat berkumpul pemuda lokal untuk sekadar berbincang santai, sembari minum tuak, dan membahas apa yang perlu untuk dibahas, tak terkecuali nasib manusia dan alam sekitarnya. Selain itu, bagi kawan-kawan yang ingin membuat acara juga dipersilahkan di lokasi ini, dengan senang hati menerima, katanya. Tapi, pembicaraan terakhir yang paling membuat kami tersentuh. Tulisan Not For Sale sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap investor yang saat ini mengincar sawah Junjungan, sebagai the virgin of Ubud, serta menyadarkan petani dan anak muda Ubud untuk tidak menjual tanah titipan leluhurnya. Sungguh gerakan yang mulia.

Tak terasa, langit sudah gelap dan menutup perbincangan hangat kami di lokasi ini. Tapi kami tidak bergegas pulang, kami istirahat sejenak untuk melepas dahaga di warung yang bersebelahan dengan lokasi ini: The Mezzo. Yang empunya warung ini juga masih ada hubungan saudara dengan Bli Gede Sayur, dan dikerjakan pula oleh pemuda-pemudi lokal. Kelapa muda dan es coklat menjadi santapan penutup perjalanan wisata kami.

* * *

Ini adalah sebuah trip yang menguras tenaga, dan pikiran. Perjalanan ini menggedor seisi kepala kami dan memaksa mata kami terbuka untuk lebih sadar dan tergerak. Kami pun mencoba merangkai benang merah dari perjalanan ini. Kami sudah melihat kondisi eks reklamasi Pulau Serangan, hancur dan masih belum juga terurus. Bahwa reklamasi sangat-sangat merugikan alam dan masyarakat. Lalu, kami menatap sendiri tol laut Bali Mandara yang memang disiapkan khusus untuk rencana reklamasi Teluk Benoa, tapi masyarakat lokal Tanjung Benoa sendiri menolak keras rencana ini. Mereka sudah cukup menjadi korban keganasan pasca megaproyek reklamasi Pulau Serangan. Sekali lagi, sudah cukup. Kemudian, kami menebak arti dan bentuk perjuangan di Taman Baca Kesiman Denpasar. Bahwa pergerakan harus terus disuarakan, dan salah satu medianya melalui tulisan. Tulisan untuk dibaca dan kemudian mendoktrin pembaca untuk tergerak, atau minimal tersadar. Dan terakhir, Bali Not For Sale di the Loden House yang melawan kerakusan investor menanam beton-betonnya di sawah leluhur kami. Bali kami tidak dijual.


Dan buat anak muda yang ngaku #jaenIdupdiBali (enak hidup di Bali), yang suka ke tempat-tempat yang katanya antimainstream, kami tantang kalianuntuk berpetualang ke tempat ini. Abadikan, lalu sebarkan apa yang kalian dapatkan. Percaya, mata kalian akan bisa sedikit terbuka. Melihat fakta, tak lagi hanya sebatas eksotika palsu belaka.

2 komentar:

  1. yusaaaa selamat berjuang, pingin ke tempat2 yang dituliskan... semoga terhindar dari keterancaman

    BalasHapus
  2. Iya Ran, makasi supportnya. Kapan-kapan boleh nih kita meet up, mau diajarin dunia broadcast dong. Hahaha

    BalasHapus