DHARMA, ARE YOU THE WINNER?

20.05 Putu Dharma Yusa 1 Comments


Galungan dan kuningan. Adalah salah satu hari raya agama-ku, juga seluruh umat Hindu di seantero negeri. Di tanah kelahiranku, Bali, hari raya ini khas dan identik dengan penjor dan penampahan (kurban suci). Meski seiring bergulirnya jaman, keidentikannya mulai memudar dengan adanya baliho-baliho caleg, cakada (calon kepala daerah), ormas-ormas berlambangkan senjata dewa, fans club, hingga investor yang berladang di Bali, dengan tulisan begini: "Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan" yang lumrahnya disambung dengan doa dan harapan mereka. Tak ketinggalan juga foto-foto manis si empunya baliho, smile !

Masih banyak lagi. Broadcast di bbm bertebaran, entah di read atau tidak. Timeline di facebook, twitter, line, path, dan seluruh antek-antek sosial media dipenuhi beragam kreasi ucapan yang unik-unik. Tak ketinggalan juga meme yang lucu menggelitik, menghibur. Oh, betapa teknologi membuat hari raya semakin raya, semakin rame. Lalu, apakah ini salah?

Saat SD, aku dan teman-teman diberi tahu guru agama, kalau hari raya Galungan adalah hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Di bayangan sekelas anak SD, dharma seperti sesosok superhero yang berperang melawan musuhnya, adharma. Dan akhirnya, bisa dipastikan kalau dharma-lah yang mutlak menjadi pemenang. Seperti tontonan waktu itu: power rangers atau ultraman yang selalu happy ending di akhir ceritanya, sekalipun ada sedikit kekalahan di tengah cerita. Kisah ramayana dan mahabrata pun mengajarkan demikian: Satyam Evam Jayate - kebaikan akan selalu menang.

Pemikiran aku mulai sedikit ruwet. Ketika ada tontonan calonarang saat upacara di Pura. Aku diperlihatkan tokoh rangda sebagai simbolis adharma dan barong yang mewakili dharma. Endingnya berbeda. Kekuatan mereka sama-sama kuat, dan seringkali dibuatkan ending yang mengambang. Diserahkan kepada penonton. Lalu pertanyaan kekanak-kanakan itu muncul: “Kok dharma tidak jadi menang”. Seiring bertambahnya umur, pertanyaan semakin banyak menghantui. “Kalau dharma dan adharma perang, di manakah mereka perang? Senjata apakah yang mereka pakai? Akankah dharma akan masuk surga kemudian moksa?”

Saat SMP, saya baru sedikit bisa memahami agama dalam hidup sehari-hari. Dan jawabannya perlahan ditemukan. Dalam mitologi Hindu, dipercayai ada empat pembagian jaman: Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Jaman Kerta Yuga adalah jaman keemasan, dimana manusia dipercaya setara dewa, tidak ada kejahatan sama sekali. Jaman treat yuga, adalah jaman kejahatan sudah muncul dengan persentase sekitar 25 persen. Musuh itupun masih jauh di seberang pulau, sebagaimana epos Ramayana dimana Rahwana tinggal menyeberangi lautan, di Alengka Dirja. Lalu, jaman Dwapara Yuga dimana dharma dan adharma itu komposisinya berimbang, 50 : 50. Di jaman ini, musuh sudah semakin dekat: dalam keluarga dan saudara itu sendiri. Seperti epos Mahabrata yang menceritakan perang saudara, Pandawa melawan Korawa. Dan, saat ini kita telah menginjakkan kaki di jaman Kaliyuga. Jaman dimana kebaikan hanya tersisa 25 persen, sedangkan kejahatan yang menguasai lebih banyak: 75 persen. Musuh itu sudah sangat dekat, dekat sekali : ada di dalam diri sendiri.

Jadi, satu pertanyaan sudah terjawab. Saat ini, perang dharma dan adharma terjadi di dalam diri manusia sendiri. Perhelatan hebat antara nafsu dan nurani, antara hedonisme dan kesederhanaan, antara kejujuran dan kebohongan, dan perang diri lainnya. Sekalipun perang dan kekerasan masih terjadi di beberapa tempat, aku yakin semuanya itu bersumber dari diri seorang: keserakahan, kerakusan, dan mungkin kemunafikan. Lalu senjata yang dipakai? Manusia diberikan kelebihan oleh Tuhan, dalam ranah Hindu disebut Manacika (pikiran, perasaan, akal) yang tidak dimiliki oleh hewan maupun tumbuhan. Pikiran adalah sumber dari segala sumber dalam diri manusia, entah itu perkataan maupun perbuatan. Semua itu dari pikiran. Itulah senjata dharma dan adharma, satu senjata. Ibarat pisau, satu sisi bisa digunakan untuk memotong bumbu dapur, satu sisi bisa digunakan mau membunuh dan kriminil. Ibarat api, bisa digunakan untuk memasak di dapur, bisa digunakan untuk membakar rumah. Silahkan dipilih, apakah senjata itu mau digunakan untuk dharma atau adharma? Personal orang per orang yang menentukan.

Lalu apakah dharma pasti menang? Jawabannya juga personal. Pada intinya, pikiran manusia dipengaruhi oleh empat hal: dharma (kewajiban), artha (harta benda/materi), kama (keinginan/nafsu), dan moksa (kelepasan/bebas dari duniawi). Ambil pengaruh yang baik, buang pengaruh yang buruk. Simpelnya begitu. Atau contohnya begini, jika memasang Baliho “Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan” didasari untuk pencitraan dan kampanye politik agar memenangkan hati rakyat di pemilihan umum berikutnya, maka kama atau keinginan dan artha yang merajai. Ada baiknya, ucapan Selamat Hari Raya itu didasari atas dharma (kewajiban) sebagai umat Hindu, seperti dengan mesimakrama (silaturahmi) dengan sanak-saudara, termasuk juga bagi saudara-saudara yang belum beruntung di Panti Asuhan, misalnya. Dan yang paling penting, tak usah mengundang-undang media untuk meliputnya, apalagi live, biarkan masyarakat yang menilai.
  
Demikian halnya dengan penggunaan teknologi, ada baiknya kita pakai teknologi secara bijak. Banyak yang mengatakan, teknologi mampu mendekatkan yang jauh, tapi menjauhkan yang dekat. Simpelnya begini, jika kita membroadcast BBM ke seluruh kawan-kawan dengan ucapan selamat Hari Raya…, sudahkah kita melakukan hal yang sama ke Bapak, Ibu, Adik, Kakak, Saudara, Kakek dan Nenek di kampung, tetangga, dan beberapa kerabat lainnya? Jika belum, lakukanlah sebelum itu terlambat untuk dilakukan. Jika kita ber-selfie ria dengan pakaian adat sembahyang sebelum atau setelah ke Pura, sudahkah hati kita tenang dan suci menghadap Tuhan ketika bersembahyang? Jika kita mempunyai rejeki lebih kemudian menghabiskannya untuk diri sendiri, sudahkah kita menyisihkannya ke anak, istri, dan keluarga?

Dharma akan menang, ketika pikiran kita telah suci. Ketika perkataan dan perbuatan kita dilandasi oleh pikiran yang suci.

Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan, anak muda Hindu beda dan berbahaya !

1 komentar: