DHARMA, ARE YOU THE WINNER?
Galungan dan kuningan. Adalah salah
satu hari raya agama-ku, juga seluruh umat Hindu di seantero negeri. Di tanah
kelahiranku, Bali, hari raya ini khas dan identik dengan penjor dan penampahan
(kurban suci). Meski seiring bergulirnya jaman, keidentikannya mulai memudar
dengan adanya baliho-baliho caleg, cakada (calon kepala daerah), ormas-ormas
berlambangkan senjata dewa, fans club, hingga investor yang berladang di Bali,
dengan tulisan begini: "Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan" yang
lumrahnya disambung dengan doa dan harapan mereka. Tak ketinggalan juga
foto-foto manis si empunya baliho, smile !
Masih banyak lagi. Broadcast di bbm
bertebaran, entah di read atau tidak. Timeline di facebook, twitter, line,
path, dan seluruh antek-antek sosial media dipenuhi beragam kreasi ucapan yang
unik-unik. Tak ketinggalan juga meme yang lucu menggelitik, menghibur. Oh, betapa
teknologi membuat hari raya semakin raya, semakin rame. Lalu, apakah ini salah?
Saat SD, aku dan teman-teman diberi
tahu guru agama, kalau hari raya Galungan adalah hari kemenangan dharma
(kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Di bayangan sekelas anak SD, dharma
seperti sesosok superhero yang berperang melawan musuhnya, adharma. Dan
akhirnya, bisa dipastikan kalau dharma-lah yang mutlak menjadi pemenang.
Seperti tontonan waktu itu: power rangers atau ultraman yang selalu happy ending di akhir ceritanya,
sekalipun ada sedikit kekalahan di tengah cerita. Kisah ramayana dan mahabrata
pun mengajarkan demikian: Satyam Evam Jayate - kebaikan akan selalu menang.
Pemikiran aku mulai sedikit ruwet. Ketika
ada tontonan calonarang saat upacara di Pura. Aku diperlihatkan tokoh rangda
sebagai simbolis adharma dan barong yang mewakili dharma. Endingnya berbeda. Kekuatan
mereka sama-sama kuat, dan seringkali dibuatkan ending yang mengambang.
Diserahkan kepada penonton. Lalu pertanyaan kekanak-kanakan itu muncul: “Kok
dharma tidak jadi menang”. Seiring bertambahnya umur, pertanyaan semakin banyak
menghantui. “Kalau dharma dan adharma perang, di manakah mereka perang? Senjata
apakah yang mereka pakai? Akankah dharma akan masuk surga kemudian moksa?”
Saat SMP, saya baru sedikit bisa
memahami agama dalam hidup sehari-hari. Dan jawabannya perlahan ditemukan. Dalam
mitologi Hindu, dipercayai ada empat pembagian jaman: Kerta Yuga, Treta Yuga,
Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Jaman Kerta Yuga adalah jaman keemasan, dimana
manusia dipercaya setara dewa, tidak ada kejahatan sama sekali. Jaman treat yuga,
adalah jaman kejahatan sudah muncul dengan persentase sekitar 25 persen. Musuh
itupun masih jauh di seberang pulau, sebagaimana epos Ramayana dimana Rahwana
tinggal menyeberangi lautan, di Alengka Dirja. Lalu, jaman Dwapara Yuga dimana
dharma dan adharma itu komposisinya berimbang, 50 : 50. Di jaman ini, musuh
sudah semakin dekat: dalam keluarga dan saudara itu sendiri. Seperti epos
Mahabrata yang menceritakan perang saudara, Pandawa melawan Korawa. Dan, saat
ini kita telah menginjakkan kaki di jaman Kaliyuga. Jaman dimana kebaikan hanya
tersisa 25 persen, sedangkan kejahatan yang menguasai lebih banyak: 75 persen.
Musuh itu sudah sangat dekat, dekat sekali : ada di dalam diri sendiri.
Jadi, satu pertanyaan sudah
terjawab. Saat ini, perang dharma dan adharma terjadi di dalam diri manusia
sendiri. Perhelatan hebat antara nafsu dan nurani, antara hedonisme dan
kesederhanaan, antara kejujuran dan kebohongan, dan perang diri lainnya. Sekalipun
perang dan kekerasan masih terjadi di beberapa tempat, aku yakin semuanya itu
bersumber dari diri seorang: keserakahan, kerakusan, dan mungkin kemunafikan. Lalu
senjata yang dipakai? Manusia diberikan kelebihan oleh Tuhan, dalam ranah Hindu
disebut Manacika (pikiran, perasaan, akal) yang tidak dimiliki oleh hewan
maupun tumbuhan. Pikiran adalah sumber dari segala sumber dalam diri manusia,
entah itu perkataan maupun perbuatan. Semua itu dari pikiran. Itulah senjata
dharma dan adharma, satu senjata. Ibarat pisau, satu sisi bisa digunakan untuk memotong
bumbu dapur, satu sisi bisa digunakan mau membunuh dan kriminil. Ibarat api,
bisa digunakan untuk memasak di dapur, bisa digunakan untuk membakar rumah.
Silahkan dipilih, apakah senjata itu mau digunakan untuk dharma atau adharma?
Personal orang per orang yang menentukan.
Lalu apakah dharma pasti menang?
Jawabannya juga personal. Pada intinya, pikiran manusia dipengaruhi oleh empat
hal: dharma (kewajiban), artha (harta benda/materi), kama (keinginan/nafsu),
dan moksa (kelepasan/bebas dari duniawi). Ambil pengaruh yang baik, buang
pengaruh yang buruk. Simpelnya begitu. Atau contohnya begini, jika memasang
Baliho “Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan” didasari untuk pencitraan dan
kampanye politik agar memenangkan hati rakyat di pemilihan umum berikutnya,
maka kama atau keinginan dan artha yang merajai. Ada baiknya, ucapan Selamat
Hari Raya itu didasari atas dharma (kewajiban) sebagai umat Hindu, seperti
dengan mesimakrama (silaturahmi) dengan sanak-saudara, termasuk juga bagi
saudara-saudara yang belum beruntung di Panti Asuhan, misalnya. Dan yang paling
penting, tak usah mengundang-undang media untuk meliputnya, apalagi live, biarkan masyarakat yang menilai.
Demikian halnya dengan penggunaan
teknologi, ada baiknya kita pakai teknologi secara bijak. Banyak yang
mengatakan, teknologi mampu mendekatkan yang jauh, tapi menjauhkan yang dekat. Simpelnya
begini, jika kita membroadcast BBM ke seluruh kawan-kawan dengan ucapan selamat
Hari Raya…, sudahkah kita melakukan hal yang sama ke Bapak, Ibu, Adik, Kakak,
Saudara, Kakek dan Nenek di kampung, tetangga, dan beberapa kerabat lainnya? Jika
belum, lakukanlah sebelum itu terlambat untuk dilakukan. Jika kita ber-selfie
ria dengan pakaian adat sembahyang sebelum atau setelah ke Pura, sudahkah hati
kita tenang dan suci menghadap Tuhan ketika bersembahyang? Jika kita mempunyai
rejeki lebih kemudian menghabiskannya untuk diri sendiri, sudahkah kita menyisihkannya
ke anak, istri, dan keluarga?
Dharma akan menang, ketika pikiran
kita telah suci. Ketika perkataan dan perbuatan kita dilandasi oleh pikiran
yang suci.
Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan, anak
muda Hindu beda dan berbahaya !
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus