PROLOG YANG KEDUA

20.35 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Lima tahun, bukan waktu yang singkat untuk berdiam diri. Hampa, tanpa ada coretan yang berarti. Begitulah hidup yang dirasakan beberapa tahun belakangan ini. Sampai pada akhirnya, masih ada setitik bara api yang masih bisa diselamatkan dari padamnya sebuah semangat. Bara itu harus aku jaga, sesekali dijejali arang baru, dikipas secukupnya, agar nyala api bisa membakar semangat. Minimal semangat diri sendiri.

Tahun 2010, aku mulai mengenal media blog: sebuah halaman digital yang kamu baca ini. Seperti anak pedesaan terpencil yang buta teknologi, mungkin cukup tragis perumpaan di awal itu. Perlahan, aku dituntun dan dituntut untuk belajar membuat blog, dan mengisinya dengan tulisan. Yang melakukan ini adalah Bli Putu Hadi Purnama Jati, berkat buku Sakti Ngeblog-nya. Terima kasih ya Bli. Buku keramat itu berhasil memegang dan mengarahkan tangan untuk bermain mouse dan keyboard dengan mata menatap tajam ke layar laptop. Membuat sebuah blog.

Kala itu, mimpi yang bersemayam di pikiran akan upaya mengkampanyekan pelestarian terumbu karang pun akhirnya menjadi ide utama blog. Iya, sejak 2007 aku memang cukup menaruh perhatian akan konservasi penyu dan terumbu karang di Pulau Serangan Bali. Setidaknya ada dua tulisan ilmiah yang berhasil ditulis dan mampu berbicara banyak di level nasional, sekalipun masih dalam taraf anak SMA. Pertama, tulisan yang mencoba mengangkat konsep Sekeha Teruna (perkumpulan anak remaja di Bali) dan Awig-awig (aturan adat) dalam konservasi penyu dan biota laut Serangan pasca reklamasi yang mangkrak sejak 1998. Kedua, masih mengangkat kearifan lokal Bali yang diakui dunia: Tri Hita Karana. Bagaimana konsep universal ini diimplementasikan dalam upaya pelestarian terumbu karang, lagi-lagi pasca hancurnya ekosistem ini akibat reklamasi sejak 1998. Dua tulisan ini akan diceritakan pada judul yang berbeda nantinya, ya. Saat itu yang tertinggal hanyalah pesan untuk terus mengkampanyekan pelestarian terumbu karang, dan juga reklamasi. Aku catat: reklamasi. Maka lahirlah sebuah blog yang disebut “Sahabat Terumbu Karang”.

Harapannya, blog itu mampu bercerita akan pentingnya terumbu karang dalam rantai ekosistem laut. Bahwa ikan yang dikonsumsi per harinya, tak lepas dari peran terumbu karang. Bahwa nelayan Indonesia sangat menggantungkan hidupnya pada ekosistem ini. Blog ini kemudian dilombakan di level nasional yang kebetulan bertemakan konservasi, dan berhasil menyabet puncak juara. Satu kata: bangga. Blog anak ingusan itu ternyata bisa mengalahkan beberapa blog senior yang sudah melanglang buana di dunia maya. Tapi, kebanggan itu seakan menjadi klimaks, yang ending-nya berakhir dengan kebosanan dan juga kejenuhan. Antiklimaks pun benar-benar terjadi sekitar setahun setelah penghargaan itu dikucurkan. Tahun 2011 akhir, gairah menulis tak ada. Ide hanya sebatas rangsangan di kepala. Epilognya : aku vakum menulis, di blog.

Vakum tidak sama dengan berhenti bukan? Hanya sekadar istirahat, meredakan kebosanan dan kejenuhan yang ada. Selang waktu sebelum lahirnya blog ini, aku disibukkan dengan rutinitas dan mimpi-mimpi yang lain. Seperti ikut menari kecak (tari kolosal khas Bali) dan pentas di beberapa event yang cukup ternama. Dunia baru ini mengajarkan aku akan pentingnya pelestarian tradisi leluhur dan tanah kelahiran sendiri, yang belum tentu dapat dilakukan di tanah kelahiran itu. Kecak juga mengajarkan kebersamaan, bagaimana perbedaan nada suara dan gerak menjadi indah tatkala nilai kebersamaan dan harmoni dijunjung tinggi. Catat: tradisi. Kecak pun menghantarkan aku dan teman yang lain ikut teater “Dharma Gita Mahaguru”. Sebuah teater perjalanan hidup Bung Karno, the Founding Father, putra sang fajar, yang diproduksi langsung oleh putrinya Ibu Rachmawati Soekarnoputri. Disitu kecak menjadi bara api, lahirnya semangat baru dikala Soekarno “Kusno” lahir. Kemudian aku berpindah tokoh menjadi rakyat jelata yang melengkapi teater agung itu. Aku juga akan menceritakan ini di judul yang terpisah. Intinya, perjalanan ini mengajarkan aku satu hal: sejarah adalah masalah waktu. Catat lagi: sejarah.

Tahun 2012, aku mencoba peruntungan di dunia baru lagi: film dokumenter. Bersama Darya Kartika, teman pena-ku sejak SMA, aku mengajukan lamaran ide “Mati 1 detik, tumbuh 1000 tahun” ke Eagle Awards 8: sebuah ajang kompetisi film dokumenter yang ternama dan ditayangkan di Metro TV. Perjalanan panjang berhasil ditempuh hingga babak pitching forum, sebuah tahapan akhir yang menentukan layak tidaknya sebuah proposal ide divisualkan dalam film. Ohya lupa, proposal yang judulnya nyeleneh itu masih mengangkat pemikiran yang lama, bagaimana konservasi terumbu karang yang dilakukan oleh Kelompok Karya Segara Serangan, pasca reklamasi yang menimbun ratusan hektar terumbu karang di sana. Pesan simpelnya, merusak itu gampang tapi menumbuhkan ekosistem itu butuh waktu yang sangat lama. Alhasil, kami gagal masuk grandfinal. Artinya, film kami belum layak diproduksi.

Atas restu biota laut yang telah meninggalkan dunia pasca reklamasi Serangan, proposal film kami dilirik oleh Eagle Institute, untuk difilmkan dalam series dokumenter Metro TV: Eagle Documentary Series. Bang Jastis, begitu aku memanggil sang sutradara handal, seniorku jebolan Eagle Awards juga menempatkan aku di bagian co-director, satu posisi bagi seorang videografer yang akan belajar menjadi sutradara. Film ini diproduksi pada Maret 2013 dengan judul yang berbeda dari proposal: Karya Segara (Bekerja untuk Laut). Perjalanan sampai film ini diproduksi juga nantinya akan aku tulis terpisah. Pada intinya, aku mulai mengenal seni perfilman dari titik tolak ini. Sampai pada akhirnya, aku bisa merampungkan beberapa film sangat lokal yaitu Catatan Akhir Kuliah #51 – sebuah film perjalanan mahasiswa di kampusku hingga kelulusan dan perpisahannya. Kemudian lagi film yang mulai berani mengangkat isu yang sudah sejak lama aku riset dan ada juga di tulisan ini: reklamasi. Tapi kali ini adalah rencana reklamasi Teluk Benoa, yang mengurug lahan konservasi di perairan selatan Bali. Aku tidak setuju, aku menolak. Dengan alasan yang sama ketika aku menulis tulisan ilmiah tentang reklamasi Serangan sewaktu SMA: reklamasi merusak biota laut dan kehidupan masyarakat pesisir. Film itu aku buat dengan rekan-rekan di Jakarta yang diberi judul “Pray, Voiced, & Persuade”. Film yang mengajak anak-anak muda untuk bersuara menolak reklamasi Teluk Benoa, dengan cara dan bentuk apapun, yang wajar. Kemudian dilanjutkan ke seri yang kedua dengan judul “Pura-pura Hijau”, menyuarakan pembodohan berkedok peduli lingkungan (greenwashing) yang dilakukan oleh investor, dan tentu bagaimana cara melawannya.

Kecintaanku pada film dokumenter tak pernah pudar, setidaknya sampai tulisan ini ditulis. Terakhir di Mei 2015, aku bersama tim yang lain berhasil juga merampungkan sebuah film bangunan bersejarah di Kota Jakarta yang diberi judul “Eks 0 Km Jakarta”. Sejauh ini, film dokumenter justru banyak menyutradari diriku, belajar bagaimana sebuah fakta lisan dan tulisan diwujudkan dalam sebuah karya visual. Aku juga semakin paham, kadangkala film bisa lebih mudah dicerna dan didoktrin untuk pesan-pesan tertentu daripada sebuah buku atau tulisan.

Pada akhirnya, catatanku ini berhasil merangkum beberapa kata kunci perjalanan sejarah yang akan aku teruskan. Bagaimana permasalahan lingkungan (dari reklamasi), tradisi, sejarah, fakta kekinian dalam film dokumenter, termasuk cerita yang berhasil aku pungut di keseharian, harus aku tuliskan di blog ini. Percikan-percikan api dari kata kunci itu harus aku jaga, untuk menerangi perjalanan. Sekali lagi, minimal perjalanan diri sendiri . Dalam sebuah skrenario, aku tuliskan catatan ini sebagai prolog blog ini. Tapi ini adalah prolog yang kedua, setelah prolog blog yang pertama aku rumahkan. Prolog kedua, setelah aku tertidur dan istirahat menulis di blog, selama lima tahun. Prolog kedua, setelah aku berhasil menemukan percikan api dari semedi, untuk aku tuliskan di blog ini. Prolog kedua, untuk mengucapkan selamat datang kepada para pembaca di blog Panakmeng.

Sekali lagi, selamat datang di blog Panakmeng, anak muda beda dan berbahaya !

0 komentar: