PROLOG YANG KEDUA
Lima tahun, bukan waktu yang singkat
untuk berdiam diri. Hampa, tanpa ada coretan yang berarti. Begitulah hidup yang
dirasakan beberapa tahun belakangan ini. Sampai pada akhirnya, masih ada
setitik bara api yang masih bisa diselamatkan dari padamnya sebuah semangat.
Bara itu harus aku jaga, sesekali dijejali arang baru, dikipas secukupnya, agar
nyala api bisa membakar semangat. Minimal semangat diri sendiri.
Tahun 2010, aku mulai mengenal media
blog: sebuah halaman digital yang kamu baca ini. Seperti anak pedesaan
terpencil yang buta teknologi, mungkin cukup tragis perumpaan di awal itu.
Perlahan, aku dituntun dan dituntut untuk belajar membuat blog, dan mengisinya
dengan tulisan. Yang melakukan ini adalah Bli Putu Hadi Purnama Jati, berkat
buku Sakti Ngeblog-nya. Terima kasih ya Bli. Buku keramat itu berhasil memegang
dan mengarahkan tangan untuk bermain mouse
dan keyboard dengan mata menatap
tajam ke layar laptop. Membuat sebuah blog.
Kala itu, mimpi yang bersemayam di pikiran
akan upaya mengkampanyekan pelestarian terumbu karang pun akhirnya menjadi ide
utama blog. Iya, sejak 2007 aku memang cukup menaruh perhatian akan
konservasi penyu dan terumbu karang di Pulau Serangan Bali. Setidaknya ada dua
tulisan ilmiah yang berhasil ditulis dan mampu berbicara banyak di level
nasional, sekalipun masih dalam taraf anak SMA. Pertama, tulisan yang mencoba mengangkat konsep Sekeha Teruna (perkumpulan anak remaja
di Bali) dan Awig-awig (aturan adat)
dalam konservasi penyu dan biota laut Serangan pasca reklamasi yang mangkrak sejak 1998. Kedua,
masih mengangkat kearifan lokal Bali yang diakui dunia: Tri Hita Karana.
Bagaimana konsep universal ini diimplementasikan dalam upaya pelestarian
terumbu karang, lagi-lagi pasca hancurnya ekosistem ini akibat reklamasi sejak 1998. Dua
tulisan ini akan diceritakan pada judul yang berbeda nantinya, ya. Saat itu yang
tertinggal hanyalah pesan untuk terus mengkampanyekan pelestarian terumbu karang,
dan juga reklamasi. Aku catat: reklamasi. Maka lahirlah sebuah blog yang
disebut “Sahabat Terumbu Karang”.
Harapannya, blog itu mampu bercerita
akan pentingnya terumbu karang dalam rantai ekosistem laut. Bahwa ikan yang
dikonsumsi per harinya, tak lepas dari peran terumbu karang. Bahwa nelayan
Indonesia sangat menggantungkan hidupnya pada ekosistem ini. Blog ini kemudian
dilombakan di level nasional yang kebetulan bertemakan konservasi, dan berhasil
menyabet puncak juara. Satu kata: bangga. Blog anak ingusan itu ternyata bisa
mengalahkan beberapa blog senior yang sudah melanglang buana di dunia maya.
Tapi, kebanggan itu seakan menjadi klimaks, yang ending-nya berakhir dengan kebosanan dan juga kejenuhan. Antiklimaks
pun benar-benar terjadi sekitar setahun setelah penghargaan itu dikucurkan.
Tahun 2011 akhir, gairah menulis tak ada. Ide hanya sebatas rangsangan di
kepala. Epilognya : aku vakum menulis, di blog.
Vakum tidak sama dengan berhenti
bukan? Hanya sekadar istirahat, meredakan kebosanan dan kejenuhan yang ada. Selang
waktu sebelum lahirnya blog ini, aku disibukkan dengan rutinitas dan
mimpi-mimpi yang lain. Seperti ikut menari kecak (tari kolosal khas Bali) dan
pentas di beberapa event yang cukup ternama. Dunia baru ini mengajarkan aku akan
pentingnya pelestarian tradisi leluhur dan tanah kelahiran sendiri, yang belum
tentu dapat dilakukan di tanah kelahiran itu. Kecak juga mengajarkan kebersamaan,
bagaimana perbedaan nada suara dan gerak menjadi indah tatkala nilai
kebersamaan dan harmoni dijunjung tinggi. Catat: tradisi. Kecak pun
menghantarkan aku dan teman yang lain ikut teater “Dharma Gita Mahaguru”.
Sebuah teater perjalanan hidup Bung Karno, the Founding Father, putra sang
fajar, yang diproduksi langsung oleh putrinya Ibu Rachmawati Soekarnoputri.
Disitu kecak menjadi bara api, lahirnya semangat baru dikala Soekarno “Kusno”
lahir. Kemudian aku berpindah tokoh menjadi rakyat jelata yang melengkapi teater
agung itu. Aku juga akan menceritakan ini di judul yang terpisah. Intinya,
perjalanan ini mengajarkan aku satu hal: sejarah adalah masalah waktu. Catat
lagi: sejarah.
Tahun 2012, aku mencoba peruntungan
di dunia baru lagi: film dokumenter. Bersama Darya Kartika, teman pena-ku sejak
SMA, aku mengajukan lamaran ide “Mati 1 detik, tumbuh 1000 tahun” ke Eagle
Awards 8: sebuah ajang kompetisi film dokumenter yang ternama dan ditayangkan
di Metro TV. Perjalanan panjang berhasil ditempuh hingga babak pitching forum, sebuah tahapan akhir
yang menentukan layak tidaknya sebuah proposal ide divisualkan dalam film. Ohya lupa, proposal yang judulnya nyeleneh itu masih mengangkat pemikiran
yang lama, bagaimana konservasi terumbu karang yang dilakukan oleh Kelompok
Karya Segara Serangan, pasca reklamasi yang menimbun ratusan hektar terumbu
karang di sana. Pesan simpelnya, merusak itu gampang tapi menumbuhkan ekosistem
itu butuh waktu yang sangat lama. Alhasil, kami gagal masuk grandfinal. Artinya, film kami belum layak diproduksi.
Atas restu biota laut yang telah
meninggalkan dunia pasca reklamasi Serangan, proposal film kami dilirik oleh
Eagle Institute, untuk difilmkan dalam series dokumenter Metro TV: Eagle
Documentary Series. Bang Jastis, begitu aku memanggil sang sutradara handal,
seniorku jebolan Eagle Awards juga menempatkan aku di bagian co-director, satu posisi bagi seorang
videografer yang akan belajar menjadi sutradara. Film ini diproduksi pada Maret
2013 dengan judul yang berbeda dari proposal: Karya Segara (Bekerja untuk
Laut). Perjalanan sampai film ini diproduksi juga nantinya akan aku tulis
terpisah. Pada intinya, aku mulai mengenal seni perfilman dari titik tolak ini.
Sampai pada akhirnya, aku bisa merampungkan beberapa film sangat lokal yaitu
Catatan Akhir Kuliah #51 – sebuah film perjalanan mahasiswa di kampusku hingga
kelulusan dan perpisahannya. Kemudian lagi film yang mulai berani mengangkat
isu yang sudah sejak lama aku riset dan ada juga di tulisan ini: reklamasi.
Tapi kali ini adalah rencana reklamasi Teluk Benoa, yang mengurug lahan
konservasi di perairan selatan Bali. Aku tidak setuju, aku menolak. Dengan
alasan yang sama ketika aku menulis tulisan ilmiah tentang reklamasi Serangan
sewaktu SMA: reklamasi merusak biota laut dan kehidupan masyarakat pesisir.
Film itu aku buat dengan rekan-rekan di Jakarta yang diberi judul “Pray,
Voiced, & Persuade”. Film yang mengajak anak-anak muda untuk bersuara
menolak reklamasi Teluk Benoa, dengan cara dan bentuk apapun, yang wajar. Kemudian
dilanjutkan ke seri yang kedua dengan judul “Pura-pura Hijau”, menyuarakan
pembodohan berkedok peduli lingkungan (greenwashing)
yang dilakukan oleh investor, dan tentu bagaimana cara melawannya.
Kecintaanku pada film dokumenter tak
pernah pudar, setidaknya sampai tulisan ini ditulis. Terakhir di Mei 2015, aku
bersama tim yang lain berhasil juga merampungkan sebuah film bangunan
bersejarah di Kota Jakarta yang diberi judul “Eks 0 Km Jakarta”. Sejauh ini, film
dokumenter justru banyak menyutradari diriku, belajar bagaimana sebuah fakta lisan dan tulisan diwujudkan
dalam sebuah karya visual. Aku juga semakin paham, kadangkala film bisa lebih
mudah dicerna dan didoktrin untuk pesan-pesan tertentu daripada sebuah buku
atau tulisan.
Pada akhirnya, catatanku ini
berhasil merangkum beberapa kata kunci perjalanan sejarah yang akan aku
teruskan. Bagaimana permasalahan lingkungan (dari reklamasi), tradisi, sejarah,
fakta kekinian dalam film dokumenter, termasuk cerita yang berhasil aku pungut
di keseharian, harus aku tuliskan di blog ini. Percikan-percikan api dari kata
kunci itu harus aku jaga, untuk menerangi perjalanan. Sekali lagi, minimal
perjalanan diri sendiri . Dalam sebuah skrenario,
aku tuliskan catatan ini sebagai prolog blog ini. Tapi ini adalah prolog yang
kedua, setelah prolog blog yang pertama aku rumahkan. Prolog kedua, setelah aku
tertidur dan istirahat menulis di blog, selama lima tahun. Prolog kedua, setelah
aku berhasil menemukan percikan api dari semedi, untuk aku tuliskan di blog ini. Prolog
kedua, untuk mengucapkan selamat datang kepada para pembaca di blog Panakmeng.
Sekali lagi, selamat datang di blog
Panakmeng, anak muda beda dan berbahaya !
0 komentar: