CERPEN: JANTUR
Tidak banyak yang
bisa dilakukan Nona Jantur, mesin perekam sidik jari di parkiran motor lantai
dua, kecuali membiarkan orang-orang menekan tombolnya, dan menempelkan jari-jari
mereka kepadanya. Jam sibuk Nona Jantur adalah pagi hari pukul enam hingga
delapan, juga sore hari sekitar pukul empat. Pukul-pukul yang lain adalah jeda
istirahatnya, meski seringkali ia terusik oleh jari-jari yang terlambat,
termasuk jari-jari yang pulang lebih cepat. Nona Jantur bekerja seperti mesin,
sebagaimana ia memang diproduksi demikian, tidak pernah berhenti melayani,
kecuali saat listrik kantor padam dan genset tidak dinyalakan. Tapi pagi itu
telah merenggut pribadi Nona Jantur sebagai piranti mesin. Nona Jantur
merasakan sesuatu yang selama ini belum pernah dirasakan. Matanya berkaca-kaca,
senyum ringkihnya menyungging, denyut mesinnya membuncah. Semua itu terjadi ketika
jari telunjuk seorang pemuda menempeli tubuhnya. Hari-hari Nona Jantur setelahnya,
seketika berubah.
Nona Jantur sudah
pasti tidak (akan) bisa mengenali pemuda itu, kecuali lima dijit angka yang pemuda
itu tekan: lima enam delapan empat satu. Nona Jantur juga mulai belajar merasakan
raut jari pemuda itu yang ranum di pagi hari, dan sedikit memucat pada sore
hari. Telunjuk pemuda itu menekan tombol demi tombolnya dengan halus, lihai,
bahkan tidak pernah meleset sedikitpun. Pemuda itupun mendapat balasan yang setimpal
dari Nona Jantur: “Terima Kasih”. Nona Jantur memang dilatih untuk mengucapkan
“Terima Kasih” bagi siapapun yang berhasil menekan tombol yang benar, pun
memposisikan sidik jari dengan benar. Satu kalimat lagi yang ia bisa adalah
“Silahkan Coba Lagi”, bagi siapapun yang salah. Tapi pemuda itu tidak pernah
salah. Nona Jantur selalu membalasnya dengan ucapan “Terima Kasih” dengan nada
yang ia upayakan agar terdengar menggoda. Sayang pemuda itu tidak mendengar
godaan macam apapun. Apalagi merasakannya.
Kedatangan dan
kepulangan pemuda itu bahkan sudah dihapal betul-betul oleh Nona Jantur. Pemuda
itu tidak pernah datang lebih dari pukul tujuh, lebih cepat setengah jam dari
kebanyakan orang-orang. Juga pulang pukul setengah lima, lebih lambat setengah
jam dari kebanyakan orang-orang. Dalam beberapa waktu, pemuda itu juga pulang
sekitar pukul tujuh malam, bersamaan dengan beberapa orang lainnya. Nona Jantur
sempat berpikir mengapa pemuda itu datang lebih awal dan pulang jauh lebih lambat
dari yang lainnya. Tetapi itu tidak penting buat Nona Jantur. Selama pemuda itu
menyentuhnya tiap hari, itu sudah cukup mengalirkan keindahan ke dalam tubuhnya.
Keindahan yang terus merasuk, menjadikan ‘rasa’ itu perlahan bertumbuh. Ingin
rasanya Nona Jantur menyampaikan ‘rasa’ itu pada pemuda itu. Mengubah kalimat “Terima
Kasih” yang menggoda menjadi “Hei pemuda, Aku… Sayang… Kamu…”. Tapi itu tidak
mungkin. Selain ia memang tidak diprogram untuk mengucapkan kalimat selain
“Terima Kasih” dan “Silahkan Coba Lagi”, dan meski Nona Jantur berhasil
sekalipun mem-program dirinya sendiri, kalimat “Aku… Sayang… Kamu” tidak akan
pernah bisa diterima oleh siapapun.
Nona Jantur juga
belajar menerima bahwa dua hari di akhir pekan menjadi malapetaka rindu
baginya. Dan hari Senin, di mana sebagian orang-orang membencinya, justru menjadi
hari yang paling Nona Jantur tunggu. Pemuda itu datang sebagaimana biasanya,
mengobati rindu tak tertahankan Nona Jantur. Meski pernah beberapa Senin,
pemuda itu tidak datang sama sekali. Bahkan pernah sampai lima hari. Menambah
panjang rindu Nona Jantur, dan setiap ada yang menekan tombol, matanya tajam
memerhatikan, berharap yang datang adalah pemuda itu. Pagi itu, Nona Jantur
lelah sekali menunggu pemuda itu tak kunjung datang dalam seminggu lamanya. Jari
telunjuk seorang pemuda menekan tombolnya halus, lelahnya perlahan menghilang.
Tombol yang tertekan adalah lima enam delapan enam nol. “Ah, sial! Bukan pemuda
itu”, gumam Nona Jantur. Nona Jantur tentu tidak menyampaikan balasan itu.
Meski seorang pemuda itu menekan tombol dan menempelkan jari telunjuknya dengan
benar, Nona Jantur hanya bisa membalasnya dengan “Silahkan Coba Lagi!”. Sampai
tiga kali. Membuat seorang pemuda itu balik sebal.
Pemuda itu akhirnya
datang. Nona Jantur terlampau lelah. Menunggu. Menahan rindu. Selama empat minggu.
Dan selama itu pula Nona Jantur memikirkan pemuda itu. Nona Jantur juga mencoba
mencari-cari jawaban, dari orang-orang yang juga lama tidak menekan dan
menyentuhnya. “Apakah mungkin pemuda itu sakit? Selama itu?”. Tetapi Nona
Jantur menjawab sendiri pertanyaannya, “Ah tidak mungkin! Ia terlihat begitu
sehat meski sore hari telunjuknya sedikit memucat”. “Atau mungkin, pemuda itu
sudah menjual sepeda motornya?”. “Atau mungkin, pemuda itu dipindahkan ke
daerah?”. “Atau, pemuda itu telah resign
dari kantor ini? Kenapa pemuda itu tidak pamitan kepadaku?”. Pertanyaan demi
pertanyaan itu mengganggu hari-hari Nona Jantur. Orang-orang yang semula sering
berhasil, menjadi lebih sering gagal. Waktu yang semula tepat sesuai zona
waktu, bergeser maju juga mundur sekitar lima menit. Ketika waktu Nona Jantur
mundur, banyak yang menggerayanginya. Sebaliknya ketika maju, orang-orang
mengabaikannya. Tetapi itu tidak lebih jahat dari telunjuk pemuda itu, yang
telah mengabaikannya barang empat minggu.
“Jangan-jangan, pemuda
itu sedang bepergian semacam pulang kampung atau perjalanan dinas ke luar
kota?”. Lagi-lagi Nona Jantur menjawab sendiri, “Ah rasanya belum lagi ada
orang-orang yang bepergian selama itu. Kecuali …” Belum tuntas Nona Jantur me-lepeh-kan jawaban, pagi setelah empat
minggu lamanya, tombol lima-enam-delapan-empat-satu ditekan. Samar-samar Nona
Jantur melihat ada yang berbeda di dua jari di samping jari telunjuk pemuda
itu. Sesuatu yang terselip melingkar, cerah keemasan. Namun kebahagiaannya yang
baru saja bangun dari tidur panjang, mengaburkan pandangan Nona Jantur. Ia
mengucapkan “Terima Kasih” yang dari lubuk piranti yang teramat dalam. Tapi
setelahnya, Nona Jantur memikirkan apa yang terselip melingkar cerah keemasan,
di dua jari di samping jari telunjuk pemuda itu. Sore jam empat, tidak seperti
sebelum sebelumnya, pemuda itu absensi pulang. Nona Jantur menyoroti tajam dua
jari di samping jari telunjuk pemuda itu. Ia mengerti.
Nona Jantur membalas
sentuhan pemuda itu, tidak seperti sebelum sebelumnya.
“Silahkan Coba Lagi!” Dengan nada ketus. Hingga
tiga kali.
0 komentar: