JURANG EKONOMI YANG KIAN MENGANGA - PART 2
Sambil mendengarkan
lagu Busur Hujan dari Navicula, jemari saya berlalu-lalang di tombol-tombol
huruf, lalu berkeinginan untuk menyambung tulisan tentang ketimpangan. Sebelumnya,
tulisan “Jurang Ekonomi yang Kian Menganga, Part 1” telah menyodorkan sebuah prolog
mengapa ketimpangan menjadi sebuah masalah, utamanya bagi saya dan kebanyakan orang.
Juga, sejauh mana ketimpangan itu telah terjadi di negeri ini. Mengambil judul
“Potret yang Timpang”, tulisan itu tidak hanya mengupas ukuran kuantitatif seperti
rasio Gini, pertumbuhan ekonomi, dan konsumsi antar kelas penduduk – namun lebih
dari itu, dimaksudkan untuk membuka pikiran bahwa masalah itu ada dan nyata,
untuk dipikirkan bersama-sama. Kali ini, berbekal publikasi “AKU Indonesia:
Akhiri Ketimpangan Untuk Indonesia” dari World Bank, saya mencoba menuliskan
ulang, yang mudah-mudahan menyentuh akar permasalahan ketimpangan: mengapa ketimpangan
bisa terjadi? Atau, mengapa bisa meningkat (lebih parah lagi)?
Saya mencoba memulai
dengan sebuah contoh nyata yang saya rasakan sendiri. Saya lahir dari keluarga
petani desa, seperti sebagian besar penduduk Indonesia pada umumnya. (Almarhum)
kakek saya adalah seorang petani, itupun dari sawah warisan yang telah dibagi
dua dengan kakaknya. Saat itu, perekonomian masih begitu tradisionil dan
agraris, sehingga konsumsi sudah bisa terpenuhi dari bekerja sebagai petani. Termasuk
pula biaya sekolah. Bapak saya berhasil disekolahkan hingga menamatkan sekolah
keguruan, dan kini menjadi seorang guru. Ketika kebutuhan mulai semakin
kompleks, saya disekolahkan hingga menamatkan perguruan tinggi, hingga kini menjadi
seorang penulis blog ini. Namun ketika bicara soal kasta ekonomi rumah tangga, keluarga
kami boleh-lah dimasukkan ke dalam kelas menengah. Dalam bahasa yang lebih
sederhana: berkecukupan.
Kondisi yang
berbeda terjadi pada beberapa orang di desa saya. Beberapa orang diwarisi tanah
yang cukup luas, termanfaatkan dengan baik, untuk pendidikan yang lebih baik, hingga
saat ini bisa dikatakan menjadi keluarga yang mapan secara ekonomi. Atau, ada
yang tidak dibekali warisan sepeser pun, tapi mendapati pekerjaan di sektor
pariwisata, kerja keras disana, memperoleh penghasilan di atas rata-rata, mampu
membeli aset, dan juga menjadi keluarga yang mapan secara ekonomi. Dua kasus
ini bisa dikategorikan sebagai mereka yang ada di kelas atas. Sebaliknya, ada
juga yang ‘belog ajum’ menjual tanah
warisan untuk hura-hura hingga kini merasa serba kekurangan. Atau ada yang memang
tidak dibekali warisan apa-apa, minim kerja keras, dan tanpa mengeyam bangku
pendidikan, hingga kini juga bernasib serupa. Mereka dikelaskan sebagai: kelas
bawah.
Semua perbedaan di
atas adalah menyoal ketimpangan, yang perjalanannya ber-regenerasi, disertai sekelumit
clue permasalahannya. Semua punya
input, proses yang dilalui, dan outputnya masing-masing. Sehingga, kunci untuk
memahami ketimpangan yang meningkat adalah mengapa ada orang-orang yang memperoleh
penghasilan lebih besar karena pekerjaannya lebih baik atau memang memiliki
aset yang lebih banyak (bahkan) sejak dilahirkan. Selanjutnya, bagaimana
prosesnya, yaitu penghasilan itu dikelola: berapa yang dibelanjakan, dan berapa
yang ditabung untuk masa depan. Yang terakhir adalah alasan lain di luar dua
hal tadi, faktor bencana (alam, sosial, ekonomi) yang mengikis aset dan
penghasilan suatu rumah tangga, terutama kepada yang rentan yaitu kasta
menengah ke bawah. Terhadap semua alasan ini, ada satu pertanyaan yang paling
penting: mengapa si kaya mampu bertahan atas guncangan tadi?
Ada empat alasan
utama, mengapa ketimpangan itu terjadi (juga) di Indonesia. Yang pertama, dan
paling mendasar adalah ketimpangan peluang, menyoal kondisi sejak lahir. Yang
kedua adalah ketimpangan pendapatan ketika seseorang memutuskan untuk bekerja
pada orang atau berusaha – memperkerjakan orang. Yang ketiga adalah ketimpangan
aset, yaitu semakin terpusatnya sumber daya keuangan pada segelintir rumah
tangga kaya. Dan yang terakhir (keempat) adalah faktor lain, yaitu guncangan
yang kemudian mengikis kemampuan ekonomi rumah tangga.
Ketimpangan
peluang.
Katanya, awal
kehidupan yang tidak setara berarti kehidupan yang tidak setara di masa depan. Sepertiga
dari ketimpangan yang terjadi di negeri ini disebabkan oleh faktor di luar
kendali individu, terutama faktor tempat dimana dilahirkan dan pendidikan orang
tua. Bahkan, ketimpangan bisa dimulai sebelum dilahirkan! Sebagian anak-anak
dari rumah tangga miskin umumnya tidak mendapatkan nutrisi yang memadai sejak
masih dalam kandungan, hingga berumur dua tahun. Hasilnya: mereka mengalami
stunting (gagal mencapai tinggi badan yang sesuai usia mereka) dan kemampuan
kognitif yang lebih lambat. Lalu? Dibandingkan mereka yang lahir dan tumbuh
sehat, tingkat pendidikannya akan lebih rendah, pekerjaan yang kurang layak,
dan penghasilan yang rendah saat dewasa nantinya. Faktanya, 37 persen anak-anak
Indonesia mengalami stunting (sumber: WHO Child Nutrition Indicators) – dan tentunya
kita tidak ingin mereka mengalami siklus seperti pada kalimat sebelumnya.
Ketimpangan peluang
menjadi semakin parah, ketika tidak semua anak mendapatkan awal yang baik di
sekolah. Meskipun diklaim angka partisipasi sekolah anak miskin telah meningkat,
mereka seringkali tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang sama. Kecil
kemungkinan bagi anak-anak di perdesaan (juga luar Jawa) dapat mengikuti
program pendidikan anak usia dini (PAUD), termasuk Taman Kanak-kanak (TK). Pada
tingkatan yang lebih tinggi, saat anak-anak kaya mampu naik kelas dan jenjang
dengan santainya, anak-anak miskin justru lebih besar terancam tidak naik kelas
atau jenjang pendidikan berikutnya. Dari berbagai pemberitaan, kita juga
mengetahui bahwa sekolah-sekolah di perdesaan Indonesia timur lebih kecil
kemungkinannya memiliki guru yang terlatih (atau bahkan tidak ada guru sama
sekali) dan fasilitas yang memadai. Hasil sekaligus faktanya: anak kelas tiga
SD di Jawa mampu membaca 26 kata per menit lebih cepat dibandingkan anak di
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Demikian pula, anak yang lebih kaya mampu
membaca 18 kata lebih cepat dibandingkan anak-anak yang miskin (sumber: OECD,
2015). Kondisi yang tidak jauh berbeda, juga terjadi saat saya mengajar
(menginspirasi, tepatnya) pada Kelas Inspirasi Lombok 4 di sebuah sekolah dasar
di Sembalun, Kaki Gunung Rinjani. Saya mendapati sebagian besar anak kelas 3 di
sana, masih belum bisa menghitung (tambah dan kurang) dengan benar. Hm, menjadi
PR!
Ketimpangan pendapatan.
Jika dikaitkan,
ketimpangan ini adalah bagian dari konsekuensi ketimpangan peluang yang terjadi
sejak lahir. Perang pendapatan di era ekonomi saat ini adalah antara para pekerja
terampil dan tidak terampil. Para pekerja terampil umumnya adalah mereka yang
sejak awal menyelesaikan sekolah dan mengambil manfaat dari pendidikan yang
berkualitas tinggi. Dan, masalahnya adalah: permintaan tenaga kerja terampil di
Indonesia sangat tinggi – namun suplainya sangat terbatas. Meskipun semakin
banyak perusahaan yang mensyaratkan pekerja lulusan minimal sekolah menengah
atas, tidaklah bisa disamakan dengan keterampilan. Data dari World Bank
menyebutkan: tidak kurang dari 1 persen anak muda usia 19-24 tahun telah
mengikuti pelatihan TI dan bahasa. Dan kelangkaan ini menyembulkan masalah:
upah pekerja terampil naik lebih pesat dibandingkan dengan pekerja tidak
terampil. Upah pada sektor dengan produktivitas tinggi dan membutuhkan
keterampilan lebih, seperti jasa keuangan, telekomunikasi, manufaktur – telah naik
lebih cepat dibandingkan pada sektor dengan produktivitas rendah: pertanian dan
sektor informal. Mereka yang kaya, yang kemungkinan besar lebih terdidik dan
terampil, akan meraup keuntungan dari upah yang lebih tinggi.
Ketimpangan aset.
Rumah tangga
memperoleh pendapatan tidak hanya dengan bekerja, tetapi bekal sumber daya aset
keuangan dan fisik, yang bahkan diwariskan sejak lahir. Di Indonesia, 10 persen
orang terkaya menguasai sekitar 77 persen kekayaan (aset) negeri, bahkan jika
diciutkan, 1 persen orang terkaya memiliki separuh dari seluruh kekayaan. Aset
keuangan dan fisik ini menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi hanya untuk
sejumlah kecil rumah tangga kaya, kemudian dikelola agar tumbuh menjadi
kekayaan yang lebih besar lagi di masa depan. Maka: semakin terpusatnya kekayaan
di tangan segelintir orang berarti pendapatan aset keuangan dan fisik akan
mendorong ketimpangan yang semakin lebar. Apalagi pengumpulan kekayaan berasal
dari praktik-praktik korupsi – sungguh akan menyebabkan ketimpangan di masa
depan yang lebih parah!
Guncangan.
Ada banyak jenis
guncangan yang akan mengikis kemampuan rumah tangga: ekonomi, kesehatan,
sosial-politik, dan bencana alam. Dan jelas, mereka yang paling rentan adalah
orang-orang miskin dan berpotensi menghalangi peningkatan derajat ekonomi
mereka. Bencana alam, misalnya kekeringan yang menggagalkan hasil panen petani.
Atau, hiperinflasi harga pangan yang mengurangi manfaat pendapatan. Atau, PHK
besar-besaran yang memutus sumber penghasilan. Termasuk, kecelakaan dan gangguan
kesehatan yang memaksa menghentikan aktivitas bekerja dan keseharian. Sayangnya,
dalam situasi sulit seperti ini, banyak orang Indonesia yang lebih bergantung
pada teman dan saudara daripada mekanisme formal. Saat usaha mengembalikan
tidak cukup, seseorang mungkin akan menjual aset produktif – seperti sehektar
tanah warisan atau sebuah mesin jahit, hanya untuk membayar rumah sakit
misalnya. Kasus yang lebih ekstrim terjadi misalnya tidak menyekolahkan anak
atau memaksa mereka bekerja di usia yang sangat dini.
Jika menjadi
bencana yang umum, guncangan akan menekan pendapatan semua orang di Indonesia
tanpa kecuali. Tapi karena rumah tangga kaya memiliki daya tahan yang lebih,
mereka tidak terlalu terusik – sebaliknya, rumah tangga yang miskin akan rentan
terperosok kembali ke jurang kemiskinan. Selama 14 tahun, kebanyakan orang
Indonesia mengalami fase naik-turunnya pendapatan yang cukup terjal. Namun,
seperlima rumah tangga terkaya mampu bertahan pada kuintil teratas selama
periode yang sama! Sementara, separuh dari 26,9 persen warga yang rentan miskin
menjadi miskin di tahun berikutnya.
Jika kita kembali
menengok pada siklus ketimpangan, kita akan melihat masalahnya secara lebih
runtut. Aset, setiap rumah tangga (atau manusia yang lahir) memiliki kuantitas
dan kualitas aset yang berbeda. Mereka yang kaya, akan lebih sehat dan menikmati
akses pendidikan yang memadai dibandingkan mereka yang miskin. Lalu mereka hampir
dipastikan menjadi pekerja terampil di sektor ekonomi yang produktivitasnya
tinggi, mendapati penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak
terampil. Bahkan, tanpa harus bekerja pun mereka bisa berusaha mengelola aset
keuangan dan fisik yang mereka miliki untuk meraup pendapatan yang lebih
fantastis. Mereka yang kaya juga lebih mudah menabung untuk investasi di masa
depan, dibandingkan yang miskin. Di masa depan, generasi berikutnya, akan
memulai siklus yang sama kembali – bahkan mungkin lebih baik. Ketimpangan
menjadi lebih kompleks: berlangsung antar generasi.
Solusinya? –
bersambung dan nantikan tulisan berikutnya.
0 komentar: