DUA RIBU ENAM (TUJUH) BELAS
Ditemani piring
kecil dan garpu, saya menyantap pizza hari ini. Tidak begitu lahap. Memang saya
tidak doyan makanan luar negeri yang satu ini. Dalam dua suapan, saya menaruh
garpu, menatap layar komputer, dan menemukan fakta bahwa beberapa hari lagi,
tahun akan segera tuntas. Tepatnya dituntaskan. Saya menggunakan kata pasif
‘dituntaskan’ untuk mengembalikan memori tiga ratusan hari lampau, hingga
mengubahnya menjadi kata ‘menuntaskan’. Seperti siaran televisi yang membuat
kilasan balik peristiwa yang terjadi sepanjang tahun ini, siaran radio juga tak
kalah memamerkan lagu-lagu hits di tahun ini, facebook yang memunculkan video
review sentuhan kita di media sosial ini, dan lainnya, saya pun mencoba mengingat-ingat
apa yang saya tuntaskan di tahun ini. Dua ribu enam belas.
Saya masih ingat
betul betapa hitungan detik menuju dua ribu enam belas dihabiskan bersama
sebagian kawan-kawan Komunitas Jendela Jakarta dengan bakar-bakar ayam. Di
rumah Hakim, Cibubur. Truth or dare
menjadi ajang penghabisan pagi, hingga terlelap di pelataran rumah
bersama-sama. Merasa seru seterusnya, kami terus menjalin tawa dan keceriaan
sepanjang tahun ini. Di grup chatting, saat makan sore menjelang malam, saat
ada yang ulang tahun, saat ada yang promosi kerjaan, saat ada yang menikah, saat
ada yang galau, dan semuanya berlalu sedemikian berkesannya di tahun ini. Saya
senang menemukan mereka di antara padatnya pergaulan ibukota, meski masih
sering merasa hilang diri dalam beberapa kesempatan bersama mereka.
Sedari awal tahun, pemikiran
saya juga terbagi untuk sebuah konsistensi pergerakan cinta tanah kelahiran
“Bali Tolak Reklamasi”. Melanjutkan rekomendasi pasca riset megaproyek
reklamasi Pulau Serangan tahun 2007-2008, film dokumenter “Karya Segara” tahun
2013, film sekuel semidokumenter “Pray, Voiced, & Persuade” dan “Pura-pura
Hijau” tahun 2014-2015, film perjalanan “Bali Bergerak” di awal tahun 2016, dan
serentetan tulisan berikut aksi penolakan atas rencana reklamasi Teluk Benoa –
saya bersama Pande, Prabawa, dan Bajra membuat sebuah forum diskusi terbuka
“Ngomong Gen”. Mengusung topik-topik pergerakan di Bali, Ngomong Gen cukup
berhasil mengundang anak muda Bali di ibukota untuk menyuarakan opini dan
pemikirannya atas apa yang terjadi di Bali. Tidak berhenti di forum diskusi, kami
juga merambah ke dalam beberapa aksi turun ke jalan dan panggung pertunjukan. Pura
Bekasi, Cibinong, Depok, dan kampus AKPINDO menjadi panggung band Padtriot
(yang digawangi Pande, Deli, dan Adit) berkolaborasi meneriakkan perlawanan
terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Semua ini dikemas apik dalam lagu
“Lawan” yang diselingi monolog dari seseorang yang menamakan dirinya Lelakut
Bercaping. Dua ribu tujuh belas, mungkin akan lebih megah lagi.
Sekitar bulan
Februari dan Maret, selain fluktuasi pekerjaan di kantor, saya berkesempatan
tugas ke luar kota. Dua kali saja. Di Ternate, Maluku Utara dan Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Dalam sesi tugas yang cukup melelahkan, ada berjuntai perjalanan
mengasikkan yang telah menunggu. Di Ternate, saya mengeksplorasi pulau dari
Gunung Gamalama ini dari Batu Angus, birunya Pantai Sulamadaha, hijau dan
mistisnya Danau Tolire. Menyeberang barang lima belas menit, saya sampai di
Tidore. Bersentuhan dengan sisa-sisa sejarah digjayanya kerajaan di tanah
rempah ini. Mengunjungi pulau Maitara yang tergambar di uang seribu rupiah, benteng
Tahula, air panas di pesisir Akesahu, menghedon di Kora-Kora cafe milik Bams
Conora, dan bermalam di rumah kawan lama: Bukhari Fauzul setelah disuguhi makan
malam yang luar biasa dari Ibunda-nya. Sebagai bekal dari Pulau ini, saya
disuguhkan Lapis khas Tidore: Safira, juga buku “Pemberontakan Nuku”. Terasa
begitu spesial.
Di Nusa Tenggara
Timur, saya tidak hanya berhenti di Kota Kupang. Setelah menikmati santap kuliner
Ikan Kuah Asam Tenau bersama Bli Jati, seorang web developer penuh mimpi dan
cerita inspirasi, dengan satu-satunya pesawat yang tersedia, saya terbang ke
pulau paling selatan Indonesia: Rote. Menginap di Tirosa Homestay, dekat
pesisir Nembrala, saya seperti asing dikelilingi bule-bule kesepian tapi penuh
cerita dan tawa. Dalam sebuah senja menjingga, Mrs. Candhra dan suaminya Mr.
Squick duduk menghampar di kursi kayu di atas pasir. Lalu datang gadis Belgia,
Naura, yang terlihat kelelahan di penghujung hari itu. Kemudian Mr. Mathew dan
kekasihnya Ms. Leticia yang terlihat malu berpelukan kala itu. Kami
bercengkrama sedikit tentang darimana kami berasal, dan untuk apa kami datang
kesini. Asal kami jelas berbeda, tapi ternyata tujuan kami sama: mencari
kesunyian. Pergi, sebentar atau lama, dari keramaian hidup yang tak jelas
akhirnya. Seperti kemudian saya pergi ke Bukit Mando’o dan menemukan kawan
lokal, bernama Yanto Mesah. Dan senja harinya, saya diajak minum Sopi (arak
khas Rote) di Bukit Pintu Pantai Bo’a. Malam tanpa lampu dari listrik
menghantar kami pada rumahnya yang disambut hangat istinya, Sritna, dan
anaknya, Maura. Rasanya seperti menemukan saudara dan kehidupan baru disini. Sebelum
besoknya, saya harus kembali ke Kupang untuk bercuap-cuap menyampaikan materi sehubungan
dengan pekerjaan. Huh.
Tapi, dua traveling
ini membuat saya semakin cinta pada keindahan negeri ini. Keragaman alam,
budaya, manusia, kuliner, dan lainnya memaksa mimpi saya untuk ‘naik level’
dari keliling dunia menjadi keliling Indonesia. Masih di tahun ini, saya mulai
manjat Gunung Papandayan, merasuki kampung Baduy Dalam, menikmati keindahan api
biru Ijen, eksotisnya terumbu karang Menjangan, padang savana Baluran, dan menjajal
kota Bandung dan Lembang. Sebagian besar saya ketemu orang-orang baru. Di Papandayan,
saya diajakin Mya, kawan di Komunitas Jendela Jakarta – bersama teman-teman
alumni di kampusnya di Semarang dulu. Ke Baduy, saya diajakin Abel, kawan di
Tootal Pramuka KIJP – bersama anak-anak KIJP dari pulau lainnya. Ke Baluran-Ijen-Menjangan,
saya ikut open trip bersama lima kawan Tootal Pramuka KIJP – bergabung dengan para
traveler lain dari Semarang, Solo, dan Surabaya, dan ternyata kita bisa asyik
bersama. Maka, penjelajahan tahun ini tidak hanya memperkenalkan saya pada eksotika
alam dan budaya, juga dengan siapa kita menikmati itu.
Dua ribu enam belas,
adalah awal saya masuk dunia literasi anak negeri (yang lebih luas), setelah
Komunitas Jendela Jakarta. Bulan April, saya mencoba peruntungan dengan
mendaftar di Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP) Batch 5. Dan, diterima. Mendapat
pengalaman pertama nan berharga di SDN 02 Panggang, di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu, bersama puluhan relawan lainnya. Di sana, saya membagikan keseruan
belajar matematika dengan bermain jarimatika dan kelas dalam angka. Relawannya
juga tak kalah kocak, dan karena suatu insiden lucu, akhirnya tim dinamakan
Tootal Pramuka. Dan saya mulai gila, karena mereka. Salah satunya, gila ikutan
Kelas Inspirasi. Benar, saya ketagihan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya di
Bulan Agustus, saya lolos di Kelas Inspirasi Bali 3 di SDN 1 Tanglad, Nusa
Penida. Disini saya kembali menemukan orang-orang yang luar biasa, kompak, dan
koplak. Dua minggu setelahnya, masih di bulan yang sama, saya lolos di Kelas
Inspirasi Pandeglang. Mendapat tugas di SDN Juhut 3, kaki gunung Karang, saya
bertemu anak-anak sedikit pemalu dengan orang baru dan sekolah yang begitu
ramah dengan tamu. Perihal ini yang juga kemudian membuat kami kembali, Back to
School di awal Januari Dua Ribu Tujuh Belas. Di Bulan Nopember, saya kembali
mengikuti Kelas Inspirasi Tegal 2, berlabel poci, di SDN Semedo. Masih sama,
bertemu orang-orang yang penuh dedikasi, dan anak-anak yang penuh mimpi. Anggap
saja, saya dan relawan lain datang untuk menyemangati dan memelihara mimpi
mereka. Saya datang ke sana berikut teriakan “Inyong.. koen, luar biasa!”. Mudah-mudahan,
ketika nanti saya kembali ke sana, mereka masih ingat saya karena jargon itu. Di
dua ribu tujuh belas, saya masih akan berjuang. Karena menjadi pendidik, adalah
tugas orang-orang yang pernah terdidik.
Sabtu-minggu di
tahun ini benar-benar tak ternilai, begitu berharga. Juga sangat berkesan. Masih
sama dengan tahun sebelumnya, saya banyak menghabiskan waktu di Komunitas
Jendela Jakarta. Sebuah komunitas yang membangunkan kepedulian saya yang cukup
lama tertidur. Membagi ilmu bersama adik-adik di Manggarai, Sungai Bambu, dan
Serpong. Juga belajar membaca, tepatnya mengenal huruf, bersama si kecil Indra
di Manggarai. Juga kegiatan seru lain, seperti temu relawan baru di Bintaro, buka
bersama dan bazzar di bulan Ramadhan, One
Day Trip alias jalan-jalan edukasi bersama beberapa adik, mobile library, bioskop Jendela Jakarta,
hingga acara sebesar Festival Bocah Cilik – perayaan empat tahun hari jadi
Komunitas Jendela Jakarta. Sebuah acara yang membangkitkan kembali permainan
tradisional dan keseruan anak-anak Indonesia. Merasa senang menjadi bagian dari
keseruan komunitas ini, dan dua ribu tujuh belas: mudah-mudahan masih sama.
Rasa-rasanya, masih
banyak sekali cerita di dua ribu enam belas. Belum lagi soal pekerjaan di
kantor, penuh drama, lengkap dengan komedi dan tragedi-nya. Ruangan kerja yang
dipenuhi pekerja yang santai tapi asyik, tapi pekerjaan bisa beres semua. Beberapa
tragedi juga terjadi: namun tak bisa terangkai dalam cerita ini. Sebagian
berhasil saya tuntaskan, sebagian lagi masih menjadi pekerjaan di tahun-tahun
depan. Tapi terlepas dari ini semua, saya cukup sering melarikan diri dari kebosanan
pekerjaan di kantor. Musik indie, kedai kopi, novel klasik, radio, dan film
menjadi obat penawarnya. Lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, Nosstress, Banda
Neira, dan beberapa band indie lain seperti menyentuh pikiran dan hati tepat
pada masalahnya masing-masing. Kopi lokal Aceh Gayo, Jawa, Kintamani Bali, Flores
Bajawa, Toraja, dan Papua – juga menjadi teman hangat di kedai bersama
buku-buku novel klasik karya Pramoedya Ananta Toer juga Eka Kurniawan, saat hidup
dan kehidupan mulai memahit. Dan kopi menjadi penawarnya. Radio seperti Gen FM
dan Prambors juga selalu menemani perjalanan pulang-pergi ke kantor, untuk
melupakan bising dan polusi jalanan yang membabibuta di ibukota. Dan, nonton
film, terutama di bioskop non-komersil, seperti di Kineforum – untuk menemukan
inspirasi baru tentang hidup dan problematika yang melekat diantaranya. Sepertinya
di tahun depan, saya akan meneruskan kegilaan ‘pelarian’ ini.
Terima kasih dua
ribu enam belas. Atas sahabat, perjuangan, literasi, pertualangan, kopi, musik,
film, seni, bacaan, pekerjaan.
Juga cinta.
Dan semuanya.
Dua ribu enam
belas, buat saya adalah tahun penuh kegilaan mengejar mimpi yang tak pernah
habis ini. Meskipun, masih meninggalkan segudang mimpi lainnya untuk dikejar
lagi di tahun berikutnya: dua ribu tujuh belas. Maka, ijinkan saya menutup tahun
ini dengan sebuah catatan di buku harian kerja saya, yang saya tulis tanggal 22
Desember 2016:
“Tahun ini begitu liar. Pikiran, kaki, suara. Tapi tidak dengan hati,
nurani, dan idealisme. Saat otak acapkali ditagih oleh mimpi, suara-suara lalu
berserak dan tak terasa kaki telah melangkah sejauh ini. Sedang hati, nurani,
dan idealisme masih konsisten: untuk-Mu dan mu”.
0 komentar: