AKU KEMANA, KEMANA AKU?
“Tujuan kamu kerja
di sini apa?”, sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan oleh atasanku. Pada
sebuah percakapan biasa. Namun terkaget-kaget dengan pertanyaan demikian. Seperti
mendorong tubuh mundur dan memojokkannya di sudut ruang perenungan. Aku
mengambil air, meneguk perlahan, dan tak berhasil jua menemukan jawaban. Ah!
Terlahir dari
keluarga sederhana di pelosok desa perbatasan antara Kabupaten Badung dan
Tabanan, Bali – aku sama seperti anak-anak Bali lainnya. Masa kecil dipenuhi
dengan permainan yang tak seegois sekarang. Aku masih ingat betul bagaimana
dedaunan belimbing berikut buahnya di pekarangan, batu bata yang dihancurkan
pada batu hitam, ditetesi air sumur, dan dialasi daun bunga kertas – seperti “lawar”
aku jual ke teman-teman sepermainan. Dibayarnya pun pakai daun bunga kertas! Kami
menyebutnya permainan “dagang-dagangan”. Bosan akan permainan yang lebih menggali
kreativitas perempuan itu, kami berpaling pada permainan “dul-dulan” atau petak
umpet. Juga main “cingklak”, karet, “dengkleng-dengklengan” dan serentetan
permainan lain – sesuai pada musim dan tingkat kejenuhan. Tapi lucunya, waktu
itu kami tidak memahami betul makna kejenuhan. Yang ada hanya keseruan.
Kebahagiaan sesungguhnya dikala masa kanak-kanak.
Sekolah. Menuntut
ilmu. Sepertinya menjadi keharusan, meski bisa dikatakan aku hanya masuk
sekolah karena orang tua yang ‘menyuruhnya’. Juga karena keseragaman, karena
teman-teman seumuran pada masuk sekolah. Asumsinya, aku sekolah karena memang
sudah waktunya masuk sekolah. Aku tak tahu betul, kalau sekolah nantinya akan
mengajarkan aku sejauh ini. Membuat aku seperti ini. Menggerakkan jemari di
atas keyboard komputer, bergolak dengan pikiran, dan menghasilkan tulisan galau
begini. Aku tidak tahu akan bisa berada di titik ini. Aku menyebut kondisi
sekarang sebagai “point”. Hanya sebuah titik.
Aku tidak punya roadmap
rapi tentang mimpi dan cita-cita aku. Menjadi anak desa yang tak dibekali ilmu
yang cukup tentang cita-cita, ketika guru di kelas bertanya cita-cita aku, aku
menjawab: dokter! Jawaban itu spontan. Karena kosakata cita-cita waktu itu
sangat terbatas: dokter, guru, polisi, tentara. Tanpa buruh, petani. Itu sudah.
Tidak banyak. Tapi sekarang? Aku tidak benar mencapai cita-cita atas jawaban
spontan itu. Meskipun upaya mencapai itu digembleng mati-matian saat masa penentuan
di tingkat SMA. Aku tidak kuliah di kedokteran.
Apakah aku
mengalami kegagalan?
Sempat terpikir di
benakku, menghapus kata kegagalan dan keberhasilan. Let it flow! Menikmati
proses! Output, hasil akhir, atau apalah itu hanya bonus dari sebuah proses. Berada
di ranah proses berarti harus siap dengan hidup penuh keterambingan. Segala
sesuatu yang terjadi adalah pergolakan antara usaha dan penyerahan diri. Antara
doa dan karma. Antara hidup dan mimpi. Antara kenyataan dan harapan. Alhasil,
jadilah aku seperti saat ini. Kaya akan mimpi, namun miskin dalam hidup. Aku
tidak menyoal materi, namun lebih kepada keseimbangan. Sama seperti ketika
kecil dulu, aku mempunyai mimpi yang sedemikian besar dan ambisiusnya. Ketika
gelayutan di akar pohon beringin, ingin menjadi tarzan yang menyelamatkan
lingkungan. Ketika loncat di sungai ingin menjadi ultraman, atau power rangers,
atau superhero lainnya. Ketika melihat pesawat melintasi ribuan kaki di atap
rumah, ingin menjadi pilot yang menerbangkan pesawat. Dan seterusnya. Tapi
bedanya, waktu itu aku tidak pernah mempermasalahkan mimpi yang seabrek.
Sekarang, ketika
menjadi manusia yang bisa dikatakan sudah dewasa. Mimpi seabrek sepertinya justru
menjadi masalah. Karena dihadapkan pada realitas keterbatasan diri. Aku harus meninggalkan
beberapa mimpi untuk menjadikan sebagian diantaranya kenyataan. Aku harus
memaksakan sedikit hidup agar sebagian darinya bisa tidak menjadi
kesia-kesiaan. Mencoba fokus, tapi dimusuhi oleh naluri menjadi generalis. Mencoba
menyederhanakan, namun dihalang-halangi oleh rasa ingin tahu yang lain. Ah,
masih membingungkan!
Rasa-rasanya, aku
ingin kembali ke masa dua dasawarsa lalu. Atau hidup sekarang dengan idealisme kekanak-kanakan.
Tidak mempermasalahkan mimpi yang seabrek. Pagi bertengkar dengan teman,
sorenya sudah akur kembali. Benar-benar berpasrah pada waktu. Kemana aku akan
hanyut nanti. Kemana aku akan tersangkut nanti. Melampui atau singgah pada sebuah
titik atau “point” yang tak pernah aku bayangkan atau harapkan sebelumnya. Sampai
aku berjumpa pada jawaban yang bisa aku pahami atas pertanyaan ini : Aku Kemana
? Kemana Aku?
Hingga saat ini aku
masih berpangku pada hipotesa : “Point Break”. Aku mencari titik
peristirahatan. Sama seperti mitos Ozaki Eight yang dipecahkan oleh para
petualang ekstrim di film yang sama “Point Break” (2015). Hingga pada suatu
hari ada bertanya kepada aku pertanyaan “tujuan kamu kerja di sini apa?”.
Jawaban aku masih sama:
“Untuk beristirahat”.
0 komentar: