KATA GADIS BALI
Sehari sebelum gelaran perdana Ngomong Gen, saya
mendapati sepucuk surat elektronik tergeletak rapi di kotak email. Nama
pengirimnya tidak asing, sangat tidak asing. Dia juga yang dulu pernah mengirim
tulisan tentang LDR. Tapi kali ini, ia mengirimkan tulisan tentang cinta yang
lebih luas: Bali dan pergerakannya. Persis seperti topik yang dibahas di acara
Ngomong Gen “Bali: Cinta dan Pergerakannya”. Jujur, saya kaget membaca
tulisannya. Saya kenal sekali penulis ini, cukup cuek akan kondisi sekitarnya.
Namun, belakangan ini ia mulai peduli dan berani melontarkan opininya tentang
berbagai hal, termasuk isu yang sering saya (dan panakmeng) gelorakan: Bali
Tolak Reklamasi. Inilah kata gadis Bali, gadis yang lahir di Bali dan kini menggantungkan
hidup di pariwisata Bali, tentang megaproyek reklamasi Teluk Benoa, Bali.
. . .
Sering lihat sih,
perlawanan yang dilakukan oleh beberapa sahabat atau teman terkait dengan isu
reklamasi Teluk Benoa. Baik itu dari sosial media, baliho-baliho, film, music,
ataupun aksi nyata mereka ketika demo di seputaran kantor Gubernur Bali. Jujur,
sampai sekarang masih ‘gak’ dapet pesannya, kenapa harus ditolak
sampai seperti itu? Kenapa hanya beberapa orang yang secara aktif menyuarakan
Bali Tolak Reklamasi? Lalu, sisanya hanya bisa diam entah sebagai pihak pro
atau yang menyebut diri mereka pihak netral.
Diam-diam begini, sebenarnya aku sering mengamati dan
sempat beberapa kali bertanya kepada beberapa teman ataupun kepada keluarga di
rumah. Beberapa teman yang memiliki pengetahuan ‘lebih’ mengatakan, akan banyak
bencana yang akan kita alami sebagai penduduk Bali, apabila program reklamasi Teluk
Benoa (sepertinya sekarang disebut revitalisasi Teluk Benoa) benar-benar dilaksanakan.
Dan beberapa teman lagi, sepertinya cuek, karena menurut mereka hal tersebut belum
berpengaruh secara signifikan bagi kehidupan mereka. Ada yang bilang, bahwa
sebenarnya ada banyak hal positif dari reklamasi Teluk Benoa. Ah, entah lah. Siapa
yang benar disini. Namun, jawaban dari keluarga lebih mengelitik lagi, seperti
ini “ngudang milu-milu keto? Yang penting
bungut paon ne nu ngidang mekudus” (baca: Ngapain ikut-ikutan seperti itu?
Yang paling penting biar dapur masih bisa berasap). Ya, sepertinya semua orang
tahu istilah it’s not your business. Toh, pekerjaan mereka tidak terganggu
dengan isu ini. Ya begitu lah kurang lebih. Selalu ada pihak pro-netral-kontra,
dengan semua alasan yang melatarbelakangi-nya.
Lalu aku yang mana?
Sebagai salah satu orang yang hidup dari dunia
pariwisata, mungkin aku terkesan cuek akan isu tersebut, padahal tidak. Iya
memang benar, semakin banyak tamu yang menginap di hotel maka service yang diterima juga semakin
tinggi. Service tinggi, penghasilan
sebulan juga tinggi. Tapi, apabila hotel semakin banyak maka occupancy di masing-masing hotel tentu
tidak bisa 100 persen. Mungkin hal ini salah satu alasan keluarnya istilah ini:
Bali don’t need no more building. Ya,
aku setuju dengan kalimat tersebut. Bali sudah jenuh dengan pembangunan. Apalagi
Bali selatan, semakin hari semakin sesak. Sesak karena beton, manusia, dan juga
kendaraan.
Akhirnya, aku mengerti kenapa reklamasi perlu ditolak
setelah membaca beberapa postingan di facebook.
Salah satunya dari Manputra Papanyatwi. Hal
kecil yang selalu aku lakukan adalah membagikan kembali postingan itu. Ya,
paling tidak aku sudah ikut menyuarakan bahwa kita sebagai penduduk Bali, tidak
boleh hanya diam melihat permasalahan ini. Karena diam, berarti membiarkan Bali
tenggelam. Ikut menyuarakan Bali Tolak Reklamasi tidak melulu harus dengan
demo, atau melakukan kegiatan-kegiatan yang cenderung anarkis. Aksi kecil saya
ini misalnya. Dan, terima kasih sudah membaca tulisan ini.
Bali, 22 Januari 2015
- Emmy Fibrianti
0 komentar: