KATA GADIS BALI

20.54 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Sehari sebelum gelaran perdana Ngomong Gen, saya mendapati sepucuk surat elektronik tergeletak rapi di kotak email. Nama pengirimnya tidak asing, sangat tidak asing. Dia juga yang dulu pernah mengirim tulisan tentang LDR. Tapi kali ini, ia mengirimkan tulisan tentang cinta yang lebih luas: Bali dan pergerakannya. Persis seperti topik yang dibahas di acara Ngomong Gen “Bali: Cinta dan Pergerakannya”. Jujur, saya kaget membaca tulisannya. Saya kenal sekali penulis ini, cukup cuek akan kondisi sekitarnya. Namun, belakangan ini ia mulai peduli dan berani melontarkan opininya tentang berbagai hal, termasuk isu yang sering saya (dan panakmeng) gelorakan: Bali Tolak Reklamasi. Inilah kata gadis Bali, gadis yang lahir di Bali dan kini menggantungkan hidup di pariwisata Bali, tentang megaproyek reklamasi Teluk Benoa, Bali.

. . .

Sering lihat sih, perlawanan yang dilakukan oleh beberapa sahabat atau teman terkait dengan isu reklamasi Teluk Benoa. Baik itu dari sosial media, baliho-baliho, film, music, ataupun aksi nyata mereka ketika demo di seputaran kantor Gubernur Bali. Jujur, sampai sekarang masih ‘gakdapet pesannya, kenapa harus ditolak sampai seperti itu? Kenapa hanya beberapa orang yang secara aktif menyuarakan Bali Tolak Reklamasi? Lalu, sisanya hanya bisa diam entah sebagai pihak pro atau yang menyebut diri mereka pihak netral.

Diam-diam begini, sebenarnya aku sering mengamati dan sempat beberapa kali bertanya kepada beberapa teman ataupun kepada keluarga di rumah. Beberapa teman yang memiliki pengetahuan ‘lebih’ mengatakan, akan banyak bencana yang akan kita alami sebagai penduduk Bali, apabila program reklamasi Teluk Benoa (sepertinya sekarang disebut revitalisasi Teluk Benoa) benar-benar dilaksanakan. Dan beberapa teman lagi, sepertinya cuek, karena menurut mereka hal tersebut belum berpengaruh secara signifikan bagi kehidupan mereka. Ada yang bilang, bahwa sebenarnya ada banyak hal positif dari reklamasi Teluk Benoa. Ah, entah lah. Siapa yang benar disini. Namun, jawaban dari keluarga lebih mengelitik lagi, seperti ini “ngudang milu-milu keto? Yang penting bungut paon ne nu ngidang mekudus” (baca: Ngapain ikut-ikutan seperti itu? Yang paling penting biar dapur masih bisa berasap). Ya, sepertinya semua orang tahu istilah it’s not your business. Toh, pekerjaan mereka tidak terganggu dengan isu ini. Ya begitu lah kurang lebih. Selalu ada pihak pro-netral-kontra, dengan semua alasan yang melatarbelakangi-nya.

Lalu aku yang mana?

Sebagai salah satu orang yang hidup dari dunia pariwisata, mungkin aku terkesan cuek akan isu tersebut, padahal tidak. Iya memang benar, semakin banyak tamu yang menginap di hotel maka service yang diterima juga semakin tinggi. Service tinggi, penghasilan sebulan juga tinggi. Tapi, apabila hotel semakin banyak maka occupancy di masing-masing hotel tentu tidak bisa 100 persen. Mungkin hal ini salah satu alasan keluarnya istilah ini: Bali don’t need no more building. Ya, aku setuju dengan kalimat tersebut. Bali sudah jenuh dengan pembangunan. Apalagi Bali selatan, semakin hari semakin sesak. Sesak karena beton, manusia, dan juga kendaraan.

Akhirnya, aku mengerti kenapa reklamasi perlu ditolak setelah membaca beberapa postingan di facebook. Salah satunya dari Manputra Papanyatwi. Hal kecil yang selalu aku lakukan adalah membagikan kembali postingan itu. Ya, paling tidak aku sudah ikut menyuarakan bahwa kita sebagai penduduk Bali, tidak boleh hanya diam melihat permasalahan ini. Karena diam, berarti membiarkan Bali tenggelam. Ikut menyuarakan Bali Tolak Reklamasi tidak melulu harus dengan demo, atau melakukan kegiatan-kegiatan yang cenderung anarkis. Aksi kecil saya ini misalnya. Dan, terima kasih sudah membaca tulisan ini.


Bali, 22 Januari 2015
- Emmy Fibrianti


0 komentar: