JURANG EKONOMI YANG KIAN MENGANGA - PART 1
Entah kenapa, ketika pembicaraan mengarah pada isu
ketimpangan dan keseteraan, kuping saya terasa gatal. Lalu, dahi ikut mengerut.
Memerintahkan otak untuk berpikir sekaligus memberi solusi. Namun, saya menyadari,
saya bukan siapa-siapa. Bukan anak pengusaha, bukan juga anak pejabat setingkat
menteri, yang sewajarnya lebih gatal ketika dihadapkan pada isu ini. Rasa gatal
ini muncul ke permukaan, semenjak kuliah disodorkan buku Michael P. Todaro yang
berjudul “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Judul mata kuliahnya adalah
Ekonomi Pembangunan. Saya sangat tertarik ilmu ini. Mungkin, karena faktor
dosen yang sedemikian asyiknya menjabarkan materi yang sangat dekat dengan
kondisi riil di negeri ini. Ketika ada kuis berupa esai selalu ada embel-embel
pertanyaan begini: “… dan sebutkan contoh riilnya?”.
Sekali lagi, saya sangat tertarik dengan ekonomi
pembangunan, yang menjunjung tinggi kesetaraan dan sangat mengharamkan
ketimpangan. Dengan doktrin ini, saya lebih bisa melihat permasalahan
kemiskinan dan ekonomi mikro lainnya yang terjadi di sekitar saya. Saya juga
dibuatnya membenci pembangunan yang lebih menguntungkan si berkantong tebal
daripada si yang bersendal jepit. Ilmu ini juga mengarahkan saya pada tugas
akhir untuk mengangkat isu ketimpangan pembangunan manusia di negeri ini. Hasil
singkatnya: ekonomi Indonesia terus bergeliat tumbuh, pembangunan manusianya
kian merangkak naik, namun ketimpangan pembangunan manusia secara multidimensi
dari kesehatan – pendidikan – standar hidup layak, kian menganga. Jakarta
menjadi daerah yang paling rendah tingkat ketimpangannya. Dan Papua menjadi
daerah yang paling lebar kesenjangannya, sejalan dengan rendahnya tingkat pembangunan
manusia di daerah tersebut.
Skripsi selesai, tapi saya masih dihantui banyak
pertanyaan. Saya yang tinggal di Jakarta, yang notabene sebagai daerah yang
paling rendah tingkat ketimpangannya, dalam satu titik waktu bisa melihat mobil
supermewah melintas di jalanan ibukota, sekaligus manusia gerobak yang didorong
tepat di sebelah mobil itu. Sedemikian dekatnya ketimpangan itu, di depan mata kepala
saya sendiri. Lalu saya berpikir, bagaimana dengan Papua? Yang ketimpangannya sedemikian
lebarnya? Mungkin saja ada yang lebih kaya dari si pengendara mobil supermewah
di Jakarta tadi. Mungkin juga ada yang lebih miris dari si manusia gerobak di
pinggiran jalanan itu. Mungkin. Sayangnya, saya belum pernah menginjakkan kaki
di bumi mutiara hitam Indonesia ini.
Selesai kuliah, perhatian saya pada dunia ini tidak
pernah hilang. Setiap ada berita-berita yang menyodorkan topik kemiskinan, ketimpangan,
pembangunan manusia – saya sangat tertarik untuk membacanya. Seperti
mengumpulkan bom waktu, tinggal menunggu saat-saat meledaknya saja. Tapi
meledaknya pun tidak seberapa, paling-paling hanya menjadi tulisan yang tidak
jelas arahnya seperti ini. Paling-paling hanya menjadi aksi kecil yang tidak
terekam kamera wartawan, seperti banyak yang dilakukan selebritis dan pejabat
akhir-akhir ini.
Sampai-sampai, bulan November 2015 lalu, saya mencoba
peruntungan untuk menghadiri forum “AKU INDONESIA” yang diselenggarakan oleh Bank
Dunia di Djakarta Theater. AKU INDONESIA bukanlah jargon si tukang pamer Farhat
Ab**s, tapi singkatan dari “Akhiri Ketimpangan Untuk Indonesia”. Lebih dari
itu, saya cukup terinspirasi melihat logo acara ini, yaitu bendera Indonesia
yang seperti terbagi menjadi dua sisi: merah – putih, mirip seperti simbol sama
dengan. Judulnya acaranya adalah
“Indonesia’s Rising Divide” atau “Ketimpangan yang Semakin Lebar”. Intinya,
Bank Dunia ingin membuka mata dari para pejabat, akademisi, pengusaha, pemerhati
sosial, dan anak kolot seperti saya, akan kondisi Indonesia saat ini. Bank
Dunia memperingatkan bahwa Indonesia jangan terlena dengan angka pertumbuhan
ekonomi yang mapan, tapi lupa akan ketimpangan yang semakin parah.
Dalam laporannya, Bank Dunia menilai kesenjangan
sosial-ekonomi di negeri kita ini, terutama satu dekade terakhir setelah krisis
1998, justru semakin menganga. Pada tahun 2002, 10 persen orang terkaya di
Indonesia mengkonsumsi sama banyaknya dengan 42 persen warga termiskin.
Sedangkan pada tahun 2014, mereka mengkonsumsi sama banyaknya dengan 54 persen
warga termiskin. Atau contoh riilnya begini. Si berkantong tebal mampu makan
siang di restoran berkelas seharga 1 juta rupiah per porsi. Nilai itu sama
dengan total konsumsi makan siang 50 buruh pabriknya yang bersendal jepit. Kemudian,
konsumsi si berkantong tebal menjadi 1,5 juta rupiah per porsi yang sama dengan
konsumsi makan siang 100 buruh pabriknya. Peningkatan kemampuan konsumsi
berbeda, salah satu indikasi ketimpangan yang semakin menganga.
Ukuran yang lebih popular lagi adalah koefisien Gini. Di
mana 0 berarti sepenuhnya setara, sedangkan 100 berarti sepenuhnya tidak
setara. Dan selama 30 tahun, koefisien Gini Indonesia (sesuai namanya) memang gini-gini aja. Stagnan. Pada rata-rata
30. Memang sewaktu krisis 1998, rasio Gini sempat turun pada titik terendahnya.
Semua orang terkena dampak krisis, tanpa terkecuali. Orang miskin memang
semakin miskin. Namun, orang kaya yang justru yang paling parah terpukul
krisis. Alhasil, kesenjangan pun jadi menipis. Masuk tahun-tahun berikutnya,
ekonomi Indonesia mampu bangkit perlahan. Sayangnya, walaupun kelompok miskin
mulai terentaskan, masih jauh tertinggal di belakang dibanding percepatan
pertumbuhan pendapatan kelompok yang lebih tinggi. Puncaknya, terjadi pada
tahun 2011. Ketika itu, koefisien Gini Indonesia melejit pada level 41 dan
bertahan hingga sekarang. Angka ini menjadi koefisien Gini mencatatkan rekor
tertinggi, sepanjang sejarah. Kenaikan ini juga disebut terhitung paling cepat
dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya.
Sedikit tambahan cerita. Pasca krisis, Indonesia memang
mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan telah membantu
mengurangi kemiskinan dan menciptakan pertumbuhan kelas sosial yang mapan
secara ekonomi. Tolak ukurnya, PDB (Produk Domestik Bruto) riil per kapita Indonesia
tumbuh rata-rata 5,4 persen per tahun selama 2010 – 2014. Pertumbuhan ini cukup
menolong banyak orang keluar dari lingkaran kemiskinan. Angka kemiskinan
berkurang lebih dari separuh, dari 24 persen pada saat krisis menjadi 11 persen
pada tahun 2014. Selain itu, pertumbuhan juga berhasil menciptakan kelas menengah
yang lebih kuat dari yang pernah ada sebelumnya. Saat ini terdapat 45 juta atau
18 persen masyarakat kelas menengah yang sudah mapan secara ekonomi. Mereka
sudah menikmati kualitas hidup yang lebih baik. Mereka adalah segmen populasi
yang paling cepat berkembang, dengan peningkatan 10 persen per tahun sejak
tahun 2002.
Namun, kelompok menengah ke atas ternyata meninggalkan
205 juta orang sisanya di belakang. Tetesan pertumbuhan ekonomi sebagian besar ternyata
lebih dinikmati oleh kelas konsumen yang berkembang. Antara tahun 2003 dan
2010, konsumsi per orang untuk 10 persen warga terkaya meningkat lebih dari 6
persen per tahun setelah memperhitungkan inflasi. Namun, kenaikannya untuk
kelompok 40 persen warga termiskin masih kurang dari 2 persen per tahun. Atas kondisi
ini, laju pengentasan kemiskinan menjadi jalan siput. Pelan. Jumlah orang
miskin hanya turun dua persen per tahun terhitung sejak 2002, bahkan nyaris
tidak ada penurunan pada jumlah orang yang rentan miskin. Kelompok penduduk
yang sangat dekat dengan garis kemiskinan. Ada goyangan krisis sedikit aja,
kelompok ini yang terancam dan berpeluang besar masuk ke jurang kemiskinan.
Kenaikan konsumsi memang sejalan dengan kenaikan
penghasilan. Kelompok si kaya memang tumbuh pesat, mencapai 10 persen per
tahun, tertinggi dibandingkan kelompok pendapatan lainnya. Kondisi ini memicu
masalah baru, bahwa aset dan kekayaan semakin terkonsentrasi pada kelompok
pendapatan terkaya. Saat ini, 10 persen penduduk terkaya menguasai 77 persen
pendapatan nasional. Jika dipersempit, 1 persen orang yang paling tajir di
Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan negeri ini. Sisanya, 99 persen
orang lainnya harus berebut sisa rejeki di negeri ini. Sungguh suatu jurang
ketimpangan yang sangat curam.
Inilah potret ketimpangan negeri ini. Bukan mustahil,
jurang ekonomi akan menjadi kian menganga tanpa ada aksi nyata, dari
pemerintah, akademisi, kritikus, dan anak-anak muda yang peduli akan masalah
ini. Saya yakin, nenek moyang bangsa ini tidak mengajarkan kita sikut-sikutan
dalam masalah rejeki. Juga tidak mewarisi kita kerakusan atau kekuasaan atas
sesuatu. “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, itulah yang diwarisi
oleh nenek moyang kita. Mungkin saja kita sekarang lupa. Maka, melalui
perantaraan angka-angka di atas, saya hanya ingin membuka mata untuk melihat
kembali negeri ini. Dan, tulisan ini belum selesai. Masih bersambung.
0 komentar: