JURANG EKONOMI YANG KIAN MENGANGA - PART 1

01.14 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Entah kenapa, ketika pembicaraan mengarah pada isu ketimpangan dan keseteraan, kuping saya terasa gatal. Lalu, dahi ikut mengerut. Memerintahkan otak untuk berpikir sekaligus memberi solusi. Namun, saya menyadari, saya bukan siapa-siapa. Bukan anak pengusaha, bukan juga anak pejabat setingkat menteri, yang sewajarnya lebih gatal ketika dihadapkan pada isu ini. Rasa gatal ini muncul ke permukaan, semenjak kuliah disodorkan buku Michael P. Todaro yang berjudul “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Judul mata kuliahnya adalah Ekonomi Pembangunan. Saya sangat tertarik ilmu ini. Mungkin, karena faktor dosen yang sedemikian asyiknya menjabarkan materi yang sangat dekat dengan kondisi riil di negeri ini. Ketika ada kuis berupa esai selalu ada embel-embel pertanyaan begini: “… dan sebutkan contoh riilnya?”.

Sekali lagi, saya sangat tertarik dengan ekonomi pembangunan, yang menjunjung tinggi kesetaraan dan sangat mengharamkan ketimpangan. Dengan doktrin ini, saya lebih bisa melihat permasalahan kemiskinan dan ekonomi mikro lainnya yang terjadi di sekitar saya. Saya juga dibuatnya membenci pembangunan yang lebih menguntungkan si berkantong tebal daripada si yang bersendal jepit. Ilmu ini juga mengarahkan saya pada tugas akhir untuk mengangkat isu ketimpangan pembangunan manusia di negeri ini. Hasil singkatnya: ekonomi Indonesia terus bergeliat tumbuh, pembangunan manusianya kian merangkak naik, namun ketimpangan pembangunan manusia secara multidimensi dari kesehatan – pendidikan – standar hidup layak, kian menganga. Jakarta menjadi daerah yang paling rendah tingkat ketimpangannya. Dan Papua menjadi daerah yang paling lebar kesenjangannya, sejalan dengan rendahnya tingkat pembangunan manusia di daerah tersebut.

Skripsi selesai, tapi saya masih dihantui banyak pertanyaan. Saya yang tinggal di Jakarta, yang notabene sebagai daerah yang paling rendah tingkat ketimpangannya, dalam satu titik waktu bisa melihat mobil supermewah melintas di jalanan ibukota, sekaligus manusia gerobak yang didorong tepat di sebelah mobil itu. Sedemikian dekatnya ketimpangan itu, di depan mata kepala saya sendiri. Lalu saya berpikir, bagaimana dengan Papua? Yang ketimpangannya sedemikian lebarnya? Mungkin saja ada yang lebih kaya dari si pengendara mobil supermewah di Jakarta tadi. Mungkin juga ada yang lebih miris dari si manusia gerobak di pinggiran jalanan itu. Mungkin. Sayangnya, saya belum pernah menginjakkan kaki di bumi mutiara hitam Indonesia ini.  

Selesai kuliah, perhatian saya pada dunia ini tidak pernah hilang. Setiap ada berita-berita yang menyodorkan topik kemiskinan, ketimpangan, pembangunan manusia – saya sangat tertarik untuk membacanya. Seperti mengumpulkan bom waktu, tinggal menunggu saat-saat meledaknya saja. Tapi meledaknya pun tidak seberapa, paling-paling hanya menjadi tulisan yang tidak jelas arahnya seperti ini. Paling-paling hanya menjadi aksi kecil yang tidak terekam kamera wartawan, seperti banyak yang dilakukan selebritis dan pejabat akhir-akhir ini.

Sampai-sampai, bulan November 2015 lalu, saya mencoba peruntungan untuk menghadiri forum “AKU INDONESIA” yang diselenggarakan oleh Bank Dunia di Djakarta Theater. AKU INDONESIA bukanlah jargon si tukang pamer Farhat Ab**s, tapi singkatan dari “Akhiri Ketimpangan Untuk Indonesia”. Lebih dari itu, saya cukup terinspirasi melihat logo acara ini, yaitu bendera Indonesia yang seperti terbagi menjadi dua sisi: merah – putih, mirip seperti simbol sama dengan.  Judulnya acaranya adalah “Indonesia’s Rising Divide” atau “Ketimpangan yang Semakin Lebar”. Intinya, Bank Dunia ingin membuka mata dari para pejabat, akademisi, pengusaha, pemerhati sosial, dan anak kolot seperti saya, akan kondisi Indonesia saat ini. Bank Dunia memperingatkan bahwa Indonesia jangan terlena dengan angka pertumbuhan ekonomi yang mapan, tapi lupa akan ketimpangan yang semakin parah.

Dalam laporannya, Bank Dunia menilai kesenjangan sosial-ekonomi di negeri kita ini, terutama satu dekade terakhir setelah krisis 1998, justru semakin menganga. Pada tahun 2002, 10 persen orang terkaya di Indonesia mengkonsumsi sama banyaknya dengan 42 persen warga termiskin. Sedangkan pada tahun 2014, mereka mengkonsumsi sama banyaknya dengan 54 persen warga termiskin. Atau contoh riilnya begini. Si berkantong tebal mampu makan siang di restoran berkelas seharga 1 juta rupiah per porsi. Nilai itu sama dengan total konsumsi makan siang 50 buruh pabriknya yang bersendal jepit. Kemudian, konsumsi si berkantong tebal menjadi 1,5 juta rupiah per porsi yang sama dengan konsumsi makan siang 100 buruh pabriknya. Peningkatan kemampuan konsumsi berbeda, salah satu indikasi ketimpangan yang semakin menganga.

Ukuran yang lebih popular lagi adalah koefisien Gini. Di mana 0 berarti sepenuhnya setara, sedangkan 100 berarti sepenuhnya tidak setara. Dan selama 30 tahun, koefisien Gini Indonesia (sesuai namanya) memang gini-gini aja. Stagnan. Pada rata-rata 30. Memang sewaktu krisis 1998, rasio Gini sempat turun pada titik terendahnya. Semua orang terkena dampak krisis, tanpa terkecuali. Orang miskin memang semakin miskin. Namun, orang kaya yang justru yang paling parah terpukul krisis. Alhasil, kesenjangan pun jadi menipis. Masuk tahun-tahun berikutnya, ekonomi Indonesia mampu bangkit perlahan. Sayangnya, walaupun kelompok miskin mulai terentaskan, masih jauh tertinggal di belakang dibanding percepatan pertumbuhan pendapatan kelompok yang lebih tinggi. Puncaknya, terjadi pada tahun 2011. Ketika itu, koefisien Gini Indonesia melejit pada level 41 dan bertahan hingga sekarang. Angka ini menjadi koefisien Gini mencatatkan rekor tertinggi, sepanjang sejarah. Kenaikan ini juga disebut terhitung paling cepat dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya.

Sedikit tambahan cerita. Pasca krisis, Indonesia memang mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan telah membantu mengurangi kemiskinan dan menciptakan pertumbuhan kelas sosial yang mapan secara ekonomi. Tolak ukurnya, PDB (Produk Domestik Bruto) riil per kapita Indonesia tumbuh rata-rata 5,4 persen per tahun  selama 2010 – 2014. Pertumbuhan ini cukup menolong banyak orang keluar dari lingkaran kemiskinan. Angka kemiskinan berkurang lebih dari separuh, dari 24 persen pada saat krisis menjadi 11 persen pada tahun 2014. Selain itu, pertumbuhan juga berhasil menciptakan kelas menengah yang lebih kuat dari yang pernah ada sebelumnya. Saat ini terdapat 45 juta atau 18 persen masyarakat kelas menengah yang sudah mapan secara ekonomi. Mereka sudah menikmati kualitas hidup yang lebih baik. Mereka adalah segmen populasi yang paling cepat berkembang, dengan peningkatan 10 persen per tahun sejak tahun 2002.

Namun, kelompok menengah ke atas ternyata meninggalkan 205 juta orang sisanya di belakang. Tetesan pertumbuhan ekonomi sebagian besar ternyata lebih dinikmati oleh kelas konsumen yang berkembang. Antara tahun 2003 dan 2010, konsumsi per orang untuk 10 persen warga terkaya meningkat lebih dari 6 persen per tahun setelah memperhitungkan inflasi. Namun, kenaikannya untuk kelompok 40 persen warga termiskin masih kurang dari 2 persen per tahun. Atas kondisi ini, laju pengentasan kemiskinan menjadi jalan siput. Pelan. Jumlah orang miskin hanya turun dua persen per tahun terhitung sejak 2002, bahkan nyaris tidak ada penurunan pada jumlah orang yang rentan miskin. Kelompok penduduk yang sangat dekat dengan garis kemiskinan. Ada goyangan krisis sedikit aja, kelompok ini yang terancam dan berpeluang besar masuk ke jurang kemiskinan.

Kenaikan konsumsi memang sejalan dengan kenaikan penghasilan. Kelompok si kaya memang tumbuh pesat, mencapai 10 persen per tahun, tertinggi dibandingkan kelompok pendapatan lainnya. Kondisi ini memicu masalah baru, bahwa aset dan kekayaan semakin terkonsentrasi pada kelompok pendapatan terkaya. Saat ini, 10 persen penduduk terkaya menguasai 77 persen pendapatan nasional. Jika dipersempit, 1 persen orang yang paling tajir di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan negeri ini. Sisanya, 99 persen orang lainnya harus berebut sisa rejeki di negeri ini. Sungguh suatu jurang ketimpangan yang sangat curam.

Inilah potret ketimpangan negeri ini. Bukan mustahil, jurang ekonomi akan menjadi kian menganga tanpa ada aksi nyata, dari pemerintah, akademisi, kritikus, dan anak-anak muda yang peduli akan masalah ini. Saya yakin, nenek moyang bangsa ini tidak mengajarkan kita sikut-sikutan dalam masalah rejeki. Juga tidak mewarisi kita kerakusan atau kekuasaan atas sesuatu. “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, itulah yang diwarisi oleh nenek moyang kita. Mungkin saja kita sekarang lupa. Maka, melalui perantaraan angka-angka di atas, saya hanya ingin membuka mata untuk melihat kembali negeri ini. Dan, tulisan ini belum selesai. Masih bersambung.


0 komentar: