NGOMONG GEN II: REKLAMASI ≠ TRI HITA KARANA

20.08 Putu Dharma Yusa 0 Comments



Pasca gelaran perdana Ngomong Gen, kian banyak isu yang beredar. Seperti biasanya, ada yang benar, ada yang palsu, ada yang miring, ada yang gak jelas, ada yang pencitraan, dan seterusnya. Panakmeng mencoba mengkronologiskan semua isu-isu yang beredar ini. Hasilnya, rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar, dihiasi dengan pemberitaan yang kurang lebih bersimpulkan begini: reklamasi (atau yang investor dan penguasa sebut ‘revitalisasi’) akan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal Bali, yaitu Tri Hita Karana. Reklamasi membonceng nama Tri Hita Karana. Lalu, ada yang bertanya begini: “Dari sisi mana reklamasi bisa disebut sebagai implementasi Tri Hita Karana?”

Tri Hita Karana. Falsafah adiluhung ini yang memang membawa Bali sampai di titik sekarang ini. Keseimbangan ini yang mengunci tata karma manusia Bali dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Ada tiga keseimbangan dalam Tri Hita Karana: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Bagaimana manusia menghubungkan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam beserta semua makhluk di dalamnya. Dalam beberapa sastra seperti epos Ramayana, menyebutkan bahwa, keseimbangan seperti inilah yang nantinya akan mampu merekonsiliasi kekacauan yang ada di dunia modern. Maka, Tri Hita Karana bersifat konservatif, menjaga nilai-nilai luhur yang telah diwariskan. Sifatnya fleksibel, namun saklek untuk beberapa kondisi. Misalnya, Pura Tanah Lot yang merupakan kawasan suci, masih membolehkan wisatawan untuk mengunjunginya. Tapi ada catatan, bagi yang cuntaka dilarang memasuki areal suci Pura. Dan seterusnya.

Lalu, dari sisi mana reklamasi Teluk Benoa adalah pengejawantahan Tri Hita Karana? Beberapa waktu lalu, para petinggi investor TWBI melaksanakan sumpah di Pura Besakih. Bahwa reklamasi akan dilaksanakan secara benar. Mereka yang notabene non Hindu, melakukan ini di tengah-tengah persembahyangan umat yang tak tahu menahu tentang niat ini. Dan lucu, mereka mempublikasikan umat sebagai bagian dari mereka. Bagaimana mungkin, bersumpah selain keyakinan yang dianut adalah implementasi dari konsep Parahyangan? Reklamasi juga disebut-sebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar Teluk Benoa dan masyarakat Bali pada umumnya. Tapi, apakah reklamasi yang tidak mendapat restu dari masyarakat Tanjung Benoa dan hampir seluruh masyarakat Bali, adalah salah satu implementasi dari Pawongan? Selain gunung, laut adalah wilayah yang sangat disakralkan oleh umat Hindu di Bali. Bagaimana mungkin, reklamasi yang menimbun kawasan suci bisa disebut sebagai salah satu implementasi Palemahan?

Jawabannya akan diskusikan nanti, dalam diskusi terbuka sembari bersantap kuliner khas Bali – nasi jinggo, sambil mendendangkan musik-musik alternatif, dan menonton film. Maka dari itu, Panakmeng mengundang dan mengajak anak muda beda dan berbahaya, untuk bersuara dalam gelaran Ngomong Gen periode II, yang mengambil topik diskusi:

“Reklamasi (tidak sama dengan) Tri Hita Karana”.

Catat jadwalnya !

Hari, tanggal       : Sabtu, 12 Maret 2016
Pukul                     : 19.00 – 22.00 WIB
Tempat                : Jenggokil Cafe, Jalan Rajawali Selatan II, No. 8, Kemayoran, Jakarta.
Donasi                  : minimal 25k (include Nasi Jinggo + Yeh Biasa)
Registrasi             : 0819 1617 0772 (via Whatsapp, tempat terbatas).

Sekali lagi: ajak teman, keluarga, pacar, gebetan, mantan, dan lain-lain untuk berdiskusi santai. Karena diam, hanya akan membiarkan Bali tenggelam. Suarakan kepedulianmu, anak muda beda dan berbahaya. Panakmeng menunggu suara-suara mu.


0 komentar: