NGOMONG GEN II: REKLAMASI ≠ TRI HITA KARANA
Pasca gelaran perdana Ngomong Gen, kian banyak isu yang
beredar. Seperti biasanya, ada yang benar, ada yang palsu, ada yang miring, ada
yang gak jelas, ada yang pencitraan,
dan seterusnya. Panakmeng mencoba mengkronologiskan semua isu-isu yang beredar
ini. Hasilnya, rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar, dihiasi dengan
pemberitaan yang kurang lebih bersimpulkan begini: reklamasi (atau yang
investor dan penguasa sebut ‘revitalisasi’) akan tetap menjaga nilai-nilai
kearifan lokal Bali, yaitu Tri Hita Karana. Reklamasi membonceng nama Tri Hita
Karana. Lalu, ada yang bertanya begini: “Dari sisi mana reklamasi bisa disebut
sebagai implementasi Tri Hita Karana?”
Tri Hita Karana. Falsafah adiluhung ini yang memang membawa
Bali sampai di titik sekarang ini. Keseimbangan ini yang mengunci tata karma manusia
Bali dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Ada tiga keseimbangan dalam Tri
Hita Karana: Parahyangan, Pawongan, dan
Palemahan. Bagaimana manusia menghubungkan
diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam beserta semua makhluk
di dalamnya. Dalam beberapa sastra seperti epos Ramayana, menyebutkan bahwa,
keseimbangan seperti inilah yang nantinya akan mampu merekonsiliasi kekacauan
yang ada di dunia modern. Maka, Tri Hita Karana bersifat konservatif, menjaga
nilai-nilai luhur yang telah diwariskan. Sifatnya fleksibel, namun saklek untuk beberapa kondisi. Misalnya,
Pura Tanah Lot yang merupakan kawasan suci, masih membolehkan wisatawan untuk
mengunjunginya. Tapi ada catatan, bagi yang cuntaka
dilarang memasuki areal suci Pura. Dan seterusnya.
Lalu, dari sisi mana reklamasi Teluk Benoa adalah pengejawantahan
Tri Hita Karana? Beberapa waktu lalu, para petinggi investor TWBI melaksanakan
sumpah di Pura Besakih. Bahwa reklamasi akan dilaksanakan secara benar. Mereka
yang notabene non Hindu, melakukan ini di tengah-tengah persembahyangan umat
yang tak tahu menahu tentang niat ini. Dan lucu, mereka mempublikasikan umat sebagai
bagian dari mereka. Bagaimana mungkin, bersumpah selain keyakinan yang dianut
adalah implementasi dari konsep Parahyangan? Reklamasi juga disebut-sebut akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar Teluk Benoa dan masyarakat Bali
pada umumnya. Tapi, apakah reklamasi yang tidak mendapat restu dari masyarakat
Tanjung Benoa dan hampir seluruh masyarakat Bali, adalah salah satu
implementasi dari Pawongan? Selain gunung, laut adalah wilayah yang sangat
disakralkan oleh umat Hindu di Bali. Bagaimana mungkin, reklamasi yang menimbun
kawasan suci bisa disebut sebagai salah satu implementasi Palemahan?
Jawabannya akan diskusikan nanti, dalam diskusi terbuka
sembari bersantap kuliner khas Bali – nasi jinggo, sambil mendendangkan musik-musik
alternatif, dan menonton film. Maka dari itu, Panakmeng mengundang dan mengajak
anak muda beda dan berbahaya, untuk bersuara dalam gelaran Ngomong Gen periode
II, yang mengambil topik diskusi:
“Reklamasi (tidak sama dengan) Tri Hita Karana”.
Catat jadwalnya !
Hari, tanggal : Sabtu, 12 Maret 2016
Pukul :
19.00 – 22.00 WIB
Tempat :
Jenggokil Cafe, Jalan Rajawali Selatan II, No. 8, Kemayoran, Jakarta.
Donasi :
minimal 25k (include Nasi Jinggo + Yeh Biasa)
Registrasi : 0819 1617 0772 (via Whatsapp, tempat terbatas).
Sekali lagi: ajak teman, keluarga, pacar, gebetan, mantan,
dan lain-lain untuk berdiskusi santai. Karena diam, hanya akan membiarkan Bali
tenggelam. Suarakan kepedulianmu, anak muda beda dan berbahaya. Panakmeng
menunggu suara-suara mu.
0 komentar: