BALI, JUARA ATAU PETAKA?
Masih belum lupa di ingatan. Beberapa hari yang lalu, banyak
beredar berita yang tidak begitu mencengangkan: Pulau Bali kembali bertengger
di jajaran pulau-pulau terbaik dunia. Pertama kali saya mendengar kabar ini
dari televisi. Sontak dikejutkan oleh komentar rekan kerja saya: “… tuh Yus, Bali dapet gelar pulau terbaik
kedua di dunia”. Saya yang awalnya fokus pada lembar kerja di monitor,
memalingkan muka sebentar ke televise, dan diakhiri dengan menengok ke arah
suara tadi. Menghela nafas, berpikir sejenak. “Ah, biasa aja Mbak. Saya jadi berpikir, kenapa ya Bali hanya jadi objek
trus diranking-ranking segala. Atau mungkin hanya akal-akalan aja, biar banyak
turis dan modal asing yang lari ke pulau ini”. Nampaknya, tanggapan saya
nyeleneh. Saya pun menyadari demikian, setelah selesai mengomentarinya.
Demikian juga si-penanya. Diam, tak melanjutkan pertanyaan lanjutan.
Tapi saya akan mencoba melanjutkan maksud reaksi spontan
saya itu. Bali memang juaranya. Tak kurang dari empat media internasional
menyebut-nyebut Bali masuk dalam kategori 10 pulau terbaik di dunia. Sebut saja US News, sebuah perusahaan yang
kerjaannya merangking apapun yang dianggap perlu dan penting. Ia meletakkan
Bali di posisi ke-4 dalam “Best Islands
in the World” di bawah Pulau Santorini (Yunani), Bora-bora (Polinesia,
Prancis), dan St. Martin (Kepulauan Karibia). Pada tanggal 19 Oktober 2015,
giliran Conde Nast Traveler mengumumkan dua-puluh jajaran pulau terbaik dunia
berdasarkan penilaian dari para pembacanya. Dan Bali, lagi-lagi masuk di
jajaran itu. Para pembacanya meletakkan Bali di posisi ke-8 dengan ikon foto
Pura Ulun Danu Beratan dan overall rating
sebanyak 82.330. Sementara itu, Trip Advisor juga tak mau kalah dengan memajang
Traveler’s Choice Island 2015. Ia justru menempatkan Bali di posisi ke-7, menyebut
Bali sebagai surga dengan ikon Pura Ulun Danu Beratan-nya. Dan, yang paling
menghebohkan dan dielu-elukan adalah versi majalah Travel+Leisure. Bali menduduki posisi ke-2 setelah Kepulauan
Galapagos yang terkenal akan singa laut yang berjemur seksi di pantainya. Katanya,
Bali dipilih karena sarat dengan tradisi seni-budaya dan seremoni khasnya yang penuh
mistis, rice paddies alias hamparan
sawah hijau dengan sanggah cucuk yang indah menari, pura-pura klasik Hindu
(Besakih, Tanah Lot, Beratan, Uluwatu, dan sebagainya), termasuk pantai dengan
segala jenis pasir dengan para turis yang berjemur, bukan singa laut. Intinya,
Bali adalah juaranya. Siapapun jurinya, apapun ajangnya, siapapun pembacanya,
siapapun travelernya, mereka selalu mempercayai eksotika Bali dalam jajaran
pulau-pulau terbaik dunia.
Saya juga turut bangga karena tidak satupun pulau-pulau
buatan hasil reklamasi yang berdiri gagah di deretan pulau-pulau yang sepuluh
atau dua-puluh besar. Palm Island (Dubai, Uni Emirat Arab) yang disebut-sebut
sebagai proyek reklamasi tanah terbesar di dunia dengan eksotika yang dibangga-banggakan,
sama sekali tidak mejeng di empat kompetisi tadi. Saya juga tidak melihat
Sentosa Island, sebuah pulau destinasi wisata di Singapura yang terkenal akan
Universal Studio, kereta gantung, dan sederet fasilitas modern lainnya. Sebuah
pulau hasil reklamasi, yang konon katanya menyedot pasir Pulau Nipah (Kepulauan
Riau), dan sedihnya para banyak penduduk Indonesia yang berbangga hati berwisata
di tanah yang dibangun dari pasir negerinya. Beruntung, pulau ini juga tidak
nampak di jajaran pulau terbaik dunia versi manapun.
Kemudian, pertanyaan saya sangat sederhana: mengapa
masih ada (sekumpulan) manusia yang ‘kekeh’ dengan rencana reklamasi di Teluk
Benoa - Bali, padahal jelas-jelas tak satu pun pulau buatan reklamasi yang
dicontohnya mendapat predikat keindahan sebagai pulau terbaik di dunia?
. . .
Kebetulan, akhir-akhir ini saya menyempatkan diri untuk
menyentuh koran-koran sisa bacaan dari atasan saya di kantor. Bisnis Indonesia,
itulah korannya. Koran yang hampir seutuhnya menyajikan fakta-fakta ekonomi
negeri ini, mulai dari ekonomi sektor riil, fiskal, maupun moneter. Sudahlah.
Dari sekian fakta yang disajikan, saya hanya tertarik pada sudut pandang
ekonomi pembangunan. Simpelnya, ekonomi yang berbicara tentang sejauh mana keputusan-keputusan
ekonomi berpihak pada kesejahteraan. Begitu pemahaman bodoh saya. Sampai
akhirnya saya menemukan dua artikel koran yang menurut saya, relevan untuk
bersinggungan dengan materi ini.
Pertama, “Penanaman Modal: Realisasi di Bali Melonjak
689%”. Sepanjang Januari hingga Nopember 2015, Bali sudah kecipratan modal dari
asing dan domestik sejumlah 22,9 triliun rupiah dan meroket 689% dibandingkan
kondisi tahun lalu yang hanya mencapai 2,9 triliun rupiah. Begitulah judul dan
gambaran headline yang terpampang. Setelah membacanya, muncul pertanyaan besar
di kepala saya: Ada apa ya di Bali, kok bisa
meroketnya setinggi itu? Akan ada proyek besar apa ya di Bali? Saya membaca
lagi, menemukan jawaban tapi tidak cukup memuaskan. Pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) mulai 31 Desember 2015, menjadi penyebab investor merealisasikan
proyeknya agar segera dapat beroperasi. Apakah benar-benar hanya karena MEA? Sayangnya,
rasa penasaran saya tidak dijawab lagi di kalimat-kalimat berikutnya.
Saya lalu menemukan komposisi lucu dari angka 22,9
triliun rupiah yang digelontorkan investor untuk membangun di Bali. Sekali
lagi, membangun di Bali, bukan membangun Bali. Kenapa? Karena hampir 99% dana
digelontorkan untuk sektor tersier (22,8 triliun rupiah). Sedangkan, sisanya
untuk sektor sekunder (165,3 miliar rupiah) dan sektor primer (21,7 miliar
rupiah). Sektor tersier terdiri dari sektor jasa-jasa mulai dari perdagangan
dan reparasi, transportasi, perhotelan, dan restoran. Dari rincian ini, dijelaskan
bahwa porsi 16 triliun digunakan di bidang perdagangan dan reparasi atau
sekitar 4.124 proyek, sedangkan 5 triliun untuk hotel dan restoran atau sekitar
660 proyek. Sedangkan dari sektor primer yang tiada lain adalah pertanian hanya
mendapatkan porsi mini. Sektor ini tak seksi lagi di mata para pemodal. Iya, tidak
semenawan karyawan hotel dan restoran. Singkat kata, petani Bali masih kurang
diperhatikan, terutama dari sisi permodalan. Maka, tidaklah mengherankan jika
kian massif-nya alih fungsi lahan di Bali. Tidak mengejutkan juga, Pak Prof.
Windia memaparkan risetnya, bahwa telah terjadi alih fungsi lahan pertanian
basah mencapai 1000 hektar per tahunnya. Sawah di Bali tidak lagi ditanami
padi, diganti dengan beton. Subak-subak di daerah objek vital, semakin
termarjinalkan.
Namun, ada yang tidak mengherankan lagi: lokasi modal
itu ditanam. Kota Denpasar mendapat porsi terbanyak, senilai 15,1 triliun dan
Kabupaten Badung senilai 5,2 triliun rupiah. Dua daerah ini sangat cukup
mewakili wilayah Bali Selatan yang sangat gencar akan pembangunannya. Sedangkan
di Bali Timur (Karangasem), Bali Barat (Jembrana), dan Bali Utara (Buleleng)
masih terseok-seok. Artinya, Bali akan kian berat sebelah, ketimpangan spasial
akan semakin menjadi-jadi, arus urbanisasi termasuk dari luar Bali akan menjejali
diri di Bali Selatan, dan muncul sederet ketidakberpihakan lainnya yang diteriakkan
daerah yang tidak mau disentuh oleh pembangunan itu.
Saya yang tinggal di Bali Selatan sendiri sangat
merasakan kondisi ini. Sewaktu SD, saya mengayuh sepeda ke sekolah, setiap
harinya ditertawai barisan padi hijau di sebelah kiri dan kanan jalan. Sepuluh
tahun berselang, pemandangan itu tak nampak lagi. Barisan padi digantikan dengan
barisan ruko, yang tertawa mungkin pemilik ruko itu. Kucuran air sawah
tergantikan bau busuk got yang tergenang. Dan, jangkrik enggan bernyanyi ketika
malam, ia silau akan gemerlapan lampu di sepanjang jalan menuju SD saya. Kondisi
yang sangat berbeda, saya rasakan ketika menjenguk rumah saudara di Negara –
Jembrana, berbeda ketika saya jalan-jalan ke daerah Karangasem, dan berbeda
ketika saya sempat bersekolah sebentar di Singaraja, Buleleng. Magnet
daerah-daerah ini tidak sekuat Badung dan Denpasar. Pembangunan terlalu fokus
di Bali Selatan.
Kedua, berita yang judulnya “Hotel Bintang di Bali: 130
Proyek Akan Pasok 20.546 Kamar”. Konsultan Properti PT Collier International
Indonesia menyebut akan ada tambahan pasokan kamar hotel sebanyak 20.546 kamar
hingga 2019. Wow! Angka ini naik 39 persen dari jumlah kamar hotel di Bali saat
ini. Pasokan paling besar disumbang oleh hotel bintang empat dengan pangsa
45,61% atau 9.350 kamar dan hotel bintang lima dengan pangsa 38,84% atau 8.121
kamar. Padahal, okupansi alias tingkat keterisian kamar hotel di Bali saat ini hanya
berkisar 60% dan mempunyai tren yang menurun. Dikarenakan over supplai,
kelebihan kamar. Peningkatan turis, tak sebanding dengan peningkatan jumlah
akomodasi yang disediakan. Imbasnya, terjadi perang tarif. Imbas berikutnya, akan
ada penurunan ongkos produksi. Imbas berikutnya lagi, penghasilan karyawan dikurangi.
Tetapi miris, pembangunan hotel terus berlangsung. Tanpa moratorium.
Colliers juga menyebutkan bahwa pembangunan yang pesat
di Bali Selatan turut mendongkrak jumlah hotel di wilayah ini. Salah satunya
adalah pembangunan jalan tol Bali Mandara yang menghubungkan Pelabuhan Benoa,
Bandara Ngurah Rai, dan kawasan Nusa Dua. Kondisi inilah yang juga memancing PT
MNC Land Tbk. (KPIG) untuk mengembangkan sebuah resor mewah di Bali dengan
lahan seluas 130 hektar. Bahkan, tak bisa dielakkan, perusahaan raksasa ini
akan menggandeng perusahaan raksasa impor: The Trump Organization, grup property
milik Pak Trump yang akan mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di Amerika
Serikat sana. Gandengan ini menegaskan untuk mengubah definisi wisata mewah ke
level yang belum pernah ada di Asia. Dan ini dilakukan di Bali. Bali Selatan
tepatnya. Di sepanjang jalanan sekolah teman-teman saya di daerah Beraban (Tanah
Lot), mungkin. Akhirnya, saya tidak habis pikir. Rupa-rupanya infrastruktur
sengaja disiapkan untuk kepentingan bisnis yang jauh lebih besar di depan mata.
Seperti tol Bali Mandara yang memang sengaja disiapkan untuk memuluskan rencana
pembangunan pulau akal-akalan di Teluk Benoa.
Jadi, juara atau petaka?
Saya teringat akan kata-kata Pak R. Fox. Yang selalu
menjadi opening tulisan saya tentang Bali dulu sewaktu SMA: “Tourism is like fire: it’s can cook your
food, but can burn your house down”. Rangkaian
kata gagah ini selalu mengingatkan saya, kalau pariwisata selalu mempunyai dua
sisi yang tak dapat dibantah, sisi positif dan negatif. Bali sudah sangat terkenal
di belahan bumi manapun. Dari berbagai sudut penilaian, Bali selalu mendapat
tempat. Tapi, saya meyakini Bali tidak pernah menginginkan dirinya dinilai
seperti itu. Seperti kata Pak Patut, Ketua KNP Karya Segara Serangan: “juara,
prestasi, piala, dan sejenisnya adalah bonus, yang paling berat adalah bagaimana
menjaga kepercayaan itu”. Tugas saya, rekan-rekan muda beda dan berbahaya
adalah sama: menjaga kepercayaan yang diberikan leluhur dan masyarakat semesta
akan Bali di masa depan. Pilihan selalu ada. Bali itu dikenal karena eksotika
alam, seni, dan kutur masyarakatnya. Bukan hotel bintang lima, bukan sarana
wisata dengan definisi mewah yang belum ada di Asia, bukan tol Bali Mandara
yang katanya tol laut pertama di Indonesia, dan tidak mungkin dengan rencana
pulau hasil reklamasi Teluk Benoa. Maka, adalah petaka jika yang bukan-bukan ini
kita jaga dan pertahankan.
tulisan yang bagus dan tetap selalu kritis yus.
BalasHapusMakasi Bro Surya, kan dulu belajar dari dirimu.
BalasHapusIjin share, sangat bagus
BalasHapusMakasi Bli Made Gargita. Silahkan, dengan senang hati. Salam kenal juga nggih.
BalasHapus