BALI, JUARA ATAU PETAKA?

08.37 Putu Dharma Yusa 4 Comments


Masih belum lupa di ingatan. Beberapa hari yang lalu, banyak beredar berita yang tidak begitu mencengangkan: Pulau Bali kembali bertengger di jajaran pulau-pulau terbaik dunia. Pertama kali saya mendengar kabar ini dari televisi. Sontak dikejutkan oleh komentar rekan kerja saya: “… tuh Yus, Bali dapet gelar pulau terbaik kedua di dunia”. Saya yang awalnya fokus pada lembar kerja di monitor, memalingkan muka sebentar ke televise, dan diakhiri dengan menengok ke arah suara tadi. Menghela nafas, berpikir sejenak. “Ah, biasa aja Mbak. Saya jadi berpikir, kenapa ya Bali hanya jadi objek trus diranking-ranking segala. Atau mungkin hanya akal-akalan aja, biar banyak turis dan modal asing yang lari ke pulau ini”. Nampaknya, tanggapan saya nyeleneh. Saya pun menyadari demikian, setelah selesai mengomentarinya. Demikian juga si-penanya. Diam, tak melanjutkan pertanyaan lanjutan.

Tapi saya akan mencoba melanjutkan maksud reaksi spontan saya itu. Bali memang juaranya. Tak kurang dari empat media internasional menyebut-nyebut Bali masuk dalam kategori 10 pulau terbaik di dunia.  Sebut saja US News, sebuah perusahaan yang kerjaannya merangking apapun yang dianggap perlu dan penting. Ia meletakkan Bali di posisi ke-4 dalam “Best Islands in the World” di bawah Pulau Santorini (Yunani), Bora-bora (Polinesia, Prancis), dan St. Martin (Kepulauan Karibia). Pada tanggal 19 Oktober 2015, giliran Conde Nast Traveler mengumumkan dua-puluh jajaran pulau terbaik dunia berdasarkan penilaian dari para pembacanya. Dan Bali, lagi-lagi masuk di jajaran itu. Para pembacanya meletakkan Bali di posisi ke-8 dengan ikon foto Pura Ulun Danu Beratan dan overall rating sebanyak 82.330. Sementara itu, Trip Advisor juga tak mau kalah dengan memajang Traveler’s Choice Island 2015. Ia justru menempatkan Bali di posisi ke-7, menyebut Bali sebagai surga dengan ikon Pura Ulun Danu Beratan-nya. Dan, yang paling menghebohkan dan dielu-elukan adalah versi majalah Travel+Leisure.  Bali menduduki posisi ke-2 setelah Kepulauan Galapagos yang terkenal akan singa laut yang berjemur seksi di pantainya. Katanya, Bali dipilih karena sarat dengan tradisi seni-budaya dan seremoni khasnya yang penuh mistis, rice paddies alias hamparan sawah hijau dengan sanggah cucuk yang indah menari, pura-pura klasik Hindu (Besakih, Tanah Lot, Beratan, Uluwatu, dan sebagainya), termasuk pantai dengan segala jenis pasir dengan para turis yang berjemur, bukan singa laut. Intinya, Bali adalah juaranya. Siapapun jurinya, apapun ajangnya, siapapun pembacanya, siapapun travelernya, mereka selalu mempercayai eksotika Bali dalam jajaran pulau-pulau terbaik dunia.

Saya juga turut bangga karena tidak satupun pulau-pulau buatan hasil reklamasi yang berdiri gagah di deretan pulau-pulau yang sepuluh atau dua-puluh besar. Palm Island (Dubai, Uni Emirat Arab) yang disebut-sebut sebagai proyek reklamasi tanah terbesar di dunia dengan eksotika yang dibangga-banggakan, sama sekali tidak mejeng di empat kompetisi tadi. Saya juga tidak melihat Sentosa Island, sebuah pulau destinasi wisata di Singapura yang terkenal akan Universal Studio, kereta gantung, dan sederet fasilitas modern lainnya. Sebuah pulau hasil reklamasi, yang konon katanya menyedot pasir Pulau Nipah (Kepulauan Riau), dan sedihnya para banyak penduduk Indonesia yang berbangga hati berwisata di tanah yang dibangun dari pasir negerinya. Beruntung, pulau ini juga tidak nampak di jajaran pulau terbaik dunia versi manapun.

Kemudian, pertanyaan saya sangat sederhana: mengapa masih ada (sekumpulan) manusia yang ‘kekeh’ dengan rencana reklamasi di Teluk Benoa - Bali, padahal jelas-jelas tak satu pun pulau buatan reklamasi yang dicontohnya mendapat predikat keindahan sebagai pulau terbaik di dunia?

. . .

Kebetulan, akhir-akhir ini saya menyempatkan diri untuk menyentuh koran-koran sisa bacaan dari atasan saya di kantor. Bisnis Indonesia, itulah korannya. Koran yang hampir seutuhnya menyajikan fakta-fakta ekonomi negeri ini, mulai dari ekonomi sektor riil, fiskal, maupun moneter. Sudahlah. Dari sekian fakta yang disajikan, saya hanya tertarik pada sudut pandang ekonomi pembangunan. Simpelnya, ekonomi yang berbicara tentang sejauh mana keputusan-keputusan ekonomi berpihak pada kesejahteraan. Begitu pemahaman bodoh saya. Sampai akhirnya saya menemukan dua artikel koran yang menurut saya, relevan untuk bersinggungan dengan materi ini.

Pertama, “Penanaman Modal: Realisasi di Bali Melonjak 689%”. Sepanjang Januari hingga Nopember 2015, Bali sudah kecipratan modal dari asing dan domestik sejumlah 22,9 triliun rupiah dan meroket 689% dibandingkan kondisi tahun lalu yang hanya mencapai 2,9 triliun rupiah. Begitulah judul dan gambaran headline yang terpampang. Setelah membacanya, muncul pertanyaan besar di kepala saya: Ada apa ya di Bali, kok bisa meroketnya setinggi itu? Akan ada proyek besar apa ya di Bali? Saya membaca lagi, menemukan jawaban tapi tidak cukup memuaskan. Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai 31 Desember 2015, menjadi penyebab investor merealisasikan proyeknya agar segera dapat beroperasi. Apakah benar-benar hanya karena MEA? Sayangnya, rasa penasaran saya tidak dijawab lagi di kalimat-kalimat berikutnya.

Saya lalu menemukan komposisi lucu dari angka 22,9 triliun rupiah yang digelontorkan investor untuk membangun di Bali. Sekali lagi, membangun di Bali, bukan membangun Bali. Kenapa? Karena hampir 99% dana digelontorkan untuk sektor tersier (22,8 triliun rupiah). Sedangkan, sisanya untuk sektor sekunder (165,3 miliar rupiah) dan sektor primer (21,7 miliar rupiah). Sektor tersier terdiri dari sektor jasa-jasa mulai dari perdagangan dan reparasi, transportasi, perhotelan, dan restoran. Dari rincian ini, dijelaskan bahwa porsi 16 triliun digunakan di bidang perdagangan dan reparasi atau sekitar 4.124 proyek, sedangkan 5 triliun untuk hotel dan restoran atau sekitar 660 proyek. Sedangkan dari sektor primer yang tiada lain adalah pertanian hanya mendapatkan porsi mini. Sektor ini tak seksi lagi di mata para pemodal. Iya, tidak semenawan karyawan hotel dan restoran. Singkat kata, petani Bali masih kurang diperhatikan, terutama dari sisi permodalan. Maka, tidaklah mengherankan jika kian massif-nya alih fungsi lahan di Bali. Tidak mengejutkan juga, Pak Prof. Windia memaparkan risetnya, bahwa telah terjadi alih fungsi lahan pertanian basah mencapai 1000 hektar per tahunnya. Sawah di Bali tidak lagi ditanami padi, diganti dengan beton. Subak-subak di daerah objek vital, semakin termarjinalkan.

Namun, ada yang tidak mengherankan lagi: lokasi modal itu ditanam. Kota Denpasar mendapat porsi terbanyak, senilai 15,1 triliun dan Kabupaten Badung senilai 5,2 triliun rupiah. Dua daerah ini sangat cukup mewakili wilayah Bali Selatan yang sangat gencar akan pembangunannya. Sedangkan di Bali Timur (Karangasem), Bali Barat (Jembrana), dan Bali Utara (Buleleng) masih terseok-seok. Artinya, Bali akan kian berat sebelah, ketimpangan spasial akan semakin menjadi-jadi, arus urbanisasi termasuk dari luar Bali akan menjejali diri di Bali Selatan, dan muncul sederet ketidakberpihakan lainnya yang diteriakkan daerah yang tidak mau disentuh oleh pembangunan itu.

Saya yang tinggal di Bali Selatan sendiri sangat merasakan kondisi ini. Sewaktu SD, saya mengayuh sepeda ke sekolah, setiap harinya ditertawai barisan padi hijau di sebelah kiri dan kanan jalan. Sepuluh tahun berselang, pemandangan itu tak nampak lagi. Barisan padi digantikan dengan barisan ruko, yang tertawa mungkin pemilik ruko itu. Kucuran air sawah tergantikan bau busuk got yang tergenang. Dan, jangkrik enggan bernyanyi ketika malam, ia silau akan gemerlapan lampu di sepanjang jalan menuju SD saya. Kondisi yang sangat berbeda, saya rasakan ketika menjenguk rumah saudara di Negara – Jembrana, berbeda ketika saya jalan-jalan ke daerah Karangasem, dan berbeda ketika saya sempat bersekolah sebentar di Singaraja, Buleleng. Magnet daerah-daerah ini tidak sekuat Badung dan Denpasar. Pembangunan terlalu fokus di Bali Selatan.

Kedua, berita yang judulnya “Hotel Bintang di Bali: 130 Proyek Akan Pasok 20.546 Kamar”. Konsultan Properti PT Collier International Indonesia menyebut akan ada tambahan pasokan kamar hotel sebanyak 20.546 kamar hingga 2019. Wow! Angka ini naik 39 persen dari jumlah kamar hotel di Bali saat ini. Pasokan paling besar disumbang oleh hotel bintang empat dengan pangsa 45,61% atau 9.350 kamar dan hotel bintang lima dengan pangsa 38,84% atau 8.121 kamar. Padahal, okupansi alias tingkat keterisian kamar hotel di Bali saat ini hanya berkisar 60% dan mempunyai tren yang menurun. Dikarenakan over supplai, kelebihan kamar. Peningkatan turis, tak sebanding dengan peningkatan jumlah akomodasi yang disediakan. Imbasnya, terjadi perang tarif. Imbas berikutnya, akan ada penurunan ongkos produksi. Imbas berikutnya lagi, penghasilan karyawan dikurangi. Tetapi miris, pembangunan hotel terus berlangsung. Tanpa moratorium.

Colliers juga menyebutkan bahwa pembangunan yang pesat di Bali Selatan turut mendongkrak jumlah hotel di wilayah ini. Salah satunya adalah pembangunan jalan tol Bali Mandara yang menghubungkan Pelabuhan Benoa, Bandara Ngurah Rai, dan kawasan Nusa Dua. Kondisi inilah yang juga memancing PT MNC Land Tbk. (KPIG) untuk mengembangkan sebuah resor mewah di Bali dengan lahan seluas 130 hektar. Bahkan, tak bisa dielakkan, perusahaan raksasa ini akan menggandeng perusahaan raksasa impor: The Trump Organization, grup property milik Pak Trump yang akan mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat sana. Gandengan ini menegaskan untuk mengubah definisi wisata mewah ke level yang belum pernah ada di Asia. Dan ini dilakukan di Bali. Bali Selatan tepatnya. Di sepanjang jalanan sekolah teman-teman saya di daerah Beraban (Tanah Lot), mungkin. Akhirnya, saya tidak habis pikir. Rupa-rupanya infrastruktur sengaja disiapkan untuk kepentingan bisnis yang jauh lebih besar di depan mata. Seperti tol Bali Mandara yang memang sengaja disiapkan untuk memuluskan rencana pembangunan pulau akal-akalan di Teluk Benoa.

Jadi, juara atau petaka?

Saya teringat akan kata-kata Pak R. Fox. Yang selalu menjadi opening tulisan saya tentang Bali dulu sewaktu SMA: “Tourism is like fire: it’s can cook your food, but can burn your house down. Rangkaian kata gagah ini selalu mengingatkan saya, kalau pariwisata selalu mempunyai dua sisi yang tak dapat dibantah, sisi positif dan negatif. Bali sudah sangat terkenal di belahan bumi manapun. Dari berbagai sudut penilaian, Bali selalu mendapat tempat. Tapi, saya meyakini Bali tidak pernah menginginkan dirinya dinilai seperti itu. Seperti kata Pak Patut, Ketua KNP Karya Segara Serangan: “juara, prestasi, piala, dan sejenisnya adalah bonus, yang paling berat adalah bagaimana menjaga kepercayaan itu”. Tugas saya, rekan-rekan muda beda dan berbahaya adalah sama: menjaga kepercayaan yang diberikan leluhur dan masyarakat semesta akan Bali di masa depan. Pilihan selalu ada. Bali itu dikenal karena eksotika alam, seni, dan kutur masyarakatnya. Bukan hotel bintang lima, bukan sarana wisata dengan definisi mewah yang belum ada di Asia, bukan tol Bali Mandara yang katanya tol laut pertama di Indonesia, dan tidak mungkin dengan rencana pulau hasil reklamasi Teluk Benoa. Maka, adalah petaka jika yang bukan-bukan ini kita jaga dan pertahankan.


4 komentar: