A HALF TO CHANGE
Pagi hari seperti tak ada sesuatu
yang istimewa: bangun tidur, mandi, berias diri, dan berangkat ke kantor.
Begitu saja. Paling-paling kalau dirasa macet, berangkatnya menjadi lebih pagi.
Paling-paling kalau terlambat bangun, berangkatnya menjadi lebih siang. Hampir
tak ada perubahan ekstrim melebihi dua kondisi ini. Begitu saja. Berulang-ulang.
Seperti manusia robot yang telah terpasang chip
berlabel: rutinitas.
Itu aku. Anak muda yang usianya
belum genap 25 tahun, status masih lajang, dan bekerja di kantor pemerintahan
yang sedang gencar-gencarnya membumikan perubahan. Reformasi birokrasi, doktrin
baru yang diprogram di chip, yang
mengubah cara berpikir dan bekerja robot tadi menjadi jauh lebih mangkus dan
sangkil. Aku dan semua manusia di dalamnya tanpa kecuali diharuskan menjadi
partisipan aktif untuk menggaungkan dan mempraktikkan gerakan ini. Demi? Demi
nama baik instansi. Dan? Dan, penghasilan yang lebih baik.
Aku tidak kolot, juga tidak anti
perubahan. Tapi berlari melesat untuk mengejar air, menurutku kurang tepat. Berlari
harus disadari sebagai usaha untuk memperkuat otot diri. Maka perubahan adalah sesuatu
yang bersifat inklusif, tidak hanya sistemik, dan bukan materialis. Menyusun
ulang puzzle-puzzle rutinitas, apalagi
di birokrasi, memang sangat personal dan pilihan praktiknya dapat dilakukan di
tingkat individu masing-masing, termasuk aku.
Belajar membaca dan menaruh diri
yang akhirnya aku pilih. Rutinitas dan pekerjaan diletakkan di pundak kanan. Hobi
dan passion dibebankan di pundak
kiri. Aktivitas seni gamelan, menulis blog, memainkan kamera, berbagi di
komunitas peduli pendidikan, menggerakkan aktivitisme di sosial media, menonton
teater dan film, membaca roman klasik, mendengarkan musik dan radio, rasanya seperti
menghias kanvas putih dengan tinta warna-warni. Indah dan menyeimbangkan. Setidaknya
perubahan ini yang aku coba lakukan. Dan kini, bangun pagi mulai dihiasi candaan
“Semangat Pagi” Kemal-TJ dan perjalanan ke kantor diiringi lagu band indie Nosstress
yang berjudul “Mengawali Hari”.
Pagi telah datang, semua siap hadapi dunia
Pagi yang datang haruskan kita untuk berpikir
Pikirkan burukmu, pikirkan sifatmu, pikirkan sekitarmu
Baru kau mulai langkahmu…
Tapi ini hari Sabtu, aku bisa bangun
sedikit lebih siang. Lirik lagu itu tetap berdendang di speaker kecil di kamar yang tak kalah kecilnya. Aku pun sudah siap
dengan pekerjaan domestik, yang sudah menunggu lima hari lamanya: cucian, beres-beres
kamar, merapikan isi lemari, jemur kasur, dan sejenisnya. Mungkin, sebagian
orang memandangnya sebagai beban, rutinitas mingguan yang membosankan. Mungkin.
Tapi buatku, pekerjaan seperti ini adalah bagian dari perubahan mikro yang
terjadi secara berkala. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan ketika melihat cucian
telah dijemur, baju-baju yang telah tertidur rapi di lemari, dan tata kamar
yang kembali seperti asalnya. Seperti energi baru yang membebaskan anak muda
untuk bersantai di akhir pekan.
Di bawah pohon rindang di sebuah
taman kecil RT 08 RW 01 Manggarai, aku duduk santai memangku Farel (5 tahun) yang
sedang mengeja kata dari buku cerita tipis yang dipegangnya. Di sekelilingnya,
masih banyak anak-anak Manggarai yang belajar bersama kakak-kakak relawan
lainnya di Komunitas Jendela Jakarta. Tiap akhir pekan, cukup banyak memang anak
muda yang menyisihkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk berbagi. Apapun itu:
ilmu, skill, hobi, bahkan materi. Semuanya datang dengan menggendong misi yang
sama, kepedulian sosial akan pendidikan anak-anak yang termarjinalkan secara
ekonomi.
Aku pun demikian. Pikirku, totalitas
perubahan suatu bangsa dimulai dari manusianya, dan mengubah mental manusia dilakukan
melalui pendidikan, dan pendidikan bermula dari minat untuk membaca atau
menyukai buku, sejak dini. Atau lebih jujurnya, aku tidak elok berdiam diri
ketika membaca angka expected years of
schooling dan angka melek huruf yang diproduksi dari kantorku sendiri,
masih cukup memprihatinkan. Aksi ini hanyalah sebuah perubahan simpel, daripada
aku sekadar menuliskan subbab saran atau rekomendasi di akhir publikasi.
Maka, rutinitas yang disimpul dengan
hobi dan disambung dengan aksi sosial, bagiku seperti benang hidup yang utuh. Aku
hanya butuh jarum bermerk keberanian untuk mengaitkan. Dan perubahan akan
selalu ada ketika aku asyik menenunnya, juga akan menimbulkan motif warna yang
indah. Butuh waktu memang, untuk menjadikannya sekadar saputangan yang
berukuran segiempat sama sisi. Saputangan yang akan mengusap keringat ketika
macet di jalan ke kantor, saputangan yang akan mengelap kaca di jendela kamar,
dan saputangan yang akan menghapus debu di buku anak-anak Manggarai. Tapi
sayang, saputanganku belum jadi betul: masih separuh.
Dari bangku
kantor yang masih akan berubah,
Putu Dharma
Yusa.
Hidup mu terlihat begitu menarik, dengan smua rutinitas yg kmu lakukan. Andai aku bisa seperti itu
BalasHapusSemangat anak muda...mantap
BalasHapusTerima kasih Emmy & Bang Ferdi, salam muda berbahaya. Tetaplah berjalan di jalan mimpi.
BalasHapus