A HALF TO CHANGE

17.42 Putu Dharma Yusa 3 Comments


Pagi hari seperti tak ada sesuatu yang istimewa: bangun tidur, mandi, berias diri, dan berangkat ke kantor. Begitu saja. Paling-paling kalau dirasa macet, berangkatnya menjadi lebih pagi. Paling-paling kalau terlambat bangun, berangkatnya menjadi lebih siang. Hampir tak ada perubahan ekstrim melebihi dua kondisi ini. Begitu saja. Berulang-ulang. Seperti manusia robot yang telah terpasang chip berlabel: rutinitas.

Itu aku. Anak muda yang usianya belum genap 25 tahun, status masih lajang, dan bekerja di kantor pemerintahan yang sedang gencar-gencarnya membumikan perubahan. Reformasi birokrasi, doktrin baru yang diprogram di chip, yang mengubah cara berpikir dan bekerja robot tadi menjadi jauh lebih mangkus dan sangkil. Aku dan semua manusia di dalamnya tanpa kecuali diharuskan menjadi partisipan aktif untuk menggaungkan dan mempraktikkan gerakan ini. Demi? Demi nama baik instansi. Dan? Dan, penghasilan yang lebih baik.

Aku tidak kolot, juga tidak anti perubahan. Tapi berlari melesat untuk mengejar air, menurutku kurang tepat. Berlari harus disadari sebagai usaha untuk memperkuat otot diri. Maka perubahan adalah sesuatu yang bersifat inklusif, tidak hanya sistemik, dan bukan materialis. Menyusun ulang puzzle-puzzle rutinitas, apalagi di birokrasi, memang sangat personal dan pilihan praktiknya dapat dilakukan di tingkat individu masing-masing, termasuk aku.

Belajar membaca dan menaruh diri yang akhirnya aku pilih. Rutinitas dan pekerjaan diletakkan di pundak kanan. Hobi dan passion dibebankan di pundak kiri. Aktivitas seni gamelan, menulis blog, memainkan kamera, berbagi di komunitas peduli pendidikan, menggerakkan aktivitisme di sosial media, menonton teater dan film, membaca roman klasik, mendengarkan musik dan radio, rasanya seperti menghias kanvas putih dengan tinta warna-warni. Indah dan menyeimbangkan. Setidaknya perubahan ini yang aku coba lakukan. Dan kini, bangun pagi mulai dihiasi candaan “Semangat Pagi” Kemal-TJ dan perjalanan ke kantor diiringi lagu band indie Nosstress yang berjudul “Mengawali Hari”.

Pagi telah datang, semua siap hadapi dunia
Pagi yang datang haruskan kita untuk berpikir
Pikirkan burukmu, pikirkan sifatmu, pikirkan sekitarmu
Baru kau mulai langkahmu…

Tapi ini hari Sabtu, aku bisa bangun sedikit lebih siang. Lirik lagu itu tetap berdendang di speaker kecil di kamar yang tak kalah kecilnya. Aku pun sudah siap dengan pekerjaan domestik, yang sudah menunggu lima hari lamanya: cucian, beres-beres kamar, merapikan isi lemari, jemur kasur, dan sejenisnya. Mungkin, sebagian orang memandangnya sebagai beban, rutinitas mingguan yang membosankan. Mungkin. Tapi buatku, pekerjaan seperti ini adalah bagian dari perubahan mikro yang terjadi secara berkala. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan ketika melihat cucian telah dijemur, baju-baju yang telah tertidur rapi di lemari, dan tata kamar yang kembali seperti asalnya. Seperti energi baru yang membebaskan anak muda untuk bersantai di akhir pekan.

Di bawah pohon rindang di sebuah taman kecil RT 08 RW 01 Manggarai, aku duduk santai memangku Farel (5 tahun) yang sedang mengeja kata dari buku cerita tipis yang dipegangnya. Di sekelilingnya, masih banyak anak-anak Manggarai yang belajar bersama kakak-kakak relawan lainnya di Komunitas Jendela Jakarta. Tiap akhir pekan, cukup banyak memang anak muda yang menyisihkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk berbagi. Apapun itu: ilmu, skill, hobi, bahkan materi. Semuanya datang dengan menggendong misi yang sama, kepedulian sosial akan pendidikan anak-anak yang termarjinalkan secara ekonomi.

Aku pun demikian. Pikirku, totalitas perubahan suatu bangsa dimulai dari manusianya, dan mengubah mental manusia dilakukan melalui pendidikan, dan pendidikan bermula dari minat untuk membaca atau menyukai buku, sejak dini. Atau lebih jujurnya, aku tidak elok berdiam diri ketika membaca angka expected years of schooling dan angka melek huruf yang diproduksi dari kantorku sendiri, masih cukup memprihatinkan. Aksi ini hanyalah sebuah perubahan simpel, daripada aku sekadar menuliskan subbab saran atau rekomendasi di akhir publikasi.

Maka, rutinitas yang disimpul dengan hobi dan disambung dengan aksi sosial, bagiku seperti benang hidup yang utuh. Aku hanya butuh jarum bermerk keberanian untuk mengaitkan. Dan perubahan akan selalu ada ketika aku asyik menenunnya, juga akan menimbulkan motif warna yang indah. Butuh waktu memang, untuk menjadikannya sekadar saputangan yang berukuran segiempat sama sisi. Saputangan yang akan mengusap keringat ketika macet di jalan ke kantor, saputangan yang akan mengelap kaca di jendela kamar, dan saputangan yang akan menghapus debu di buku anak-anak Manggarai. Tapi sayang, saputanganku belum jadi betul: masih separuh.

Dari bangku kantor yang masih akan berubah,
Putu Dharma Yusa.


3 komentar:

  1. Hidup mu terlihat begitu menarik, dengan smua rutinitas yg kmu lakukan. Andai aku bisa seperti itu

    BalasHapus
  2. Terima kasih Emmy & Bang Ferdi, salam muda berbahaya. Tetaplah berjalan di jalan mimpi.

    BalasHapus