#KAMITIDAKTAKUT : MELAWAN TEROR DUA LAPIS
Jakarta, kamis lalu, diguncang dan dihantui dua aksi
teror sekaligus. Di dua dunia secara bersamaan. Yang pertama, jelas, aksi
brutal penuh pamer dari para teroris yang meledakkan bom sekelas granat, lalu berlanjut
dengan aksi tembak-menembak dengan aparat kepolisian. Bak proses shooting film action, aksi mereka ini ditonton ribuan
warga yang dihantui rasa penasaran. Inilah teror di dunia nyata. Yang kedua, terjadi
di dunia maya lewat media sosial. Dalam hitungan menit, saya dan jutaan orang
lainnya kebanjiran informasi yang hilir-mudik di grup Whatsapp, Blackberry
Mesengger, Line, Facebook, Twitter, Instagram dan
seretetan media sosial lainnya. Jujur, saya lebih takut pada aksi teror yang
kedua ini.
Tanpa bermaksud mengkerdilkan aksi teror yang pertama
(di dunia nyata), berikut rasa simpati saya kepada korban sipil dan anggota
kepolisian dan rasa muak saya dengan peneror, dampak media sosial bagi saya
sangat signifikan menyebarkan rasa takut secara merata ke seluruh Jakarta,
bahkan hingga ke seluruh pelosok negeri. Semua informasi yang tanpa filter
beredar, seperti telah mendapat pengesahan tanpa bukti, terlebih berita melalui
televisi dan situs berita dengan gerak cepatnya menginformasikan informasi dan
bukti apapun yang mereka pungut di lapangan. Video amatir, foto-foto kejadian,
keterangan saksi mata, dan opini seakan-akan meluap sedemikian cepatnya, bak
gelombang tsunami yang tidak terdeteksi, ia menghanyutkan rasa takut sebagian
orang ke jurang yang lebih dalam.
“Kring.. kring.. kring!” ponsel saya bordering. Ibu yang
menelepon. “Tu, di mana sekarang?”, pertanyaan pertama yang bernada agak keras.
“Di kantor”, jawab saya datar. “Katanya ada bom di Jakarta, jangan kemana-mana.
Diam di kantor atau nanti langsung pulang ke kosan. Jangan keluyuran lagi”,
sambung Ibu saya. “Iya, Ibu darimana dapet kabarnya?”, saya balik bertanya.
“Tadi temen cerita”, kata Ibu. “Oh, belum nonton berita di TV berarti ya?”,
saya yang terus balik bertanya. “Belum”, jawab ibu saya singkat. Sisanya nasehat-nasehat
yang disampaikan sebelumnya, kembali diulang. Wajar, Ibu saya di Bali sangat
khawatir dengan kondisi anaknya di perantauan. Bukti sayang orang tua kepada
anaknya, saya percaya itu. Dan saya agak sedikit lega, Ibu saya sedang tidak
menonton televisi yang penuh dengan berita simpang siur dan mencekam. Lebih
beruntung lagi, Ibu saya tidak punya media sosial. Pasalnya, hanya mendengar
kata “bom” saja, Ibu saya mempunyai ketakutan yang luar biasa. Mungkin juga sama
dengan sekian ribu orang Bali lainnya, pasca diguncang bom sebanyak dua kali
beberapa tahun silam. Sedemikian traumanya, terlebih sampai mendengar informasi
yang belum jelas arah kebenarannya.
Setelah itu, saya membuka grup Whatsapp yang sudah terlanjur ribut. Disitu, saya mendapatkan kabar
yang lebih menggemparkan: peledakan bom juga terjadi di sejumlah tempat seperti
Semanggi, Slipi (ada juga yang menyebutkan Palmerah), Alam Sutera Tangerang,
Cikini, dan Kuningan. Ketegangan bertambah lagi setelah dikabarkan bahwa
kawasan Matraman, jalan biasa pulang-pergi kantor, juga menjadi incaran
teroris. Sampai-sampai kabar yang paling menyeramkan: teroris masih berkeliaran
dengan membawa senjata laras panjang sejenis AK 47, lengkap dengan ciri-cirinya
memakai baju putih menaiki motor trail dan mobil terios hijau, menembaki orang
di jalanan. Gila. Pesan ini yang paling menakutkan bagi saya, dan lucunya saya
hampir seratus persen percaya kebenaran informasi ini. Saya hampir takut pulang
ke kosan, meskipun dihimbau dan didispensasi untuk pulang kantor lebih awal,
saya belum berani pulang. Bahkan teman saya, saking takutnya, ia pulang dengan meninggalkan
motornya di kantor dan memilih menaiki sewa mobil yang dipesannya secara online. Tumpangan dari pesanan online ini juga turut bersimpati
memberikan promo habis-habisan kepada pelanggannya. Dan, saya hampir ikut-ikutan
cara teman saya ini, saking mencekamnya informasi di dunia maya.
Membuka media sosial twitter,
saya lalu dipertemukan dengan tagar “PrayforJakarta” dan sejenisnya, sama seperti
ketika teroris melakukan aksi yang serupa di Paris, Prancis, pada November 2015
lalu. Sebagian netizen memandang tagar itu adalah wajar, hanya sekadar
penyampaian simpati kepada korban, dan tidak harus diartikan macam-macam.
Sebagian kalangan lagi, termasuk saya, memandang tagar ini akan membuat
psikologi publik kian tertekan dan bisa menjadi salah satu indikator
keberhasilan aksi teror. Saya selalu percaya, tujuan utama terorisme adalah
menyebarkan rasa takut, tidak hanya sekadar membunuh. Dan tanpa kita sadari,
dunia maya juga rentan melahirkan teroris baru “teroris dunia maya”. Maaf, agak
sedikit frontal. Maksud saya, adalah mereka-mereka yang tidak menyadari bahwa
postingan mereka di media sosial berpotensi mempengaruhi psikologis orang lain.
Ketakutan yang sedemikian gampangnya merebak, berkat gaya hidup masyarakat yang
sangat intim dengan media sosial.
Media sosial telah membuat orang dengan gampang mendadak
jadi ‘junalis dadakan’, menjadi ‘kartunis jadi-jadian’, dan ‘teroris dunia
maya’, lewat aktivitas mereka masing-masing terutama terkait dengan peristiwa
bom di Sarinah. Dalam hitungan menit, ‘wartawan dadakan’ berhasil menyajikan
output dari profesi instan ini, seperti berkicau di twitter berdasarkan laporan pandangan mata. Para ‘kartunis jadi-jadian’
dengan meme-nya juga tak mau kalah heboh. Dengan meme alias plesetan dalam
bentuk gambar, senyum netizen bisa mengembang dan tertawa melihatnya. Namun,
juga seringkali sebal, karena plesetan yang muncul dalam bentuk gambar
mengabaikan empati terhadap korban, bahkan cenderung melecehkan. Yang tak kalah
mengerikan juga, aksi dokumentasi dan video amatir di televisi, situs berita,
dan sosial media, berupa foto dan video kejadian yang telanjang tanpa sensor, sangat
melontarkan rasa takut yang luar biasa.
Informasi di media sosial memang bisa membuat semua
orang menjadi serba salah. Jika tidak percaya, takut informasi itu benar dan
memang dibuat dengan tujuan mulia. Ketika percaya, ternyata hanya candaan dan
informasinya hoax. Sedangkan di pintu
depan, efek psikologis dari media sosial tidak bisa diusir dan dibendung begitu
saja. Saya sangat yakin, bahwa sebagian generasi muda (yang beda dan berbahaya)
terlihat sudah menyadari, keakuratan informasi dari media apapun harus
dipertanyakan. Lalu, bagaimana caranya? Menurut saya, sikap selektif adalah
salah satu jawabannya. Kita sesungguhnya telah dibekali cara-cara mudah melawan
bentuk teror ini. Untuk berita di televisi dan situs online yang kadang didomplengi kepentingan, kita seharusnya masih
bisa menjaga jarak. Tinggal ambil remote
atau mouse lalu klik, silahkan
dimatikan atau di-close. Jangan akses
lagi alamat portal berita di situs online itu. Kita pun akhirnya bisa terbebas dari serbuan
informasi itu. Nah, yang sangat susah adalah serbuan informasi dari media
sosial seperti facebook, twitter, instagram,
termasuk grup Whatsapp, Blackberry
Mesengger, dan Line yang mempunyai tabiat yang berbeda. Anda, anak muda
beda dan berbahaya, harus rela memencet tombol “off” alias mematikan ponsel,
atau mentekadkan diri sama sekali tidak menyentuh akun itu, untuk beberapa
waktu. Sebuah pilihan yang sulit. Hah.
Untuk teror di dunia nyata, saya sudah kadung percaya
dengan profesionalitas aparat penegak hukum. Keberanian mereka, tidak perlu
diragukan lagi. Buktinya, kira-kira dalam waktu tiga jam, aksi teror di Sarinah
berhasil diredam dan dunia mengacungkan dua jempol untuk ini. Jokowi pun, juga
beberapa pejabat negara lainnya, tanpa mengenakan rompi peluru pun bergaya
santai namun tetap empati melihat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Kata-kata
Jokowi pun simpel dan optimis, “Negara, bangsa, dan rakyat tidak boleh takut,
tidak boleh kalah dengan aksi teror seperti ini”. Teror ini juga dipandang
gagal mengguncang pasar di Indonesia. Rupiah yang pada jam kejadian sempat
terjerembap hampir menyentuh angka 14.000 rupiah per dolar AS, kembali
menunjukkan taringnya setelah polisi berhasil menuntaskan perlawanan si
peneror. Kurs rupiah-pun akhirnya ditutup 13.907 rupiah. Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang sempat dikoreksi pun, diprediksi tidak akan berlangsung lama karena
kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Secara nyata, aksi teror ini telah
gagal meruntuhkan negeri ini. Justru sebaliknya, mereka berhasil membangunkan
para pejabat, aparat, dan rakyat negeri ini untuk lebih brutal lagi mengejar
pelaku lainnya. Aksi teror telah menawarkan langit senja hari yang indah di
kawasan Thamrin, jalanan-pun kembali dibuka dan berhias kemerlap lampu
kendaraan yang lewat. Sungguh indah.
Di dunia maya berbeda lagi. Pengguna media sosial twitter akhirnya mempopulerkan tagar
“KamiTidakTakut”. Sebuah rasa optimisme netizen guna melawan rasa takut, bahkan
menyerang balik para peneror dunia nyata dan dunia maya. Saya bangga dengan
ini. Jargon yang diciptakan oleh Mas Pandji Pragiwaksono di pertengahan 2009
ini, berhasil membalikkan keadaan yang sedemikian mengerikannya di hari itu. Tagar
“PrayforJakarta” pun tenggelam dibuatnya. Segera setelah ini, banyak beredar
candaan dan senyuman yang menunjukkan rasa optimisme dan keberanian Indonesia.
Mulai dari tukang sate yang anteng berjualan ketika baku tembak terjadi, bahkan
jarak jualannya tak kurang 100 meter dari tekape.
Lalu, aksi para penjual lainnya seperti penjual rokok dan cemilan ringan yang
menawarkan jajanan kepada polisi yang sedang bertugas. Sampai foto emak-emak yang sedang menarik tongsis ketika si peneror mengacungkan
senjatanya. Di dunia maya, ternyata kita juga lumayan berhasil menaklukkan rasa
takut yang disebarkan oleh ‘teroris dunia maya’. Namun, kita juga tidak boleh
larut dan lupa, selalu mawas diri dan berpegangan tangan dalam melawan luka di
negeri ini. Ahh, saya semakin bangga saja dengan negeri indah ini, tak
ketinggalan juga dengan manusia-manusia uniknya.
0 komentar: