#KAMITIDAKTAKUT : MELAWAN TEROR DUA LAPIS

22.46 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Jakarta, kamis lalu, diguncang dan dihantui dua aksi teror sekaligus. Di dua dunia secara bersamaan. Yang pertama, jelas, aksi brutal penuh pamer dari para teroris yang meledakkan bom sekelas granat, lalu berlanjut dengan aksi tembak-menembak dengan aparat kepolisian. Bak proses shooting film action, aksi mereka ini ditonton ribuan warga yang dihantui rasa penasaran. Inilah teror di dunia nyata. Yang kedua, terjadi di dunia maya lewat media sosial. Dalam hitungan menit, saya dan jutaan orang lainnya kebanjiran informasi yang hilir-mudik di grup Whatsapp, Blackberry Mesengger, Line, Facebook, Twitter, Instagram dan seretetan media sosial lainnya. Jujur, saya lebih takut pada aksi teror yang kedua ini.

Tanpa bermaksud mengkerdilkan aksi teror yang pertama (di dunia nyata), berikut rasa simpati saya kepada korban sipil dan anggota kepolisian dan rasa muak saya dengan peneror, dampak media sosial bagi saya sangat signifikan menyebarkan rasa takut secara merata ke seluruh Jakarta, bahkan hingga ke seluruh pelosok negeri. Semua informasi yang tanpa filter beredar, seperti telah mendapat pengesahan tanpa bukti, terlebih berita melalui televisi dan situs berita dengan gerak cepatnya menginformasikan informasi dan bukti apapun yang mereka pungut di lapangan. Video amatir, foto-foto kejadian, keterangan saksi mata, dan opini seakan-akan meluap sedemikian cepatnya, bak gelombang tsunami yang tidak terdeteksi, ia menghanyutkan rasa takut sebagian orang ke jurang yang lebih dalam.

“Kring.. kring.. kring!” ponsel saya bordering. Ibu yang menelepon. “Tu, di mana sekarang?”, pertanyaan pertama yang bernada agak keras. “Di kantor”, jawab saya datar. “Katanya ada bom di Jakarta, jangan kemana-mana. Diam di kantor atau nanti langsung pulang ke kosan. Jangan keluyuran lagi”, sambung Ibu saya. “Iya, Ibu darimana dapet kabarnya?”, saya balik bertanya. “Tadi temen cerita”, kata Ibu. “Oh, belum nonton berita di TV berarti ya?”, saya yang terus balik bertanya. “Belum”, jawab ibu saya singkat. Sisanya nasehat-nasehat yang disampaikan sebelumnya, kembali diulang. Wajar, Ibu saya di Bali sangat khawatir dengan kondisi anaknya di perantauan. Bukti sayang orang tua kepada anaknya, saya percaya itu. Dan saya agak sedikit lega, Ibu saya sedang tidak menonton televisi yang penuh dengan berita simpang siur dan mencekam. Lebih beruntung lagi, Ibu saya tidak punya media sosial. Pasalnya, hanya mendengar kata “bom” saja, Ibu saya mempunyai ketakutan yang luar biasa. Mungkin juga sama dengan sekian ribu orang Bali lainnya, pasca diguncang bom sebanyak dua kali beberapa tahun silam. Sedemikian traumanya, terlebih sampai mendengar informasi yang belum jelas arah kebenarannya.

Setelah itu, saya membuka grup Whatsapp yang sudah terlanjur ribut. Disitu, saya mendapatkan kabar yang lebih menggemparkan: peledakan bom juga terjadi di sejumlah tempat seperti Semanggi, Slipi (ada juga yang menyebutkan Palmerah), Alam Sutera Tangerang, Cikini, dan Kuningan. Ketegangan bertambah lagi setelah dikabarkan bahwa kawasan Matraman, jalan biasa pulang-pergi kantor, juga menjadi incaran teroris. Sampai-sampai kabar yang paling menyeramkan: teroris masih berkeliaran dengan membawa senjata laras panjang sejenis AK 47, lengkap dengan ciri-cirinya memakai baju putih menaiki motor trail dan mobil terios hijau, menembaki orang di jalanan. Gila. Pesan ini yang paling menakutkan bagi saya, dan lucunya saya hampir seratus persen percaya kebenaran informasi ini. Saya hampir takut pulang ke kosan, meskipun dihimbau dan didispensasi untuk pulang kantor lebih awal, saya belum berani pulang. Bahkan teman saya, saking takutnya, ia pulang dengan meninggalkan motornya di kantor dan memilih menaiki sewa mobil yang dipesannya secara online. Tumpangan dari pesanan online ini juga turut bersimpati memberikan promo habis-habisan kepada pelanggannya. Dan, saya hampir ikut-ikutan cara teman saya ini, saking mencekamnya informasi di dunia maya.

Membuka media sosial twitter, saya lalu dipertemukan dengan tagar “PrayforJakarta” dan sejenisnya, sama seperti ketika teroris melakukan aksi yang serupa di Paris, Prancis, pada November 2015 lalu. Sebagian netizen memandang tagar itu adalah wajar, hanya sekadar penyampaian simpati kepada korban, dan tidak harus diartikan macam-macam. Sebagian kalangan lagi, termasuk saya, memandang tagar ini akan membuat psikologi publik kian tertekan dan bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan aksi teror. Saya selalu percaya, tujuan utama terorisme adalah menyebarkan rasa takut, tidak hanya sekadar membunuh. Dan tanpa kita sadari, dunia maya juga rentan melahirkan teroris baru “teroris dunia maya”. Maaf, agak sedikit frontal. Maksud saya, adalah mereka-mereka yang tidak menyadari bahwa postingan mereka di media sosial berpotensi mempengaruhi psikologis orang lain. Ketakutan yang sedemikian gampangnya merebak, berkat gaya hidup masyarakat yang sangat intim dengan media sosial.

Media sosial telah membuat orang dengan gampang mendadak jadi ‘junalis dadakan’, menjadi ‘kartunis jadi-jadian’, dan ‘teroris dunia maya’, lewat aktivitas mereka masing-masing terutama terkait dengan peristiwa bom di Sarinah. Dalam hitungan menit, ‘wartawan dadakan’ berhasil menyajikan output dari profesi instan ini, seperti berkicau di twitter berdasarkan laporan pandangan mata. Para ‘kartunis jadi-jadian’ dengan meme-nya juga tak mau kalah heboh. Dengan meme alias plesetan dalam bentuk gambar, senyum netizen bisa mengembang dan tertawa melihatnya. Namun, juga seringkali sebal, karena plesetan yang muncul dalam bentuk gambar mengabaikan empati terhadap korban, bahkan cenderung melecehkan. Yang tak kalah mengerikan juga, aksi dokumentasi dan video amatir di televisi, situs berita, dan sosial media, berupa foto dan video kejadian yang telanjang tanpa sensor, sangat melontarkan rasa takut yang luar biasa.

Informasi di media sosial memang bisa membuat semua orang menjadi serba salah. Jika tidak percaya, takut informasi itu benar dan memang dibuat dengan tujuan mulia. Ketika percaya, ternyata hanya candaan dan informasinya hoax. Sedangkan di pintu depan, efek psikologis dari media sosial tidak bisa diusir dan dibendung begitu saja. Saya sangat yakin, bahwa sebagian generasi muda (yang beda dan berbahaya) terlihat sudah menyadari, keakuratan informasi dari media apapun harus dipertanyakan. Lalu, bagaimana caranya? Menurut saya, sikap selektif adalah salah satu jawabannya. Kita sesungguhnya telah dibekali cara-cara mudah melawan bentuk teror ini. Untuk berita di televisi dan situs online yang kadang didomplengi kepentingan, kita seharusnya masih bisa menjaga jarak. Tinggal ambil remote atau mouse lalu klik, silahkan dimatikan atau di-close. Jangan akses lagi alamat portal berita di situs online itu.  Kita pun akhirnya bisa terbebas dari serbuan informasi itu. Nah, yang sangat susah adalah serbuan informasi dari media sosial seperti facebook, twitter, instagram, termasuk grup Whatsapp, Blackberry Mesengger, dan Line yang mempunyai tabiat yang berbeda. Anda, anak muda beda dan berbahaya, harus rela memencet tombol “off” alias mematikan ponsel, atau mentekadkan diri sama sekali tidak menyentuh akun itu, untuk beberapa waktu. Sebuah pilihan yang sulit. Hah.

Untuk teror di dunia nyata, saya sudah kadung percaya dengan profesionalitas aparat penegak hukum. Keberanian mereka, tidak perlu diragukan lagi. Buktinya, kira-kira dalam waktu tiga jam, aksi teror di Sarinah berhasil diredam dan dunia mengacungkan dua jempol untuk ini. Jokowi pun, juga beberapa pejabat negara lainnya, tanpa mengenakan rompi peluru pun bergaya santai namun tetap empati melihat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Kata-kata Jokowi pun simpel dan optimis, “Negara, bangsa, dan rakyat tidak boleh takut, tidak boleh kalah dengan aksi teror seperti ini”. Teror ini juga dipandang gagal mengguncang pasar di Indonesia. Rupiah yang pada jam kejadian sempat terjerembap hampir menyentuh angka 14.000 rupiah per dolar AS, kembali menunjukkan taringnya setelah polisi berhasil menuntaskan perlawanan si peneror. Kurs rupiah-pun akhirnya ditutup 13.907 rupiah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat dikoreksi pun, diprediksi tidak akan berlangsung lama karena kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Secara nyata, aksi teror ini telah gagal meruntuhkan negeri ini. Justru sebaliknya, mereka berhasil membangunkan para pejabat, aparat, dan rakyat negeri ini untuk lebih brutal lagi mengejar pelaku lainnya. Aksi teror telah menawarkan langit senja hari yang indah di kawasan Thamrin, jalanan-pun kembali dibuka dan berhias kemerlap lampu kendaraan yang lewat. Sungguh indah.   

Di dunia maya berbeda lagi. Pengguna media sosial twitter akhirnya mempopulerkan tagar “KamiTidakTakut”. Sebuah rasa optimisme netizen guna melawan rasa takut, bahkan menyerang balik para peneror dunia nyata dan dunia maya. Saya bangga dengan ini. Jargon yang diciptakan oleh Mas Pandji Pragiwaksono di pertengahan 2009 ini, berhasil membalikkan keadaan yang sedemikian mengerikannya di hari itu. Tagar “PrayforJakarta” pun tenggelam dibuatnya. Segera setelah ini, banyak beredar candaan dan senyuman yang menunjukkan rasa optimisme dan keberanian Indonesia. Mulai dari tukang sate yang anteng berjualan ketika baku tembak terjadi, bahkan jarak jualannya tak kurang 100 meter dari tekape. Lalu, aksi para penjual lainnya seperti penjual rokok dan cemilan ringan yang menawarkan jajanan kepada polisi yang sedang bertugas. Sampai foto emak-emak yang sedang menarik tongsis ketika si peneror mengacungkan senjatanya. Di dunia maya, ternyata kita juga lumayan berhasil menaklukkan rasa takut yang disebarkan oleh ‘teroris dunia maya’. Namun, kita juga tidak boleh larut dan lupa, selalu mawas diri dan berpegangan tangan dalam melawan luka di negeri ini. Ahh, saya semakin bangga saja dengan negeri indah ini, tak ketinggalan juga dengan manusia-manusia uniknya.


0 komentar: