CURIK-CURIK TIM SATU TANGLAD - PART 1
“Curik-curik semental alang-alang boko-boko, tiang
meli pohe, aji satak aji satus keteng, mara bakat anak bagus peceng,
enjok-enjok!” – lagu Curik-Curik,
lagu anak daerah Bali.
. . .
Lagu anak-anak ini
cukup pantas mengiringi guratan perjalanan kali ini. Sebuah perjalanan yang
menakdirkan ratusan anak-anak muda berkepedulian dari seluruh pelosok negeri,
berkumpul dalam satu misi. Ialah Kelas Inspirasi. Di Bali. Tepatnya, di satu pulau
yang konon adalah telur emas-nya Bali: Nusa Penida. Dan ini adalah kali ketiga diadakannya
kelas inspirasi di Bali, setelah dua periode sebelumnya menancapkan diri di
bumi Ubud dan Kintamani. Ya, Kelas Inspirasi Bali 3! Yang lalu disingkat KIB3,
membawa jargon “Aku menginspirasi, aku terinspirasi” dengan bumbu tagar
#InspiringNusa. Saya menilai jargon ini tepat sekali, mengingat kelas inspirasi
salah satu misinya adalah mempopuliskan aneka profesi ke anak-anak Sekolah Dasar,
menginspirasi dan melecutkan semangat meraih mimpi dan cita-cita mereka, juga sebagai
ajang merenung diri bagi relawan itu sendiri. Luar biasa.
Saya mencoba turut
ambil sepotong bagian dalam misi mulia ini. Kala pertama kali mengisi form
pendaftaran inspirator KIB3, yang terbayang di benak adalah seonggok manusia
lokal yang belum lagi berbuat banyak untuk tanah kelahiran. Mencoba
peruntungan. Mudah-mudahan diterima. Sekaligus lagi-lagi ingin membuktikan pada
diri, bahwa saya juga bisa berbuat. Tidak sekadar koar-koar di blog dan media sosial,
mengklaim diri sebagai manusia lokal yang paling loyal dengan tanah kelahiran. Ah,
terlepas dari itu, bahwa alasan yang paling jujur adalah saya ingin
mengembalikan ingatan ke masa tahun 90-an. Kala kuping dijewer memerah oleh Bu
Atu karena salah menghitung, kala didamprat Pak Oka karena bermain saat jam
pelajaran, kala berseragam dekil putih-merah dengan dasi kedodoran sambil
ngelap ingus yang tak jua berhenti. Saat mengenyam bangku panjang sekolah
dasar.
Tanggal 23 Juni
2016: Pengumuman. Via email.
Saya lolos!
Entah rasa apa
yang hadir saat menerima email itu. Campur aduk. Yang jelas ada panggilan yang
butuh jawaban pasti: konsistensi untuk ikut. Saya mengkonfirmasi dan mengiyakan
untuk turut serta, mulai dari briefing hingga refleksi acara. Setelah itu, kami
(yang lolos) dipecah ke dalam kelompok-kelompok kecil, dan saya dijebloskan
dalam kelompok SD Negeri 1 Tanglad. Entah di Nusa Penida belahan mana, saya
belum banyak memikirkan soal lokasi SD tersebut. Yang kemudian saya tahu
setelah saya dijebloskan lagi dalam grup whatsapp dengan nama formil “KIB3 SDN
1 Tanglad”. Ada belasan relawan yang nyemplung di grup itu, mulai dari panitia,
fasilitator, inspirator, dan dokumentator. Semua ada bagian tugasnya
masing-masing. Panitia dan fasilitator yang menyambung informasi dan membantu
menyiapkan keperluan di lokasi, inspirator yang membagi inspirasi, dan
dokumentator mengabadikan momen yang tak akan pernah terulang. Saya termasuk
manusia yang inaktif di grup itu. Jarang nongol. Bukan karena diniatkan, tapi
karena memang lagi diburu sama pekerjaan rutin di kantor yang harus
diselesaikan sebelum hari inspirasi itu tiba. Tapi saya mencoba untuk tetap
mengikuti perkembangan informasi yang beredar di grup itu. Dan dari informasi
itu, saya mulai mengenal Tanglad adalah sebuah desa di perbukitan pojok tenggara
Nusa Penida dengan akses yang ehm,
cukup menantang.
Hari demi hari,
banyak relawan berguguran. Bahkan, menjelang briefing.
Dengan alasan yang
cukup profan.
Saya? Masih mencoba
bertahan.
Walaupun pekerjaan semakin
progresif memburu, hingga tenggat waktu menjadi kian tak bersahabat. Saya masih
mencoba sesekali nongol di grup, membantu mempersiapkan bahan-bahan kebutuhan
kelompok. Juga mencuri-curi waktu untuk menyelesaikan properti untuk diri
sendiri. Tertanggal 5 Agustus 2016: saya harus pulang dini hari, untuk
menyelesaikan pekerjaan. Masuk ke kantor lagi di pagi hari. Mohon ijin atasan, untuk
bergegas pulang di siang hari. Sampai di Ngurah Rai, petang hari. Sampai di
rumah, malam hari. Lelah yang tak berujung menitipkan mimpi, membuat tidur
begitu pasi.
Pukul enam pagi,
saya men-starter motor bergegas
menuju lokasi briefing dan keberangkatan: LPMP Bali di seputaran Renon,
Denpasar. Bersama seseorang. Yang pernah menulis di blog ini. Berjudul “Kata
Gadis Bali”. Yang juga menjadi
fasilitator di SD Negeri 2 Suwana. Dan, perjalanan kami tempuh selama kurang
lebih satu jam, setelah singgah di satu toko untuk membeli peralatan yang
kurang-kurang. Di LPMP kami memisahkan diri dengan urusan masing-masing. Lalu,
saya bergumul dengan rekan satu tim, mulai dengan bersapa hai, memperkenalkan
diri, basa-basi lokal Indonesia, dan membicarakan apapun yang patut ataupun
tidak untuk diperbincangkan. Hingga suasana mulai meleleh, tidak seperti
aktivitas grup yang sebelumnya terkesan kaku karena beberapa belum ada yang
pernah bertemu. Briefing dimulai: kami duduk di sederetan bangku panjang,
mendengar celotehan dari panitia, Pak Prof. Muninjaya selaku penggagas Kelas
Inspirasi Bali, Pak Kadis Pendidikan Klungkung, dan tokoh pemuda yang
menggerakkan komunitas di bumi Nusa Penida. Dan, terangkum jelas bahwa misi ini
harus diselesaikan dengan baik, dengan segenap singsingan baju dari anak-anak
muda yang hadir saat itu.
Terhitung ada
sepuluh relawan kece di tim SD Negeri
1 Tanglad, yang mampu survive dari gempuran badai yang merontokkan komitmen. Dialah
(1) Arni, sosok bidan yang ulet mendampingi kelompok ini; (2) Wira, pemuda di
bawah usia 20 tahun yang menjadi fasilitator; (3) Ina (bukan singkatan
Indonesia), relawan inspirator sebagai perawat yang ditemani pacarnya (4) Bli
Komang – yang baru saja menyudahi perjalanan dari kapal pesiar dan menjadi
penyelamat kurangnya dokumentator di kelompok ini; (5) Bule (nama samaran)
relawan dokumentator yang tak mau kalah dari Ina, mengajak (6) Dita (yang konon
adalah pacarnya) menjadi inspirator dosen kimia – jauh-jauh naik sepeda motor
dari Lombok untuk ikut KIB3; (7) Dewi Julianti sebagai inspirator bidang hukum yang
sedari awal tak bisa dipisahkan dari (8) Ian yang juga bekerja di bidang hukum;
(9) the Giant Man – bang Jerry yang
sudah me-langlang bhuana menjadi fotografer di dunia per-kelas-inspirasi-an
ditemani seorang kurcaci, yang sehari-harinya memainkan angka: (10) saya.
Karakter yang saya
tangkap dari kelompok ini adalah nothing
to lose, berbuat semampunya tidak memasang ambisi yang berlebihan. Hal ini bisa
disaksikan ketika kami briefing kelompok pertama kali sembari makan siang di
warung makan depan LPMP. Briefingnya barang hitungan semenit, cukup meng-iyakan
usulan, karena katanya lebih penting adalah mengeksekusi ide. Makan dan
basa-basi-nya yang satu jam. Suasana menjadi lebih cair, secair es buah yang
direnggut manis oleh Ina dan Bli Komang. Tapi tak lebih gila dari rujak cingur
yang dikira berbahankan buah-buahan oleh Bule. Keintiman kami mulai sudah mulai
terjalin, mulai rapi tersulam saat keberangkatan naik Trans Sarbagita menuju
Sanur, hingga menyeberang dengan kapal Maruti menuju Pelabuhan Toya Pakeh, Nusa
Penida.
Jam 5 sore, lewat
beberapa menit. Kami sampai di Pelabuhan Toya Pakeh. Bersama beberapa rombongan
dari kelompok lain. Dan, ini adalah kali ketiga saya menginjakkan kaki di tanah
Nusa Penida. Setelah sebelumnya hanya kegiatan ritual berkelas Tirta Yatra yang
mengantarkan saya ke tanah ini. Sekilas telur emas ini nampak gemerlap, oleh tancapan
kapitalisme buah hasil pemilihan pariwisata sebagai ikon Bali yang mau tak mau
menyeret Nusa Penida sebagai the virgin
island of Bali ke dalamnya. Gemerlap karena serbuan infrastruktur mulai gencar
di pulau ini. Namun, di sisi lain ada keretakan yang sedikit memudar samar-samar
terlihat. Masyarakat mulai menggantungkan hidup pada pariwisata, sendi-sendi
kultural mulai agak bergeser sedikit kepada ranah materialistik. Premis ini
setidaknya tersimpul, setelah saya berbincang dengan salah seorang warga di
Toya Pakeh. Mereka sedikit mempermasalahkan lobi-lobi penyewaan transportasi
kami, mulai dari masalah kapal hingga sepeda motor yang kami kendarai nanti.
Tapi saya yakin, hipotesa ini tak berlaku general untuk seluruh masyarakat Nusa
Penida. Sisi emas murni saya yakin masih banyak berbinar di pelosok-pelosok
pulau ini. Terlebih, satu keyakinan bahwa Nusa Penida cukup terbukti melahirkan
generasi-generasi yang cerdas, setidaknya kreatif berkat keterbatasan akses di
daerah ini.
Motor sudah di
tangan, di tangan Bang Jerry tepatnya. Saya dibonceng oleh beliau, karena mendekati
mustahil jika sebaliknya saya yang membonceng. Ternyata tim kami
berpasang-pasangan dalam berkendara. 1 laki-laki dan 1 perempuan. Terkecuali
saya. Dan mengawali perjalanan di tanah itu, kami sepakat (terutama yang
beragama Hindu) untuk memohon ijin secara niskala
di Pura Dalem Ped. Agar selama beberapa hari ke depan semua kegiatan dapat
berjalan dengan lancar. Dan terbukti, cobaan pertama yaitu gembosnya ban motor
Ian-Dewi mampu terselesaikan berkat perjuangan Arni dan Wira, selaku panitia
dan fasilitator kami. Dan pertolongan niskala
tentunya. Saat langit sudah gelap berganti binar lampu, saat itu kami bergegas
melanjutkan perjalanan menuju penginapan di bukit tenggara Nusa Penida: di
daerah Batukandik, tetangga desa Tanglad. Medan perjalanan begitu menantang:
gelap, dingin, tanjakan berkelok, jalanan penuh ukiran abstrak, hingga di
beberapa tanjakan saya harus merelakan diri untuk turun. Agar Bang Jerry bisa
leluasa menaikkan diri dan motor Vario lawas. Saya cukup tertatih. Berlari
mengejar.
Sampai di
penginapan, kami disambut senyum sapaan khas orang Bali dari seorang Bapak paruh
baya yang perawakannya masih cukup kencang. Rambutnya panjang beruban, sedikit
mengindikasikan beliau adalah salah seorang pemuka agama di sini. Dan benar,
Arni kemudian memanggil beliau: Pak Mangku. Iya, Pak Mangku adalah pemilik
rumah yang merelakan Bale Delod (bagian petak rumah di Bali) untuk kami tempati
selama dua malam ke depan. Di rumah ini, beliau tinggal bersama istri dan anak
bungsunya, Komang. Juga ada Pio, anjing kesayangan dan beberapa ekor babi yang
lupa saya tanya namanya. Rumahnya cukup luas, cukup ramai dengan sentuhan
ukir-ukiran Bali. Namun sepi, karena di sekelilingnya hanya tegalan yang
ditumbuhi tumbuhan singkong dan sejenisnya. Malam itupun kami melepaskan beban
ransel dari gendongan, duduk sejenak, dan meminum setenggak air menenangkan diri
setelah melalui perjalanan cukup berat. Niat melihat fenomena langka ‘milkyway’ pun tak kunjung sampai, karena
kabut menyelimuti langit malam itu. Selebihnya, hidangan rumahan berlauk ikan
tongkol, sambal, tempe-tahu cukup menawar sedikit kekecewaan malam itu. Beberapa
memilih mandi, setelah berjuang keras menimba air di sumur penampungan air
hujan milik Pak Mangku. Iya, daerah Nusa Penida adalah kawasan karst yang memang
terbatas dengan air tanah. Hingga air hujan pun menjadi satu-satunya asa hidup
bagi masyarakat Nusa Penida, untuk sekadar menyeduh kopi, menanak nasi, dan
mandi. Pengalaman langka namun begitu mengesankan bagi kami.
Sembari menunggu
giliran mandi, malam pertama di penginapan kami habiskan dengan bermain kartu
remi. Saya mencoba memperkenalkan permainan 61, dimana jumlah angka yang
terpasang tidak boleh melebihi angka 60. Kartu J sebagai penyelamat dengan
mengurangi 10, Q mengurangi 20, dan K mengurangi 30. Kartu joker berarti angka
langsung menjadi 60 atau skip, dan angka 4 (mirip seperti panah) berarti
membalikkan arah atau menyerang balik. Hukuman yang kalah: dipoles. Dengan
bedak. Rasa mint. Sampai cemong. Hingga keseruan dan kentiman semakin terasa
berkat permainan ini, terdokumentasi dengan foto selfie dengan muka berbalut
bedak putih yang kontras dengan warna kulit. Hingga malam yang larut memaksa
kami untuk memejamkan mata sejenak. Membekali tenaga untuk aktivitas keesokan
harinya. Demikian juga Pio, dan keluarga Pak Mangku yang sudah beristirahat
lebih dulu mengabaikan kami yang super berisik tak cukup tahu diri di rumahnya.
0 komentar: