ONE DAY TRIP JENDELA JAKARTA: BERMAIN DI KOTA TUA
Hai! nama saya Indra. Umur saya lima tahun, mau enam
tahun. Saya belum lagi sekolah. Juga tidak ikut pendidikan ala anak usia dini. Tapi saya selalu senang kok. Buktinya? Coba saja tengok wajah saya, selalu tersenyum tiap
hari. Kata kakak-kakak relawan: wajah saya sudah di-default ceria dari sana-nya. Bahasa gaul anak jaman sekarang adalah
unyu-unyu. Oh iya, saya menyebut kata kakak-kakak relawan karena saya ikut
sebuah komunitas bernama Jendela Jakarta. Bersama beberapa anak di sekitaran
Pangkalan Motor di Jalan Manggarai Utara VI. Tapi saya lebih senang menyebut
komunitas ini sebagai ‘tempat les-an’.
Di tempat inilah, saya berjumpa banyak kakak-kakak relawan. Ada yang ganteng, ada yang cantik, ada yang pinter, ada yang banyak bicaranya, ada
yang suka iseng, ada yang sudah kerja, ada yang masih kuliah, ada yang masih
sekolah, ada yang masih cari kerja, dan beragam model lagi. Di tempat ini pula,
saya banyak belajar. Mulai dari mengeja huruf sampai berhitung kecil-kecilan. Kalau
teman-teman yang sudah lancar membaca, kerap kali diminta untuk menceritakan
kembali isi buku yang dibacanya. Setiap minggunya, kami juga diajarkan beberapa
materi pelajaran di luar sekolah, kegiatan praktikum, memasak, dan juga yang
tak kalah serunya adalah bermain, sambil belajar tentunya. Yey!
Hari sabtu lalu, saya bangun pagi seperti biasanya. Sambil
mengusap-usap mata, saya menengok ibu saya yang terlihat sibuk di dapur. Samar-samar.
Saya melihat ibu sedang menuang air minum ke dalam botol plastik, menyiapkan roti,
biskuit, dan beberapa renceng cemilan ringan. Semua itu lalu dimasukkan ke
dalam tas “Ben 10” berwarna hijau, tas yang paling saya sukai. Saya juga
dipaksa untuk makan beberapa suap nasi dan telor ceplok. Rupa-rupanya, saya
tersadarkan kalau hari itu saya akan jalan-jalan. Iya! Saya jalan-jalan bersama
delapan orang teman saya dari komunitas Jendela Jakarta – perpustakaan
Manggarai. Kalau tidak salah, nama acaranya itu “Wan De Trip” (baca: One Day
Trip). Lokasi tujuannya adalah kawasan Kota Tua. Saya senang. Saya belum lagi
pernah ke sana, jadi ini adalah kali pertama. Saya harus semangat. Se – ma –
ngat !
Jam setengah delapan pagi, saya sudah rapi dan ganteng berkat wajah default ceria anugerah Tuhan. Saya
datang ke perpustakaan bersama kakak perempuan saya: Ipi. Kakak saya juga ikut
kegiatan ini. Senyumnya mirip-mirip seperti saya. Hanya saja, giginya masih belum
banyak bertumbuh. Di dalam perpustakaan, saya juga melihat enam wajah imut-imut
yang menunggu kedatangan kami: Uwing, Refan, Syifa, Salwa, Alya, dan Oca. Juga
kakak-kakak relawan yang siap mendampingi kami nanti: Kak Amel, Kak Putri, Kak
Arum, dan Kak Andipri. Kami masih menunggu dua kakak yang datangnya terlambat.
Huh! Nama kakak itu Kak Asti dan Kak Yusa. Jangan ditiru kedua kakak ini ya.
Tidak baik! Alhasil, setelah itu kita langsung berangkat ke lokasi, setelah
sebelumnya berfoto ramai-ramai sebagai bentuk seremoni pelepasan. Kita langsung
bergegas menuju ke Stasiun Manggarai, yang tidak jauh dari perpustakaan kami. Sekitar
lima menit, jika ditempuh dengan jalan kaki. Let’s go! Kami berangkat!
Sesampainya di stasiun, saya melihat antrian sudah mengular.
Kak Amel, sosok perempuan tangguh, yang ternyata mengorbankan dirinya untuk
mengantri demi membeli kartu Tiket Harian Berjamin (THB) singgel trip (baca: single trip). Sedang kami dan kakak
relawan lainnya, duduk menunggu di hamparan depan stasiun. Salwa sepertinya
yang paling penasaran dengan sistem pembelian tiket online itu. Tidak ada orangnya, hanya dengan mesin. Sungguh canggih
ya kak? Dan beberapa menit kemudian, tiket sudah berada di tangan kak Amel. Kita
bergegas masuk ke dalam stasiun. “Tiiiit” ! Begitu bunyi dan muncul tanda panah
hijau, memerintahkan saya untuk masuk melalui palang pintu di sebelah kanan
saya. Padahal, tinggi saya belum lagi menyentuh palang pintu. Hihihi. Semua
masuk, dan kita sudah disambut oleh KRL Komuter Lain (baca: Commuter line) jurusan Bogor – Jakarta
Kota. Pas masuk: keretanya kosong. Asyik! Saya bisa loncat-loncat nantinya.
Beberapa menit kemudian, pintu kereta tertutup. Otomatis.
Lalu, keretanya jalan. Karena tidak begitu ramai di dalam kereta, jadi saya
bisa sedikit bermain di dalam kereta. Meminjam kamera-nya kak Arum dan kak
Yusa, lalu mencoba memotret apapun yang ingin saya potret. Hasilnya: blur! Saya kesal. Saya mengadu ke kak
Yusa. Saya diajarkan untuk mempokuskan (baca: memfokuskan) kamera. Caranya:
putar lensa di ujung paling depan. Dan,
taraaaaaa: saya bisa! Uwing lebih jahil lagi. Ia memotret dan ngerjain petugas pembersih kereta yang
bernama Pak Husein. Katanya, “Ayo Mas
Husein yang ganteng, difoto dulu yuk?”. Dasar Uwing, manusia super iseng di
Jendela. Di sisi lain, tingkah perempuan lainnya tak kalah seru juga. Ada yang
tidur rebahan, ada yang iseng ngumpetin sendal
temannya, dan ada yang ngemil cemilan karena kelaparan. “Maafkan teman-teman
saya ya Pak petugas kereta? Kami sudah diingatkan kok oleh kakak-kakak relawan. Kami saja yang masih kecil, agak
susah untuk diatur. Lagian, keretanya
juga lama banget sampai di Jakarta Kota. Untuk menghindari kebosanan, ya
terpaksa kami menghabiskan waktu dengan bermain”, gumam saya dalam lubuk hati
yang paling dalam.
Jam sepuluh, akhirnya kami sampai di Stasiun Jakarta
Kota. Sesegera mungkin kami keluar dari kereta, dan sebagian dari kami
berlarian menuju: toilet. Kakak-kakak relawan yang menunggu di depan toilet. Baru
setelah itu, kami keluar dari stasiun. Lalu, kakak-kakak relawan membagi kami
ke dalam beberapa kelompok untuk jalan ke kawasan Kota Tua. Saya coba menebak
tujuannya: agar tidak ada dari kami yang berpencar. Juga untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan. Tangan saya dipegangi Kak Yusa di sebelah kiri, sedangkan
di kanannya ia memegangi Oca. Oca ini gadis mungil yang baru masuk kelas satu
SD. Ia mempunyai tenaga super-gede. Ke-isengannya adalah gelitikin siapapun,
terutama kakak-kakak relawan. Begitu saya menerka sorot matanya ketika itu. Dan,
sampai di depan kawasan kota Tua, kami disambut Kak Duo Riski: Kak Riski Kurnia
dan Riski Darmawan. Mereka baru saja turun dari mobilnya. Oh bukan, ternyata
itu bukan mobilnya. Itu mobil ojek online.
Dokar, eh grab kar (baca: grab car) – kalo gak salah namanya.
Setelah itu, turun lagi sembilan anak: delapan perempuan, satu laki-laki kecil
berkulit hitam. Saya belum pernah melihat mereka sebelumnya. Ehm, siapa gerangan mereka itu?
Dari cerita Kak Riski Kurnia, saya menangkap pesan kalau
mereka akan menjadi teman saya di jalan-jalan ini. Mereka adalah adik-adik
komunitas Jendela dari perpustakaan Sungai Bambu. Coba saya ingat satu per satu
namanya. Ada Julia, Yanti, Intan, Mita, Rani, Zii, Fuji, Tiara, dan lelaki satu-satunya
itu bernama: Riski. Saya masih malu-malu berkenalan dengan mereka, sampai
akhirnya kami dipaksa berkenalan satu sama lain. Dengan iming-iming tentunya.
Yaitu mendapatkan sarapan roti punya-nya Bu Sari. Sari Roti. Lalu kami
melahapnya, berkenalan dan ada yang diperkenalkan, lalu kami dibagi menjadi
empat kelompok. Bercampur. Saya kebagian di kelompok empat, bersama Uwing,
Refan, dan Rani. Beruntungnya saya didampingi Kak Putri yang dikenal begitu
ke-ibu-an. Waktu itu, masing-masing kelompok ditugaskan untuk memecahkan sembilan
pertanyaan dari soal-soal yang diberikan. Dan akan ada tiga pos yang harus kami
kunjungi, mulai dari Museum Fatahillah, Museum Keramik, dan Museum Bank
Indonesia.
Kami memasuki museum Fatahillah. Pertama kali memasuki
ruangan museum ini, saya melihat gambar lukisan perang antara Indonesia melawan
penjajah Belanda dulu. Di samping lukisan itu ada kotak kaca yang di dalamnya
ada pucuk senjata api milik Belanda. Lalu, tepat di sebelahnya ada senjata khas
dari Indonesia: keris, tombak, parang, dan sejenisnya. Lalu saya bertanya
kepada Kak Putri, “Kak, pahlawan kita memakai senjata itu waktu melawan
penjajah? Lalu, apakah kita bisa menang?”. Kak Putri yang ke-ibu-an menjawab,
“Kita menang bukan hanya karena senjata itu, Indra. Kita bisa menang karena kita
belajar, banyak pahlawan yang juga berjuang dengan membaca buku.” Saya masih
bingung dengan kata-kata Kak Putri yang ke-ibu-an itu. Lalu, saya memasuki
ruangan berikutnya. Melihat lukisan peta kota Jakarta jaman dahulu. Warnanya
putih kecokelatan. Di judul atasnya tertulis: Batavia. Berkat bisikan kak
Putri, kami menemukan jawaban untuk salah satu pertanyaan: “Sebutkan nama lain
kota Jakarta pada saat jaman penjajahan Belanda?”. Jawabannya: Batavia. Lalu
Kak Putri menimpali cerita: “Makanya plat nomor motor ayahnya Indra, huruf
depannya apa?”. Saya bingung. Yang menjawab adalah Uwing, dengan keras dia
menjawab: “B….!”. “Nah, B itu singkatan dari Batavia ya adik-adik. Sekaligus
mengenang nama kota Batavia pada jaman dahulu”, sambung Kak Putri dengan nada yang
lembut.
Di dalamnya juga banyak saya lihat kerajinan dan
bebatuan. Belakangan, saya baru tahu kalau namanya adalah gerabah dan juga
prasasti. Mulai dari jaman manusia purba – yang belum mengenal tulisan, masa
sejarah – ada dalam prasasti yang berhuruf kuno, hingga masa manusia modern
pada jaman penjajahan. Jika saya pintar membayangkan, bisa jadi saya akan
tenggelam dalam lubang waktu ke masa lampau. Dan terakhir saya memasuki sebuah
tempat yang menyeramkan: penjara wanita jaman Belanda. Pintu masuk penjaranya
sempit, ada di bawah tanah. Dan kini berair, seperti got dan ada bangkai
kecoak-nya. “Kasian ya kalau ada cewek yang dikurung disini”, kata salah
seorang teman saya. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Kami
kelelahan, dan beristirahat sebentar di pelataran belakang museum. Saya
dibelikan minuman teh dalam kemasan, dan berbagi cemilan dengan teman-teman
lainnya. Setelah cukup, baru kami melanjutkan ke lokasi berikutnya: Museum
Keramik.
Singkat cerita. Sampai di depan museum keramik, saya
melihat bangunan ini tampak depan-nya seperti sebuah istana raja. Warnanya
putih. Khas jaman dulu. Kata kakak-kakaknya, mirip seperti Wait Haus (baca:
White House), gedung putih, istananya presiden Obama di Amerika Serikat sana. Masuk
ke ruangan pertama, saya sadar, ternyata isi di dalam museum ini adalah
karya-karya lukisan dan barang-barang antik dari keramik yang mempunyai nilai
sejarah. Ada sebuah ruangan khusus yang memajang buah karya lukisan Pak Raden
Saleh yang sangat fenomenal. Juga beberapa seniman lainnya. Melihat lukisan itu
seperti melihat panorama bergerak, yang menceritakan sejarah masa lampau. Sungguh
indah! Tapi sayang, ruangan di lantai dua itu begitu panas. Tidak ada pendingin
ruangan. Jadilah kami tidak berlama-lama disana. Cukup untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan ini: “Siapakah Raden Saleh?” Dan jawaban kelompok saya:
pelukis yang mempopulerkan seni lukisan modern di Indonesia.
Kemudian, kami memasuki ruangan berikutnya yang
berisikan benda-benda sejarah yang berbentuk seperti kerajinan keramik atau
sejenisnya. Sebagian besar adalah gerabah yang terbuat dari tanah liat. Sebagian
lainnya ada yang terbuat dari kayu, juga logam. Benda-benda yang sangat apik
menerangkan sejarah peradaban manusia dari masa ke masa. Tak terasa, waktu
sudah menunjukkan pukul satu siang. Saya cukup kelelahan. Pun kelaparan. Saya
juga melihat teman-teman yang lain, juga kakak-kakak relawannya demikian. Kami
beristirahat sebentar. Sebagian ada yang menyantap cemilan, sebagian ada yang
sholat, sebagian ada yang buang air, dan yang saya lakukan: bermain lagi. Bermain
perosotan di teras belakang museum ini, bersama teman-teman yang ingin
melupakan rasa lelahnya. Jam dua kurang, kami diajak untuk menyudahi perjalanan
di museum ini. Juga tidak melanjutkan ke Museum Bank Indonesia, karena katanya
sudah tutup. Kami ke luar museum, berfoto sebentar. Dan: makan siang. Kak Riski
Darmawan sudah menyiapkan hidangan makan siang untuk kami. Makanan siap saji
dari sebuah franchise ternama. Dan, kami pun makan selahap-lahapnya. Juga
kakak-kakak relawan: lebih lahap lagi. Mereka terlihat begitu kelelahan menemani
ke-iseng-an kami, selama perjalanan ini.
Setelah perut cukup kenyang, perjalanan diakhiri dengan
mengumpulkan tugas. Lalu, berjalan berkeliling di lapangan museum Fatahillah. Untuk
sekadar melihat orang-orang menaiki sepeda ontel, atau yang berfoto selpi (baca: selfie), atau yang hanya sekadar duduk sambil beristirahat, dan
saya hanya berjalan keliling. Sambil menuju jalan pulang. Di perjalanan itu, kami
melihat manusia-manusia yang mengecat dirinya sedemikian rupa dan diam,
mematung. Kata kakak-kakaknya, mereka disebut sebagai “manusia batu”. Bahkan,
ada yang duduk dengan tumpuan satu tongkat di tangannya. Saya penasaran, juga
yang lainnya. Tangan saya bergerak menyilang di bawah sela dudukannya,
hasilnya: tidak ada kawat atau tali yang membantu ia melayang begitu saja. Saya
penasaran. Sedang kakak-kakak yang lain hanya menertawai tingkah konyol kami. Lalu,
kami difoto bersama salah satu manusia patung itu. Kami dihantui rasa
penasaran. Dan, “Setaaaaaaaaaan !”. “Sial, siang-siang begini ada penampakan
setan di sini”, gerutu salah seorang teman saya. Mita, Zii, dan beberapa teman
saya yang perempuan terlihat menutup mata saking ketakutan-nya, dan berjalan
berhimpitan dengan kakak pendampingnya. Saya juga demikian, sedikit membuka
mata: ada pocong. Tutup lagi. Buka lagi: ada sundel bolong. Haaaaaaaaa. Dan
terakhir: ada noni-noni Belanda yang cantik, tapi hantu juga. Baru setelah
menjauhi mereka, kami tahu kalau mereka itu semua adalah manusia. Manusia biasa
yang berdandan ala hantu. Saya masih
suasana ketakutan. Sekaligus penasaran.
Sayang sekali, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Waktu jalan-jalan kami habis sudah. Tibalah saatnya saya berpisah dengan
teman-teman baru saya dari Sungai Bambu. Mereka sudah dijemput mobil, hasil
pesenan online. Didampingi Kak Riski
Kurnia. Sedangkan kami kembali ke stasiun Jakarta Kota untuk pulang ke
Manggarai. Di jalur dua belas stasiun ini, terlihat sudah ramai dengan
penumpang yang menunggu. Sambil menunggu kereta datang, kami duduk-duduk
menghampar di pinggiran jalur itu. Dan beberapa saat kemudian: kereta pun
datang. Kami memasuki kereta yang sudah mulai dipenuhi orang-orang, berjalan ke
depan untuk mencari celah bangku kosong. Berhasil! Kami mendapatkannya. Lalu
duduk. Saya diawasi kakak-kakak relawan yang berdiri bergelayutan di hadapan saya.
Saya letih. Mengantuk. Dan pelan-pelan mata saya tertutup. Saya tertidur. Hah!
Begitu serunya perjalanan hari ini. Bersama teman-teman baru, bersama
kakak-kakak relawan, untuk mendapatkan sebuah ilmu baru. Sebuah sejarah
peradaban kota Jakarta di masa lalu. Terima kasih teman-teman, terima kasih
kakak-kakak relawan. Terima kasih juga buat kakak-kakak yang sudah berkenan
membaca cerita saya ini. “Doakan saya tidak memimpikan setan-setan tadi ya?”
0 komentar: