DUA RIBU ENAM (TUJUH) BELAS

02.35 Putu Dharma Yusa 0 Comments


Ditemani piring kecil dan garpu, saya menyantap pizza hari ini. Tidak begitu lahap. Memang saya tidak doyan makanan luar negeri yang satu ini. Dalam dua suapan, saya menaruh garpu, menatap layar komputer, dan menemukan fakta bahwa beberapa hari lagi, tahun akan segera tuntas. Tepatnya dituntaskan. Saya menggunakan kata pasif ‘dituntaskan’ untuk mengembalikan memori tiga ratusan hari lampau, hingga mengubahnya menjadi kata ‘menuntaskan’. Seperti siaran televisi yang membuat kilasan balik peristiwa yang terjadi sepanjang tahun ini, siaran radio juga tak kalah memamerkan lagu-lagu hits di tahun ini, facebook yang memunculkan video review sentuhan kita di media sosial ini, dan lainnya, saya pun mencoba mengingat-ingat apa yang saya tuntaskan di tahun ini. Dua ribu enam belas.

Saya masih ingat betul betapa hitungan detik menuju dua ribu enam belas dihabiskan bersama sebagian kawan-kawan Komunitas Jendela Jakarta dengan bakar-bakar ayam. Di rumah Hakim, Cibubur. Truth or dare menjadi ajang penghabisan pagi, hingga terlelap di pelataran rumah bersama-sama. Merasa seru seterusnya, kami terus menjalin tawa dan keceriaan sepanjang tahun ini. Di grup chatting, saat makan sore menjelang malam, saat ada yang ulang tahun, saat ada yang promosi kerjaan, saat ada yang menikah, saat ada yang galau, dan semuanya berlalu sedemikian berkesannya di tahun ini. Saya senang menemukan mereka di antara padatnya pergaulan ibukota, meski masih sering merasa hilang diri dalam beberapa kesempatan bersama mereka.

Sedari awal tahun, pemikiran saya juga terbagi untuk sebuah konsistensi pergerakan cinta tanah kelahiran “Bali Tolak Reklamasi”. Melanjutkan rekomendasi pasca riset megaproyek reklamasi Pulau Serangan tahun 2007-2008, film dokumenter “Karya Segara” tahun 2013, film sekuel semidokumenter “Pray, Voiced, & Persuade” dan “Pura-pura Hijau” tahun 2014-2015, film perjalanan “Bali Bergerak” di awal tahun 2016, dan serentetan tulisan berikut aksi penolakan atas rencana reklamasi Teluk Benoa – saya bersama Pande, Prabawa, dan Bajra membuat sebuah forum diskusi terbuka “Ngomong Gen”. Mengusung topik-topik pergerakan di Bali, Ngomong Gen cukup berhasil mengundang anak muda Bali di ibukota untuk menyuarakan opini dan pemikirannya atas apa yang terjadi di Bali. Tidak berhenti di forum diskusi, kami juga merambah ke dalam beberapa aksi turun ke jalan dan panggung pertunjukan. Pura Bekasi, Cibinong, Depok, dan kampus AKPINDO menjadi panggung band Padtriot (yang digawangi Pande, Deli, dan Adit) berkolaborasi meneriakkan perlawanan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Semua ini dikemas apik dalam lagu “Lawan” yang diselingi monolog dari seseorang yang menamakan dirinya Lelakut Bercaping. Dua ribu tujuh belas, mungkin akan lebih megah lagi.

Sekitar bulan Februari dan Maret, selain fluktuasi pekerjaan di kantor, saya berkesempatan tugas ke luar kota. Dua kali saja. Di Ternate, Maluku Utara dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dalam sesi tugas yang cukup melelahkan, ada berjuntai perjalanan mengasikkan yang telah menunggu. Di Ternate, saya mengeksplorasi pulau dari Gunung Gamalama ini dari Batu Angus, birunya Pantai Sulamadaha, hijau dan mistisnya Danau Tolire. Menyeberang barang lima belas menit, saya sampai di Tidore. Bersentuhan dengan sisa-sisa sejarah digjayanya kerajaan di tanah rempah ini. Mengunjungi pulau Maitara yang tergambar di uang seribu rupiah, benteng Tahula, air panas di pesisir Akesahu, menghedon di Kora-Kora cafe milik Bams Conora, dan bermalam di rumah kawan lama: Bukhari Fauzul setelah disuguhi makan malam yang luar biasa dari Ibunda-nya. Sebagai bekal dari Pulau ini, saya disuguhkan Lapis khas Tidore: Safira, juga buku “Pemberontakan Nuku”. Terasa begitu spesial.

Di Nusa Tenggara Timur, saya tidak hanya berhenti di Kota Kupang. Setelah menikmati santap kuliner Ikan Kuah Asam Tenau bersama Bli Jati, seorang web developer penuh mimpi dan cerita inspirasi, dengan satu-satunya pesawat yang tersedia, saya terbang ke pulau paling selatan Indonesia: Rote. Menginap di Tirosa Homestay, dekat pesisir Nembrala, saya seperti asing dikelilingi bule-bule kesepian tapi penuh cerita dan tawa. Dalam sebuah senja menjingga, Mrs. Candhra dan suaminya Mr. Squick duduk menghampar di kursi kayu di atas pasir. Lalu datang gadis Belgia, Naura, yang terlihat kelelahan di penghujung hari itu. Kemudian Mr. Mathew dan kekasihnya Ms. Leticia yang terlihat malu berpelukan kala itu. Kami bercengkrama sedikit tentang darimana kami berasal, dan untuk apa kami datang kesini. Asal kami jelas berbeda, tapi ternyata tujuan kami sama: mencari kesunyian. Pergi, sebentar atau lama, dari keramaian hidup yang tak jelas akhirnya. Seperti kemudian saya pergi ke Bukit Mando’o dan menemukan kawan lokal, bernama Yanto Mesah. Dan senja harinya, saya diajak minum Sopi (arak khas Rote) di Bukit Pintu Pantai Bo’a. Malam tanpa lampu dari listrik menghantar kami pada rumahnya yang disambut hangat istinya, Sritna, dan anaknya, Maura. Rasanya seperti menemukan saudara dan kehidupan baru disini. Sebelum besoknya, saya harus kembali ke Kupang untuk bercuap-cuap menyampaikan materi sehubungan dengan pekerjaan. Huh.

Tapi, dua traveling ini membuat saya semakin cinta pada keindahan negeri ini. Keragaman alam, budaya, manusia, kuliner, dan lainnya memaksa mimpi saya untuk ‘naik level’ dari keliling dunia menjadi keliling Indonesia. Masih di tahun ini, saya mulai manjat Gunung Papandayan, merasuki kampung Baduy Dalam, menikmati keindahan api biru Ijen, eksotisnya terumbu karang Menjangan, padang savana Baluran, dan menjajal kota Bandung dan Lembang. Sebagian besar saya ketemu orang-orang baru. Di Papandayan, saya diajakin Mya, kawan di Komunitas Jendela Jakarta – bersama teman-teman alumni di kampusnya di Semarang dulu. Ke Baduy, saya diajakin Abel, kawan di Tootal Pramuka KIJP – bersama anak-anak KIJP dari pulau lainnya. Ke Baluran-Ijen-Menjangan, saya ikut open trip bersama lima kawan Tootal Pramuka KIJP – bergabung dengan para traveler lain dari Semarang, Solo, dan Surabaya, dan ternyata kita bisa asyik bersama. Maka, penjelajahan tahun ini tidak hanya memperkenalkan saya pada eksotika alam dan budaya, juga dengan siapa kita menikmati itu.

Dua ribu enam belas, adalah awal saya masuk dunia literasi anak negeri (yang lebih luas), setelah Komunitas Jendela Jakarta. Bulan April, saya mencoba peruntungan dengan mendaftar di Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP) Batch 5. Dan, diterima. Mendapat pengalaman pertama nan berharga di SDN 02 Panggang, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, bersama puluhan relawan lainnya. Di sana, saya membagikan keseruan belajar matematika dengan bermain jarimatika dan kelas dalam angka. Relawannya juga tak kalah kocak, dan karena suatu insiden lucu, akhirnya tim dinamakan Tootal Pramuka. Dan saya mulai gila, karena mereka. Salah satunya, gila ikutan Kelas Inspirasi. Benar, saya ketagihan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya di Bulan Agustus, saya lolos di Kelas Inspirasi Bali 3 di SDN 1 Tanglad, Nusa Penida. Disini saya kembali menemukan orang-orang yang luar biasa, kompak, dan koplak. Dua minggu setelahnya, masih di bulan yang sama, saya lolos di Kelas Inspirasi Pandeglang. Mendapat tugas di SDN Juhut 3, kaki gunung Karang, saya bertemu anak-anak sedikit pemalu dengan orang baru dan sekolah yang begitu ramah dengan tamu. Perihal ini yang juga kemudian membuat kami kembali, Back to School di awal Januari Dua Ribu Tujuh Belas. Di Bulan Nopember, saya kembali mengikuti Kelas Inspirasi Tegal 2, berlabel poci, di SDN Semedo. Masih sama, bertemu orang-orang yang penuh dedikasi, dan anak-anak yang penuh mimpi. Anggap saja, saya dan relawan lain datang untuk menyemangati dan memelihara mimpi mereka. Saya datang ke sana berikut teriakan “Inyong.. koen, luar biasa!”. Mudah-mudahan, ketika nanti saya kembali ke sana, mereka masih ingat saya karena jargon itu. Di dua ribu tujuh belas, saya masih akan berjuang. Karena menjadi pendidik, adalah tugas orang-orang yang pernah terdidik.

Sabtu-minggu di tahun ini benar-benar tak ternilai, begitu berharga. Juga sangat berkesan. Masih sama dengan tahun sebelumnya, saya banyak menghabiskan waktu di Komunitas Jendela Jakarta. Sebuah komunitas yang membangunkan kepedulian saya yang cukup lama tertidur. Membagi ilmu bersama adik-adik di Manggarai, Sungai Bambu, dan Serpong. Juga belajar membaca, tepatnya mengenal huruf, bersama si kecil Indra di Manggarai. Juga kegiatan seru lain, seperti temu relawan baru di Bintaro, buka bersama dan bazzar di bulan Ramadhan, One Day Trip alias jalan-jalan edukasi bersama beberapa adik, mobile library, bioskop Jendela Jakarta, hingga acara sebesar Festival Bocah Cilik – perayaan empat tahun hari jadi Komunitas Jendela Jakarta. Sebuah acara yang membangkitkan kembali permainan tradisional dan keseruan anak-anak Indonesia. Merasa senang menjadi bagian dari keseruan komunitas ini, dan dua ribu tujuh belas: mudah-mudahan masih sama.

Rasa-rasanya, masih banyak sekali cerita di dua ribu enam belas. Belum lagi soal pekerjaan di kantor, penuh drama, lengkap dengan komedi dan tragedi-nya. Ruangan kerja yang dipenuhi pekerja yang santai tapi asyik, tapi pekerjaan bisa beres semua. Beberapa tragedi juga terjadi: namun tak bisa terangkai dalam cerita ini. Sebagian berhasil saya tuntaskan, sebagian lagi masih menjadi pekerjaan di tahun-tahun depan. Tapi terlepas dari ini semua, saya cukup sering melarikan diri dari kebosanan pekerjaan di kantor. Musik indie, kedai kopi, novel klasik, radio, dan film menjadi obat penawarnya. Lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, Nosstress, Banda Neira, dan beberapa band indie lain seperti menyentuh pikiran dan hati tepat pada masalahnya masing-masing. Kopi lokal Aceh Gayo, Jawa, Kintamani Bali, Flores Bajawa, Toraja, dan Papua – juga menjadi teman hangat di kedai bersama buku-buku novel klasik karya Pramoedya Ananta Toer juga Eka Kurniawan, saat hidup dan kehidupan mulai memahit. Dan kopi menjadi penawarnya. Radio seperti Gen FM dan Prambors juga selalu menemani perjalanan pulang-pergi ke kantor, untuk melupakan bising dan polusi jalanan yang membabibuta di ibukota. Dan, nonton film, terutama di bioskop non-komersil, seperti di Kineforum – untuk menemukan inspirasi baru tentang hidup dan problematika yang melekat diantaranya. Sepertinya di tahun depan, saya akan meneruskan kegilaan ‘pelarian’ ini.

Terima kasih dua ribu enam belas. Atas sahabat, perjuangan, literasi, pertualangan, kopi, musik, film, seni, bacaan, pekerjaan.
Juga cinta.
Dan semuanya.
Dua ribu enam belas, buat saya adalah tahun penuh kegilaan mengejar mimpi yang tak pernah habis ini. Meskipun, masih meninggalkan segudang mimpi lainnya untuk dikejar lagi di tahun berikutnya: dua ribu tujuh belas. Maka, ijinkan saya menutup tahun ini dengan sebuah catatan di buku harian kerja saya, yang saya tulis tanggal 22 Desember 2016:

“Tahun ini begitu liar. Pikiran, kaki, suara. Tapi tidak dengan hati, nurani, dan idealisme. Saat otak acapkali ditagih oleh mimpi, suara-suara lalu berserak dan tak terasa kaki telah melangkah sejauh ini. Sedang hati, nurani, dan idealisme masih konsisten: untuk-Mu dan mu”.


0 komentar: