CURIK-CURIK TIM SATU TANGLAD - PART 3

04.13 Putu Dharma Yusa 0 Comments



“Kring kring!” Alarm sudah berbunyi sejak pukul lima pagi. Satu persatu bangun, bergilir menimba sumur, mandi, dan sarapan pagi. Lagi-lagi saya yang mendapati giliran paling akhir. Dan kami berangkat sekitar pukul setengah tujuh pagi, setelah menyempatkan berfoto bersama Pak Mangku sekeluarga sebagai kenang-kenangan pernah menimba sumur di rumah beliau. Embun pagi menyambut iring-iringan pagi itu, juga anak-anak berseragam merah-putih dengan tengtengan sapu yang tersenyum menyapa kami. Sebagian diantaranya berjalan mengikuti arah motor kami: SDN 1 Tanglad. Iya, mereka adalah sebagian anak-anak yang akan mengikuti kelas inspirasi nantinya.

 Sampai di SDN 1 Tanglad, kami disambut aktivitas yang mengembalikan ingatan saya pada belasan tahun silam: menyapu halaman sekolah, merapikan meja dan kursi di kelas, menghaturkan sesajen canang di sekolah. Momen-momen yang mulai langka ditemui di sekolah perkotaan kini. Setelah semuanya dimonopoli oleh petugas kebersihan sekolah. Kami juga tak kalah heboh, mempersiapkan diri dengan memasang spanduk, menghaturkan sesajen canang di Padmasana (pura) sekolah. Memohon ijin agar diberikan kelancaran dalam kegiatan di sekolah ini.

Teng! Jam setengah delapan pagi, upacara bendera dimulai. Siswa-siswa yang sudah selesai berberes nampak berhamburan lalu membentuk barisan rapi menurut jenjang kelas-nya. Kelas satu sampai kelas empat berbaris menghadap tiang bendera, sebagai peserta upacara. Kelas lima dan enam sebagai petugas upacara, juga sebagai pasukan paduan suara berbaris di sebelah kiri tiang bendera. Bapak dan ibu guru berbaris dua sap di kanan tiang bendera, bersebelahan dengan kami: relawan kelas inspirasi SDN 1 Tanglad. Sekadar informasi, jumlah siswa SDN 1 Tanglad adalah 60 siswa dengan 7 orang guru tetap, dan 4 pegawai honorer. Jumlah siswa ini tergolong sedikit, karena arus urbanisasi yang masih tak terbendung dari wilayah ini. Telur emas ternyata masih kalah berkilau dibandingkan dengan daerah-daerah Kuta, Denpasar, dan Nusa Dua yang katanya juga emas: segitiga emas Bali. Mungkin, yang paling mengkhawatirkan di sekolah ini adalah tidak berfungsinya toilet, mengingat terbatasnya air yang menjadi polemik di wilayah ini. Alhasil saya pun menahan buang air, sampai selesai hari inspirasi dan kembali ke penginapan.

Jalannya upacara bendera sendiri bisa dikatakan suatu momen langka bagi beberapa inspirator, termasuk saya. Kendati di beberapa hari peringatan acapkali diadakan upacara di kantor. Saya tak pernah semerinding kala itu. Saat mendengarkan seruan dari pengibar bendera: “Bendera Siap!” lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu mengheningkan cipta, dan mendengar-mengikuti pembacaan Pancasila oleh Bapak Kepala Sekolah. Merinding! Khidmatnya upacara benar-benar terasa dan mengangkat relung memori belasan tahun silam kala saya berdiri tegak membacakan teks UUD 1945 berseragam merah-putih berdasi agak kedodoran. Upacara berjalan dengan lancar. Bendera tepat mencapai ujung tertingginya sesaat lagu Indonesia Raya selesai, dan para siswa begitu tenangnya mengikuti seremonial ini. Ahh, saya jadi makin cinta negeri ini.

Upacara bendera selesai, dilanjutkan dengan sesi opening yang dipandu oleh Ian. Opening kami kemas secara sederhana, dengan mengembalikannya pada tujuan awal untuk mencairkan suasana dan mendekatkan para siswa dengan kakak-kakak relawan, terutama para inspirator.
“Adik-adik, gimana kabarnya”, tanya Ian.
“Baik”, sahut mereka tak begitu kompak.

Lalu Ian mencoba mengkompakkan jawaban mereka, dengan kalimat “Luar Biasa!”. Mereka berhasil mengikuti seruan Ian, juga para relawan semua. Dengan keras. Juga kompak. Lalu dilanjutkan dengan tepuk semangat, superman woosh!, dan jingle “Jika Kau Suka KI”.
Jika kau suka KI, tepuk tangan. Prok prok! Jika kau suka KI, tepuk tangan. Prok prok! Jika kau suka KI, mari kita lakukan, jika kau suka KI, tepuk tangan! Prok prok!
Jika kau suka KI, hentak bumi. Dug dug! Jika kau suka KI, hentak bumi. Dug dug! Jika kau suka KI, mari kita lakukan, jika kau suka KI, hentak bumi! Dug dug!
Jika kau suka KI, lompat hore. Hore! Jika kau suka KI, lompat hore. Hore! Jika kau suka KI, mari kita lakukan, jika kau suka KI, lompat hore!
“Horeeeeeeeeeee!” dengan lompatan yang cukup tinggi. Dan kompak. Opening pun berakhir dengan semangat mereka memasuki pos-pos kelas inspirasi. Ada yang berlarian menuju pos, saking semangatnya. Ada yang bermain kereta-keretaan setelah berhasil dijinakkan oleh Kak Arni dan Wira. Suasananya random. Sumringah. Namun sangat mengesankan.

Tibalah waktunya giliran saya. Menginspirasi. Juga harus terinspirasi.

Saya menggelar sebuah spanduk persegi ukuran tiga kali tiga meter di bawah pohon ketapang di halaman sekolah, bergambarkan permainan ular tangga. Saya bisa menyebutnya sebagai ular tangga raksasa. Lengkap dengan tiga boneka dadu, dan yang nantinya menjadi pion adalah siswa yang ikut bermain. Saya sedikit modifikasi ular tangga dengan tambahan ikon bintang, jika siswa berhasil menaiki tangga dengan menjawab tantangan matematika terlebih dahulu. Juga ada tulisan “poles lawan” dan “dipoles” pada beberapa blok untuk menambah keseruan permainan ini, selain ada mulut ular yang memangsa pion hingga jatuh di ujung ekornya. Melalui permainan ini, saya mencoba mendekatkan ilmu matematika, terkhusus peluang yang mengisahkan soal keberuntungan melalui permainan lemparan dadu. Intinya bahwa dalam hal apapun, matematika sangat diperlukan. Termasuk mengejar mimpi-mimpi mereka nantinya.

Sesi pertama saya kedatangan Grup C, gabungan kelas 5 dan 6. Pembukaan sesi saya awali dengan permainan sulap angka, dengan menebak tanggal lahir dari beberapa siswa. Saya senang, ada yang terkesima dan penasaran dengan cara saya menebak. Karenanya, saya mencoba membocorkan trik kepada satu siswa yang bernama Bayu. Dan keren. Transfer ilmu kanuragan berhasil. Bayu berhasil menebak tanggal lahir Komang, setelah sebelumnya komat-kamit menghitung dalam hati. Suasana mulai mencair. Lalu saya masuk ke permainan ular tangga dengan membagi mereka ke dalam empat kelompok. Ada kelompok yang mendapati tantangan matematika, dan berhasil dijawab dengan benar. Ada yang cemong karena dipoles bedak oleh lawannya, juga ada beruntung bisa memoles bedak pada lawannya. Lagi-lagi saya senang, mereka tampak menikmati permainan ini. Dan di sisa waktu terakhir, saya mencoba memasukkan matematika ke dalam mimpi-mimpi mereka. Terlepas dari apapun cita-cita mereka: dokter, guru, polisi, supir, petani – semuanya membutuhkan ilmu matematika. Dan matematika bisa dipelajari dengan cara apapun, termasuk lemparan dadu dan uang koin. Sesederhana itu.  

Sesi kedua dan ketiga saya kedapatan kelas kecil. Karena spanduk ular tangga mulai kotor oleh debu sisa pijakan sepatu, saya memindahkan pos ke ruangan. Masuk ke kelas kecil cukup memberikan tantangan tersendiri. Di kelas tiga-empat (grup B), saya sempat dijahili oleh seorang siswa yang secara sengaja menyalahkan tebak-tebakan tanggal lahir yang saya peragakan. Juga sulap jumlah batang korek, yang lagi-lagi gagal berkat salah penjumlahan yang dilakukan oleh salah seorang siswi. Tapi, mereka kembali bersahabat setelah ular tangga dimainkan. Lain lagi ceritanya dengan kelas satu-dua (grup A). Dimana, penjumlahan dadu masih dilakukan sangat manual: dihitung per biji lingkaran dihiasi wajah serius mereka dalam menghitung dengan media jari-jari tangan. Tapi semuanya terselesaikan dengan benar. Permainan pantomim angka pun, mereka jawab dengan cepat. Saya-pun sangat terkesima dengan Shinta, siswi kelas 2 SD yang begitu cepat menjawab soal hitung-hitungan dari pantomim angka yang saya mainkan. Luar biasa reinkarnasi dari kekasih Rama ini.

Saat jam istirahat, relawan beristirahat sejenak di warung samping sekolah. Menyantap penganan khas Bali: tipat cantok. Dengan kerupuk. Sembari berbagi keceriaan di kelas. Di mana, Dita (dosen kimia) memainkan percobaan atau praktikum yang menarik minat siswa untuk menjadi ilmuan. Ian-Dewi yang bermain tentang aturan-aturan hukum lengkap dengan setelan jubah hitamnya. Dan Ina (perawat) yang mengajarkan pertolongan pertama pada kecelakaan, cara mencuci tangan yang benar kepada siswa. Arni dan Wira juga tak kalah hebohnya memobilisasi siswa dengan rangkaian kereta-keretaan. Para dokumentator: Bang Jerry, Bule, dan Bli Komang juga menceritakan momen-momen sekali seumur hidup yang berhasil mereka jepret. Bisa dikatakan kelompok ini tidak banyak persiapan, namun cukup mumpuni dalam pelaksanaan. Meskipun sebagian dari kami baru sekali dua kali ikutan Kelas Inspirasi.

Beberapa menit sebelum closing, para siswa kemudian dibagikan dua lembar postcard cita-cita. Untuk mereka tulis. Satu untuk dibawa pulang dan diserahkan kepada orang tua atau keluarga di rumah, satunya dimasukkan ke dalam amplop cokelat yang akan diserahkan pada guru. Saya bertugas menemani siswa kelas satu dan dua, yang notabene masih belajar menulis. Tapi saya takjub, hampir 99 persen sudah lancar dalam menulis, walau masih ada ejaan yang salah. Luar biasa. Beragam cita-cita dan impian tergores di postcard itu. Ada yang menulis dokter, pemain sepak bola, petani, astronot, dan banyak lagi. Dan, yang paling mengharukan buat saya adalah impian adik Ayu (kelas 2 SD) yang ingin menjadi “Guru Matematika”. Profesi yang sangat dekat dengan inspirasi yang saya bagikan.

Closing dimulai! Saya yang bertugas memandu. Para siswa kembali berkumpul di lapangan. Lengkap dengan selembar postcard cita-cita di tangan, tas di punggung, bintang di dada, dan topi merah-putih di kepala. Menutup kelas inspirasi ini, seluruh siswa berikut relawan dan guru-guru melaksanakan pawai kecil-kecilan, berbaris mengular dengan spanduk Kelas Inspirasi membentang dan tangan-tangan mungil mengacungkan postcard cita-cita. Menyanyikan lagu “Curik-Curik” yang menjadi ikon keceriaan Kelas Inspirasi SD Negeri 1 Tanglad. Berbaris mengular menuju jalan di depan sekolah. Mengitari patung di bundaran Desa Tanglad. Dengan wajah-wajah yang dipenuhi dengan inspirasi dan keceriaan. Momen yang memuncaki sudut-sudut keluarbiasaan dari acara ini.

“Curik-curik semental alang-alang boko-boko, tiang meli pohe, aji satak aji satus keteng, mara bakat anak bagus peceng, enjok-enjok!”

Selesai acara, tidak lupa kami mohon undur diri dari pihak sekolah yang telah menyambut hangat kehadiran kami. Tidak banyak yang bisa ditinggalkan, kecuali pedalaman semangat untuk meraih mimpi yang coba kami bangun dalam kelas inspirasi. Juga beberapa lembaran kalender tahun 2017 yang berisikan foto-foto relawan berikut quote, sebagai ucapan terima kasih dan kenang-kenangan dari kelompok kami. Kami mohon undur diri, setelah waktu semakin berdesakan dengan keberangkatan kembali ke Sanur. Jam setengah satu siang, kami bergegas menuju penginapan.

Pak Mangku dan keluarga sudah siap dengan nasi bungkus, bekal kami menuju pelabuhan nanti. Kami merapikan kembali barang-barang yang tentunya lebih ringan dari sebelum keberangkatan. Jam satu siang, kami berpamitan dengan keluarga Pak Mangku yang sudah menerima kehebohan kelompok kami. Tak ketinggalan si Arni, yang meminta nomor Mbok Kadek, anak kedua Pak Mangku, untuk memulai bisnis kain Rang-Rang di Denpasar nanti. Jalanan malam dua hari yang lalu kembali kami lewati. Dengan santai. Karena turunan. Karena siang. Hingga kami-pun sampai kembali di Pelabuhan Toya Pakeh. Untuk mengembalikan sepeda motor, dan menunggu keberangkatan kapal Maruti menuju Sanur. Sembari menunggu kapal, kami menyantap bungkusan nasi Pak Mangku dan bermain 61. Aturan main masih sama. Yang kalah dipoles bedak. Biar cemong.

Kapal pun merapat dan kami kembali melalui perjalanan laut menuju Sanur. Lelah, tenaga yang terkuras memaksa kami beristirahat memejamkan mata di kapal walau gelombang laut sedang tak begitu bersahabat. Sekitar pukul empat sore, kami sampai di Pantai Sanur dengan celana sedikit basah oleh air laut. Istirahat sejenak, lalu mencari-cari transportasi untuk kembali ke LPMP. Untuk acara refleksi, rangkaian terakhir acara Kelas Inspirasi Bali 3. Acara sedikit diundur dari semula jam 5 sore menjadi jam 7 malam, karena aula LPMP masih digunakan oleh instansi pemerintah. Tim Satu Tanglad, hanya menyisakan empat orang ikutan kegiatan ini: Arni, Dewi, Bang Jerry, dan saya. Bule dan Dita mohon pamit karena harus kembali ke Lombok dengan motor bututnya. Wira, fasilitator muda ini, juga meninggalkan LPMP karena ada dinas malam. Ian, yang sudah nyaman beristirahat di hotel seputaran Jimbaran yang cukup jauh dari Renon. Lalu, Ina dan Bli Komang yang semula ingin ikut refleksi mendadak ingin pulang lebih dahulu, karena ada upacara adat di daerahnya. Jadilah kami berempat dengan wajah sedikit kelelahan, duduk di jajaran dua bangku terdepan menyaksikan jalannya acara.

Tak banyak yang mengikuti acara ini. Sebagian memilih untuk beristirahat, sebagian mungkin memilih melanjutkan perjalanan wisata di sisa waktu. Acara dilangsungkan begitu santai. Setiap kelompok diminta menyampaikan laporan dan keluh-kesahnya selama di SD-nya masing-masing. Ada yang menyampaikan kabar bahagia karena mendapat pengalaman berharga yang luar biasa. Ada yang sedikit kecewa dengan jalannya acara. Tapi kelompok kami, memberikan respon yang positif. Diwakili Dewi, kami menyampaikan kondisi sekolah yang butuh perhatian terutama di fasilitas MCK. Juga kekompakan tim Satu Tanglad, yang luar biasa kebersamaan-nya. Semua berjalan lancar, tanpa muluk-muluk. Berwisata oke dan puas. Hari inspirasi juga oke dan lancar. Juga berkat dukungan spiritual, yang kami percayai turut melancarkan kegiatan kami. Hingga jam delapan lewat, acara selesai. Tangan berkocok bersalaman, ucapan terima kasih dan permohonan maaf bertebaran, dan salam semoga berjumpa kembali bersahutan.

Tapi ini bukan akhir dari perjalanan.

Lagu “Curik-curik” akan tetap berkumandang, mengiringi perjalanan eksotis esok, lusa, dan tahun-tahun di depan. Sejenak membuka kembali membuka relung tiga hari, dua malam di Tanglad, Nusa Penida. Sebuah kisah yang semestinya tak usang oleh terpaan waktu. Karena menginspirasi dan terinspirasi adalah dua kondisi yang bisa secara paralel terjadi, sepanjang hidup. Benar kata John Dewey, “Education is not preparation for life. Education is life itself.

Terima kasih Kelas Inspirasi Bali 3.
Terima kasih tim SD Negeri 1 Tanglad.
Cis kacang buncis!


0 komentar: