MADE OF SAMPAH

23.30 Putu Dharma Yusa 0 Comments



Sampah. Sesungguhnya hidup kita belum lagi bisa lepas dari sampah. Coba saja tengok makan siang kita hari ini. Sebungkus tipat cantok plus es gula, misalnya. Tipat cantok dibungkus kertas minyak biasa yang berwarna cokelat dan diikat karet. Es gula dibungkus plastik bening ukuran setengah kilo berikut sebatang sedotan yang bisa bengkok di ujungnya. Kedua menu ini juga dibungkus lagi dengan kresek berwarna hitam. Setelah rampung menyantap makanan, bungkus yang beragam jenis itu kita buang. Syukur-syukur ke tong sampah. Atau mungkin, dikumpulkan dahulu di plastik bekas belanja atau di trash bag yang berwarna hitam. Sehari atau dua hari kemudian, kita buang ke tempat pembuangan sementara, sebelum akhirnya diangkut oleh pasukan kebersihan ke tempat pembuangan akhir. Begitu seterusnya. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Rumah kita sih bersih, bebas dari sampah. Tapi, coba bayangkan kondisi tempat pembuangan akhir. Menumpuk terus. Belum lagi ceritanya kalau sampah itu kita buang sembarangan. Kalau sampah itu diganggu oleh tikus, kucing, dan hewan sejenisnya. Kalau sampah itu, belum diangkut oleh pasukan kebersihan.

Oke, mari kita menghentikan sejenak pengandai-andai-an kita. Coba kita tengok fakta dan angka-angka tentang sampah. Setiap hari, ternyata rata-rata manusia Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,5 – 0,8 kilogram. Sangat produktif, dalam produksi sampah. Jika ditotal, maka timbunan sampah akan menjadi sebesar 175 ton per hari atau setara 64 juta ton dalam setahun.  Lebih keren lagi, Indonesia menduduki ranking kedua sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, bertengger tepat di bawah Tiongkok sebagai pemuncak klasemen. Prestasi yang sama juga diraih Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik di lautan dunia. Penelitian dari University of Georgia mencatat bahwa sekitar 4,8 – 12,7 juta metrik ton sampah plastik memasuki lautan pada tahun 2010, atau setara dengan 1,3 berat piramida Mesir. Oh mungkin wajar saja, karena jumlah penduduk Indonesia yang sedemikian gede-nya, 250 juta jiwa (urutan keempat di dunia). Ini berarti produktivitas sampah penduduk Indonesia berhasil menyalip India dan Amerika Serikat, yang penduduknya berada di urutan kedua dan ketiga di dunia. Belum lagi jumlah penduduk Indonesia akan terus tumbuh sekitar 1,5 per tahunnya. Maka, diprediksi pada 2019, produksi sampah di Indonesia akan menyentuh angka 67,1 juta ton sampah. Setara dengan 122 kali areal Gelora Bung Karno (GBK), atau mungkin setara dengan satu kali luas Pulau Nusa Penida, Bali.

Bali? Bagaimana dengan Bali? Pulau yang sedemikian eksotisnya, hingga didatangi sekitar 4 (empat) juta wisatawan setiap tahunnya atau sama dengan jumlah penduduk Bali (empat jutaan juga). Lalu, apakah kegiatan wisata yang sedemikian massif-nya tidak meninggalkan masalah lingkungan, terutama sampah? Apakah penduduk Bali juga rata-rata se-produktif orang Indonesia pada umumnya, yang memproduksi sekitar 0,5 – 0,8 kilogram sampah per harinya? Belum lagi, Bali yang kental dengan kegiatan seremonial, yang pastinya meninggalkan sampah sisa upakara. Nah! inilah salah satu kekhas-an problema sampah di Bali. Tidak hanya bersumber dari sampah rumah tangga pada umumnya, melainkan juga sampah dari aktivitas wisata dan upacara ritual keagamaan. Mari kita telaah lebih dalam mengenai ini. Apakah Bli Made akan tetap membuang sampah sisa hari raya Galungan di samping kali dekat rumahnya? Apakah Mister Jhon akan tetap membuang bungkus Pizza yang ia beli di sembarang tempat? Atau justru akan ada resolusi baru terhadap problematika ini?

Mari kita lihat. Data di UPT Persampahan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali tahun 2014, menujukkan bahwa rata-rata volume sampah per hari di Bali sebesar 10.005,83 meter kubik atau sekitar 2.500 ton. Ini-pun hanya data sampah yang secara resmi terbuang di TPA, tidak memasukkan sampah-sampah yang dibuang atau ditindaklanjuti dengan cara lainnya. Misalnya, sampah yang dibuang sembarangan, dihanyutkan ke sungai, ditimbun, dibakar, dan syukur-syukur dimasukkan ke Bank Sampah. Diduga, sampah-sampah yang demikian berkisar antara 15 – 30 persen atau sekitar 375 – 750 ton sampah tidak sampai di tempat pembuangan akhir. Mirisnya lagi, kira-kira sepertiga dari sampah yang terbuang atau sekitar 3.452 meter kubik adalah sampah plastik. Sekali lagi, sampah plastik. Sampah yang begitu menyusahkan bagi lingkungan, karena susah terdegradasi. Jika disetarakan, maka akan sama dengan sampah yang diangkut oleh 1150 truk sampah, yang jika dibariskan dapat memanjang sekitar 4,6 kilometer. Cukup untuk memacetkan jalan sepanjang tol Bali Mandara dari gerbang tol Pelabuhan Benoa hingga exit toll di Bandara Ngurah Rai. Secara regional, Kota Denpasar mendapatkan gelar sebagai produsen sampah terbesar, dengan volume sebesar 2.754 meter kubik per hari. Disusul kemudian Kabupaten Buleleng dengan volume sebesar 2.028 meter kubik per hari.

Penduduk Bali juga cukup produktif dalam menciptakan sampah. Diperkirakan, masing-masing orang menghasilkan sampah sekitar 3,5 sampai 4 liter atau 1,4 kilogram per hari. Ini pun dengan catatan: dalam kondisi normal. Karena volume sampah ini ber-siklus, masih berkorelasi positif dengan puncak perayaan hari-hari besar tertentu. Di Denpasar misalnya, disebutkan bahwa saat hari raya Galungan yang jatuh pada Februari 2016 lalu, terjadi kenaikan volume sampah yang sangat signifikan. Sebesar 50 persen, dibandingkan hari-hari biasa. Belum lagi Galungan sebelumnya, yang jatuh berdekatan dengan hari raya Idul Fitri, volume sampah mengalami kenaikan sebesar 60 – 70 persen. Sampah-sampah sisa upacara keagamaan, seperti canang, bunga, dupa, korek kayu, yang dibungkus plastik pasti terlihat menumpuk di sekitaran tempat pembuangan sampah. Lebih tragis lagi, ada yang mem-posting beberapa sampah canang yang berserak di pelataran Pura. Pelataran yang digunakan umat yang bersembahyang untuk duduk bersila dan bersimpuh memanjatkan doa-doa kepada Tuhan. Mungkin kondisi demikian terus saja berulang, tiap enam bulan, tiap tahun. Belum lagi, aktivitas wisatawan di Bali yang ‘norak’: menikmati keindahan objek tapi tidak mengindahkan tindak-tanduknya terhadap lingkungan. Pantai-pantai yang sangat ramai dikunjungi wisatawan seperti Pantai Kuta, Sanur, Nusa Dua tak luput dari permasalahan sampah. Terutama sampah plastik. Di Pantai Kuta misalnya, rata-rata timbunan sampah per hari bisa mencapai 30 ton, sudah termasuk sampah kiriman yang bermuara ke pantai yang katanya eksotis ini. Intinya adalah, sampah di Bali akan terus meningkat. Seiring dengan meningkatnya kuantitas penduduk berikut gaya hidup tak ramah lingkungan, semakin tingginya ambisi untuk mendatangkan jumlah wisatawan yang lebih banyak lagi, dan semakin semarak-nya upacara ritual keagamaan oleh orang Bali. Bisa dibayangkan apa jadinya Bali pada tahun 2050 nanti?

Telah banyak opini, solusi, kebijakan pemerintah, dan aksi individu maupun sosial dalam menekan dan menanggulangi permasalahan sampah. Langkah-langkah preventif maupun represif sudah sejak dahulu digembor-gemborkan dan diaktualisasikan. Sayangnya, kepedulian bahwa sampah adalah masalah yang paling intim dengan manusia dan sampah sebagai masalah bersama (kolektif), belum dirasakan seutuhnya oleh siapapun, oleh manusia itu sendiri. Cobalah pejamkan mata kita sejenak. Merenung. Membayangkan pesan-pesan guru sedari kita SD dahulu. “Jangan buang sampah sembarangan, ya Nak”. Bahwa, sejak dahulu kita sudah didoktrin seperti itu. Dan anggap saja, kita sering lupa dengan doktrin itu. Maka, mulai dari detik sekarang, mari kita mengembalikan doktrin itu menjadi aksi simpel yang setiap hari akan kita lakukan. Selain itu, sebagai manusia Bali, kita juga telah dibekali pegangan hidup yang bisa menjadi panduan kita dalam mencintai hidup dan sekitarnya. Tri Hita Karana, yang salah satunya menuangkan konsep Palemahan: hubungan yang harmonis manusia dengan lingkungan. Maka, saat manusia bisa mengontrol perilaku-nya untuk tidak merusak alam lingkungan, maka otomatis alam menjadi sahabat manusia. Membuang sampah di got dan sungai akan menyisakan bencana banjir. Menimbun sampah di sembarang tempat akan mendatangkan kuman dan penyakit. Membakar sampah akan menciptakan gas rumah kaca baru, yang semakin memanaskan bumi ini. Maka, melaksanakan pola hidup Go Green, bahasa keren dari implementasi konsep Palemahan yang sedari dulu diwariskan oleh leluhur orang Bali, harus disegerakan.

Benang merah konsep Palemahan ini, bahwa ia juga tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dengan dua konsep besar lainnya: Parahyangan dan Pawongan. Pemujaan atas kemaha-agungan Tuhan melalui rangkaian upacara-upacara ritual keagamaan, juga tidak elok jika diikuti dengan sikap dan perilaku yang tidak bijak terhadap lingkungan. Selesai bersembahyang, kita masih punya tangan yang bisa diarahkan untuk memungut bekas bunga, dupa, canang untuk membuangnya ke tong sampah terdekat. Usahakan juga agar mengurangi penggunaan plastik sebagai pembungkus sarana upacara dan beralih menggunakan wadah yang lebih sopan: nampan, keben, dan sebagainya. Juga terkait pawongan, kita juga bisa mengajak dan mengarahkan orang-orang di sekitar termasuk himbauan ke wisatawan untuk berkepedulian terhadap sampah. Sementara, kebijakan pemerintah dalam menerapkan kantong plastik berbayar di sejumlah gerai ritel, juga sejauh ini cukup efektif dalam menekan residu sampah plastik. Dari 27 kota yang menjadi sampel awal, Kota Denpasar menjadi satu-satunya daerah di Bali yang menjadi sasaran pendahuluan-nya. Data dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menunjukkan efek positif dari kebijakan ini, yaitu mampu menekan sekitar separuh (50 persen) dari penggunaan sampah plastik. Setelah ini, akan masih banyak lagi ide-ide hijau yang bergulir, seperti menaikkan lagi harga kantung plastik, menggantinya dengan reuseable bag atau kardus bekas, juga pemberian insentif kepada konsumen yang membawa kantung belanja sendiri.

Sampah juga bernilai seni dan ekonomi. Tentu nilai ini akan muncul setelah seseorang selesai berkutat dengan masalah sampah dan menemukan peluang dari sampah itu sendiri. Sampah yang beragam jenisnya kemudian dipilah-pilah sesuai karakteristiknya. Ada yang sampah organik – berasal dari makhluk hidup yang sangat mudah membusuk atau dibusukkan, seperti sisa makanan, sisa canang dan banten, dedaunan, ranting pohon, buah, dan sebagainya. Kedua, sampah anorganik (non-organik) – berasal dari non hayati berupa produk sintetik yang tidak dapat atau tidak mudah terurai oleh alam, seperti sampah plastik dan kertas. Dan terakhir, sampah residu – merupakan sampah yang tidak dapat digunakan lagi (reuse) dan tidak dapat diolah (recycle) juga tidak mempunyai nilai ekonomi dan sulit terdekomposisi, seperti sisa obat-obatan, bahan kimia, sisa minyak goreng, dan sebagainya.

Langkah represif terhadap ketiga model sampah ini kita kenal dengan istilah 4R (Reduce, Reuse, Recycle, dan Replace). Sampah organik sudah sangat populer di-reduce menjadi pupuk kompos yang bisa mengembalikan keberfungsian dan kesuburan tanah. Sampah anorganik biasanya masuk ke Bank Sampah, kemudian di-recycle menjadi barang-barang baru yang bernilai ekonomi. Bli I Made Bayak misalnya, seniman Bali yang mengubah sampah plastik menjadi karya seni yang luar biasa. Ia mempopulerkan gerakan ini ke masyarakat dengan jargon “Plasticology”. Pak Wayan Patut, sosok nelayan Serangan, juga berhasil memberdayakan perempuan-perempuan di Pulau Serangan dalam mengolah sampah plastik di pulaunya. Terobosan-terobosan produk kreatif yang reuse dan replace juga sudah mulai muncul ke permukaan. Hadirnya produk dupa isi ulang yang tak lagi menggunakan bungkus plastik salah satunya. Sementara, sampah residu yang belum banyak memberikan manfaat secara ekonomi dapat dihantarkan ke tempat pembuangan akhir untuk selanjutnya ditindaklanjuti secara bijak. Di Bali sendiri, nilai ekonomi dari sampah yang terbuang tiap tahunnya diperkirakan sebesar 4 (empat) triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis, dan tidak menjadi fantastis jika dibiarkan begitu saja. Terbuang percuma.

Terlepas dari angka yang sedemikian besarnya itu, setidaknya kita masih punya pikiran, tenaga, dan waktu untuk berkontribusi terhadap lingkungan. Mulai dari hal-hal kecil, lalu konsisten. Sekali lagi, tidak membuang sampah sembarangan, menekan penggunaan sampah plastik, hingga berujung pada pemanfaatan sampah yang lebih bijak ke depannya. Bekal kepedulian dan nilai-nilai budaya sudah seyogyanya selalu menjadi pegangan ke depan. Lebih optimistis lagi, bahwa dunia ke depan akan semakin mengganaskan program sustainability development yang memaksa manusia untuk senantiasa berperilaku hidup ramah lingkungan, mempraktekkan secara benar ajaran Palemahan dalam Tri Hita Karana. Di Eropa sendiri, mulai tahun ini akan menerapkan kebijakan ekonomi sirkular. Dimana sampah tidak akan lagi dipandang sebagai residual atau keluaran (output), melainkan akan diperlakukan juga sebagai masukan (input). Akan ada sebuah industri baru dimana semua sampah akan digunakan kembali dalam proses produksi, hingga tidak bersisa dan mencemari lingkungan. Berputar terus, ber-sirkulasi. Strategi dan policy yang sama, tentunya kita harap juga akan diberlakukan di negeri yang indah ini.

Semoga.


0 komentar: