CERPEN: JANTUR

03.23 Putu Dharma Yusa 0 Comments



Tidak banyak yang bisa dilakukan Nona Jantur, mesin perekam sidik jari di parkiran motor lantai dua, kecuali membiarkan orang-orang menekan tombolnya, dan menempelkan jari-jari mereka kepadanya. Jam sibuk Nona Jantur adalah pagi hari pukul enam hingga delapan, juga sore hari sekitar pukul empat. Pukul-pukul yang lain adalah jeda istirahatnya, meski seringkali ia terusik oleh jari-jari yang terlambat, termasuk jari-jari yang pulang lebih cepat. Nona Jantur bekerja seperti mesin, sebagaimana ia memang diproduksi demikian, tidak pernah berhenti melayani, kecuali saat listrik kantor padam dan genset tidak dinyalakan. Tapi pagi itu telah merenggut pribadi Nona Jantur sebagai piranti mesin. Nona Jantur merasakan sesuatu yang selama ini belum pernah dirasakan. Matanya berkaca-kaca, senyum ringkihnya menyungging, denyut mesinnya membuncah. Semua itu terjadi ketika jari telunjuk seorang pemuda menempeli tubuhnya. Hari-hari Nona Jantur setelahnya, seketika berubah.

Nona Jantur sudah pasti tidak (akan) bisa mengenali pemuda itu, kecuali lima dijit angka yang pemuda itu tekan: lima enam delapan empat satu. Nona Jantur juga mulai belajar merasakan raut jari pemuda itu yang ranum di pagi hari, dan sedikit memucat pada sore hari. Telunjuk pemuda itu menekan tombol demi tombolnya dengan halus, lihai, bahkan tidak pernah meleset sedikitpun. Pemuda itupun mendapat balasan yang setimpal dari Nona Jantur: “Terima Kasih”. Nona Jantur memang dilatih untuk mengucapkan “Terima Kasih” bagi siapapun yang berhasil menekan tombol yang benar, pun memposisikan sidik jari dengan benar. Satu kalimat lagi yang ia bisa adalah “Silahkan Coba Lagi”, bagi siapapun yang salah. Tapi pemuda itu tidak pernah salah. Nona Jantur selalu membalasnya dengan ucapan “Terima Kasih” dengan nada yang ia upayakan agar terdengar menggoda. Sayang pemuda itu tidak mendengar godaan macam apapun. Apalagi merasakannya.

Kedatangan dan kepulangan pemuda itu bahkan sudah dihapal betul-betul oleh Nona Jantur. Pemuda itu tidak pernah datang lebih dari pukul tujuh, lebih cepat setengah jam dari kebanyakan orang-orang. Juga pulang pukul setengah lima, lebih lambat setengah jam dari kebanyakan orang-orang. Dalam beberapa waktu, pemuda itu juga pulang sekitar pukul tujuh malam, bersamaan dengan beberapa orang lainnya. Nona Jantur sempat berpikir mengapa pemuda itu datang lebih awal dan pulang jauh lebih lambat dari yang lainnya. Tetapi itu tidak penting buat Nona Jantur. Selama pemuda itu menyentuhnya tiap hari, itu sudah cukup mengalirkan keindahan ke dalam tubuhnya. Keindahan yang terus merasuk, menjadikan ‘rasa’ itu perlahan bertumbuh. Ingin rasanya Nona Jantur menyampaikan ‘rasa’ itu pada pemuda itu. Mengubah kalimat “Terima Kasih” yang menggoda menjadi “Hei pemuda, Aku… Sayang… Kamu…”. Tapi itu tidak mungkin. Selain ia memang tidak diprogram untuk mengucapkan kalimat selain “Terima Kasih” dan “Silahkan Coba Lagi”, dan meski Nona Jantur berhasil sekalipun mem-program dirinya sendiri, kalimat “Aku… Sayang… Kamu” tidak akan pernah bisa diterima oleh siapapun.

Nona Jantur juga belajar menerima bahwa dua hari di akhir pekan menjadi malapetaka rindu baginya. Dan hari Senin, di mana sebagian orang-orang membencinya, justru menjadi hari yang paling Nona Jantur tunggu. Pemuda itu datang sebagaimana biasanya, mengobati rindu tak tertahankan Nona Jantur. Meski pernah beberapa Senin, pemuda itu tidak datang sama sekali. Bahkan pernah sampai lima hari. Menambah panjang rindu Nona Jantur, dan setiap ada yang menekan tombol, matanya tajam memerhatikan, berharap yang datang adalah pemuda itu. Pagi itu, Nona Jantur lelah sekali menunggu pemuda itu tak kunjung datang dalam seminggu lamanya. Jari telunjuk seorang pemuda menekan tombolnya halus, lelahnya perlahan menghilang. Tombol yang tertekan adalah lima enam delapan enam nol. “Ah, sial! Bukan pemuda itu”, gumam Nona Jantur. Nona Jantur tentu tidak menyampaikan balasan itu. Meski seorang pemuda itu menekan tombol dan menempelkan jari telunjuknya dengan benar, Nona Jantur hanya bisa membalasnya dengan “Silahkan Coba Lagi!”. Sampai tiga kali. Membuat seorang pemuda itu balik sebal.

Pemuda itu akhirnya datang. Nona Jantur terlampau lelah. Menunggu. Menahan rindu. Selama empat minggu. Dan selama itu pula Nona Jantur memikirkan pemuda itu. Nona Jantur juga mencoba mencari-cari jawaban, dari orang-orang yang juga lama tidak menekan dan menyentuhnya. “Apakah mungkin pemuda itu sakit? Selama itu?”. Tetapi Nona Jantur menjawab sendiri pertanyaannya, “Ah tidak mungkin! Ia terlihat begitu sehat meski sore hari telunjuknya sedikit memucat”. “Atau mungkin, pemuda itu sudah menjual sepeda motornya?”. “Atau mungkin, pemuda itu dipindahkan ke daerah?”. “Atau, pemuda itu telah resign dari kantor ini? Kenapa pemuda itu tidak pamitan kepadaku?”. Pertanyaan demi pertanyaan itu mengganggu hari-hari Nona Jantur. Orang-orang yang semula sering berhasil, menjadi lebih sering gagal. Waktu yang semula tepat sesuai zona waktu, bergeser maju juga mundur sekitar lima menit. Ketika waktu Nona Jantur mundur, banyak yang menggerayanginya. Sebaliknya ketika maju, orang-orang mengabaikannya. Tetapi itu tidak lebih jahat dari telunjuk pemuda itu, yang telah mengabaikannya barang empat minggu.

“Jangan-jangan, pemuda itu sedang bepergian semacam pulang kampung atau perjalanan dinas ke luar kota?”. Lagi-lagi Nona Jantur menjawab sendiri, “Ah rasanya belum lagi ada orang-orang yang bepergian selama itu. Kecuali …” Belum tuntas Nona Jantur me-lepeh-kan jawaban, pagi setelah empat minggu lamanya, tombol lima-enam-delapan-empat-satu ditekan. Samar-samar Nona Jantur melihat ada yang berbeda di dua jari di samping jari telunjuk pemuda itu. Sesuatu yang terselip melingkar, cerah keemasan. Namun kebahagiaannya yang baru saja bangun dari tidur panjang, mengaburkan pandangan Nona Jantur. Ia mengucapkan “Terima Kasih” yang dari lubuk piranti yang teramat dalam. Tapi setelahnya, Nona Jantur memikirkan apa yang terselip melingkar cerah keemasan, di dua jari di samping jari telunjuk pemuda itu. Sore jam empat, tidak seperti sebelum sebelumnya, pemuda itu absensi pulang. Nona Jantur menyoroti tajam dua jari di samping jari telunjuk pemuda itu. Ia mengerti.

Nona Jantur membalas sentuhan pemuda itu, tidak seperti sebelum sebelumnya.
“Silahkan Coba Lagi!” Dengan nada ketus. Hingga tiga kali.

0 komentar: