CURIK-CURIK TIM SATU TANGLAD - PART 1

04.11 Putu Dharma Yusa 0 Comments



“Curik-curik semental alang-alang boko-boko, tiang meli pohe, aji satak aji satus keteng, mara bakat anak bagus peceng, enjok-enjok!” – lagu Curik-Curik, lagu anak daerah Bali.
. . .
Lagu anak-anak ini cukup pantas mengiringi guratan perjalanan kali ini. Sebuah perjalanan yang menakdirkan ratusan anak-anak muda berkepedulian dari seluruh pelosok negeri, berkumpul dalam satu misi. Ialah Kelas Inspirasi. Di Bali. Tepatnya, di satu pulau yang konon adalah telur emas-nya Bali: Nusa Penida. Dan ini adalah kali ketiga diadakannya kelas inspirasi di Bali, setelah dua periode sebelumnya menancapkan diri di bumi Ubud dan Kintamani. Ya, Kelas Inspirasi Bali 3! Yang lalu disingkat KIB3, membawa jargon “Aku menginspirasi, aku terinspirasi” dengan bumbu tagar #InspiringNusa. Saya menilai jargon ini tepat sekali, mengingat kelas inspirasi salah satu misinya adalah mempopuliskan aneka profesi ke anak-anak Sekolah Dasar, menginspirasi dan melecutkan semangat meraih mimpi dan cita-cita mereka, juga sebagai ajang merenung diri bagi relawan itu sendiri. Luar biasa.

Saya mencoba turut ambil sepotong bagian dalam misi mulia ini. Kala pertama kali mengisi form pendaftaran inspirator KIB3, yang terbayang di benak adalah seonggok manusia lokal yang belum lagi berbuat banyak untuk tanah kelahiran. Mencoba peruntungan. Mudah-mudahan diterima. Sekaligus lagi-lagi ingin membuktikan pada diri, bahwa saya juga bisa berbuat. Tidak sekadar koar-koar di blog dan media sosial, mengklaim diri sebagai manusia lokal yang paling loyal dengan tanah kelahiran. Ah, terlepas dari itu, bahwa alasan yang paling jujur adalah saya ingin mengembalikan ingatan ke masa tahun 90-an. Kala kuping dijewer memerah oleh Bu Atu karena salah menghitung, kala didamprat Pak Oka karena bermain saat jam pelajaran, kala berseragam dekil putih-merah dengan dasi kedodoran sambil ngelap ingus yang tak jua berhenti. Saat mengenyam bangku panjang sekolah dasar.

Tanggal 23 Juni 2016: Pengumuman. Via email.
Saya lolos!  

Entah rasa apa yang hadir saat menerima email itu. Campur aduk. Yang jelas ada panggilan yang butuh jawaban pasti: konsistensi untuk ikut. Saya mengkonfirmasi dan mengiyakan untuk turut serta, mulai dari briefing hingga refleksi acara. Setelah itu, kami (yang lolos) dipecah ke dalam kelompok-kelompok kecil, dan saya dijebloskan dalam kelompok SD Negeri 1 Tanglad. Entah di Nusa Penida belahan mana, saya belum banyak memikirkan soal lokasi SD tersebut. Yang kemudian saya tahu setelah saya dijebloskan lagi dalam grup whatsapp dengan nama formil “KIB3 SDN 1 Tanglad”. Ada belasan relawan yang nyemplung di grup itu, mulai dari panitia, fasilitator, inspirator, dan dokumentator. Semua ada bagian tugasnya masing-masing. Panitia dan fasilitator yang menyambung informasi dan membantu menyiapkan keperluan di lokasi, inspirator yang membagi inspirasi, dan dokumentator mengabadikan momen yang tak akan pernah terulang. Saya termasuk manusia yang inaktif di grup itu. Jarang nongol. Bukan karena diniatkan, tapi karena memang lagi diburu sama pekerjaan rutin di kantor yang harus diselesaikan sebelum hari inspirasi itu tiba. Tapi saya mencoba untuk tetap mengikuti perkembangan informasi yang beredar di grup itu. Dan dari informasi itu, saya mulai mengenal Tanglad adalah sebuah desa di perbukitan pojok tenggara Nusa Penida dengan akses yang ehm, cukup menantang.

Hari demi hari, banyak relawan berguguran. Bahkan, menjelang briefing.
Dengan alasan yang cukup profan.
Saya? Masih mencoba bertahan.

Walaupun pekerjaan semakin progresif memburu, hingga tenggat waktu menjadi kian tak bersahabat. Saya masih mencoba sesekali nongol di grup, membantu mempersiapkan bahan-bahan kebutuhan kelompok. Juga mencuri-curi waktu untuk menyelesaikan properti untuk diri sendiri. Tertanggal 5 Agustus 2016: saya harus pulang dini hari, untuk menyelesaikan pekerjaan. Masuk ke kantor lagi di pagi hari. Mohon ijin atasan, untuk bergegas pulang di siang hari. Sampai di Ngurah Rai, petang hari. Sampai di rumah, malam hari. Lelah yang tak berujung menitipkan mimpi, membuat tidur begitu pasi.  

Pukul enam pagi, saya men-starter motor bergegas menuju lokasi briefing dan keberangkatan: LPMP Bali di seputaran Renon, Denpasar. Bersama seseorang. Yang pernah menulis di blog ini. Berjudul “Kata Gadis Bali”.  Yang juga menjadi fasilitator di SD Negeri 2 Suwana. Dan, perjalanan kami tempuh selama kurang lebih satu jam, setelah singgah di satu toko untuk membeli peralatan yang kurang-kurang. Di LPMP kami memisahkan diri dengan urusan masing-masing. Lalu, saya bergumul dengan rekan satu tim, mulai dengan bersapa hai, memperkenalkan diri, basa-basi lokal Indonesia, dan membicarakan apapun yang patut ataupun tidak untuk diperbincangkan. Hingga suasana mulai meleleh, tidak seperti aktivitas grup yang sebelumnya terkesan kaku karena beberapa belum ada yang pernah bertemu. Briefing dimulai: kami duduk di sederetan bangku panjang, mendengar celotehan dari panitia, Pak Prof. Muninjaya selaku penggagas Kelas Inspirasi Bali, Pak Kadis Pendidikan Klungkung, dan tokoh pemuda yang menggerakkan komunitas di bumi Nusa Penida. Dan, terangkum jelas bahwa misi ini harus diselesaikan dengan baik, dengan segenap singsingan baju dari anak-anak muda yang hadir saat itu.

Terhitung ada sepuluh relawan kece di tim SD Negeri 1 Tanglad, yang mampu survive dari gempuran badai yang merontokkan komitmen. Dialah (1) Arni, sosok bidan yang ulet mendampingi kelompok ini; (2) Wira, pemuda di bawah usia 20 tahun yang menjadi fasilitator; (3) Ina (bukan singkatan Indonesia), relawan inspirator sebagai perawat yang ditemani pacarnya (4) Bli Komang – yang baru saja menyudahi perjalanan dari kapal pesiar dan menjadi penyelamat kurangnya dokumentator di kelompok ini; (5) Bule (nama samaran) relawan dokumentator yang tak mau kalah dari Ina, mengajak (6) Dita (yang konon adalah pacarnya) menjadi inspirator dosen kimia – jauh-jauh naik sepeda motor dari Lombok untuk ikut KIB3; (7) Dewi Julianti sebagai inspirator bidang hukum yang sedari awal tak bisa dipisahkan dari (8) Ian yang juga bekerja di bidang hukum; (9) the Giant Man – bang Jerry yang sudah me-langlang bhuana menjadi fotografer di dunia per-kelas-inspirasi-an ditemani seorang kurcaci, yang sehari-harinya memainkan angka: (10) saya.

Karakter yang saya tangkap dari kelompok ini adalah nothing to lose, berbuat semampunya tidak memasang ambisi yang berlebihan. Hal ini bisa disaksikan ketika kami briefing kelompok pertama kali sembari makan siang di warung makan depan LPMP. Briefingnya barang hitungan semenit, cukup meng-iyakan usulan, karena katanya lebih penting adalah mengeksekusi ide. Makan dan basa-basi-nya yang satu jam. Suasana menjadi lebih cair, secair es buah yang direnggut manis oleh Ina dan Bli Komang. Tapi tak lebih gila dari rujak cingur yang dikira berbahankan buah-buahan oleh Bule. Keintiman kami mulai sudah mulai terjalin, mulai rapi tersulam saat keberangkatan naik Trans Sarbagita menuju Sanur, hingga menyeberang dengan kapal Maruti menuju Pelabuhan Toya Pakeh, Nusa Penida.

Jam 5 sore, lewat beberapa menit. Kami sampai di Pelabuhan Toya Pakeh. Bersama beberapa rombongan dari kelompok lain. Dan, ini adalah kali ketiga saya menginjakkan kaki di tanah Nusa Penida. Setelah sebelumnya hanya kegiatan ritual berkelas Tirta Yatra yang mengantarkan saya ke tanah ini. Sekilas telur emas ini nampak gemerlap, oleh tancapan kapitalisme buah hasil pemilihan pariwisata sebagai ikon Bali yang mau tak mau menyeret Nusa Penida sebagai the virgin island of Bali ke dalamnya. Gemerlap karena serbuan infrastruktur mulai gencar di pulau ini. Namun, di sisi lain ada keretakan yang sedikit memudar samar-samar terlihat. Masyarakat mulai menggantungkan hidup pada pariwisata, sendi-sendi kultural mulai agak bergeser sedikit kepada ranah materialistik. Premis ini setidaknya tersimpul, setelah saya berbincang dengan salah seorang warga di Toya Pakeh. Mereka sedikit mempermasalahkan lobi-lobi penyewaan transportasi kami, mulai dari masalah kapal hingga sepeda motor yang kami kendarai nanti. Tapi saya yakin, hipotesa ini tak berlaku general untuk seluruh masyarakat Nusa Penida. Sisi emas murni saya yakin masih banyak berbinar di pelosok-pelosok pulau ini. Terlebih, satu keyakinan bahwa Nusa Penida cukup terbukti melahirkan generasi-generasi yang cerdas, setidaknya kreatif berkat keterbatasan akses di daerah ini.

Motor sudah di tangan, di tangan Bang Jerry tepatnya. Saya dibonceng oleh beliau, karena mendekati mustahil jika sebaliknya saya yang membonceng. Ternyata tim kami berpasang-pasangan dalam berkendara. 1 laki-laki dan 1 perempuan. Terkecuali saya. Dan mengawali perjalanan di tanah itu, kami sepakat (terutama yang beragama Hindu) untuk memohon ijin secara niskala di Pura Dalem Ped. Agar selama beberapa hari ke depan semua kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Dan terbukti, cobaan pertama yaitu gembosnya ban motor Ian-Dewi mampu terselesaikan berkat perjuangan Arni dan Wira, selaku panitia dan fasilitator kami. Dan pertolongan niskala tentunya. Saat langit sudah gelap berganti binar lampu, saat itu kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju penginapan di bukit tenggara Nusa Penida: di daerah Batukandik, tetangga desa Tanglad. Medan perjalanan begitu menantang: gelap, dingin, tanjakan berkelok, jalanan penuh ukiran abstrak, hingga di beberapa tanjakan saya harus merelakan diri untuk turun. Agar Bang Jerry bisa leluasa menaikkan diri dan motor Vario lawas. Saya cukup tertatih. Berlari mengejar.

Sampai di penginapan, kami disambut senyum sapaan khas orang Bali dari seorang Bapak paruh baya yang perawakannya masih cukup kencang. Rambutnya panjang beruban, sedikit mengindikasikan beliau adalah salah seorang pemuka agama di sini. Dan benar, Arni kemudian memanggil beliau: Pak Mangku. Iya, Pak Mangku adalah pemilik rumah yang merelakan Bale Delod (bagian petak rumah di Bali) untuk kami tempati selama dua malam ke depan. Di rumah ini, beliau tinggal bersama istri dan anak bungsunya, Komang. Juga ada Pio, anjing kesayangan dan beberapa ekor babi yang lupa saya tanya namanya. Rumahnya cukup luas, cukup ramai dengan sentuhan ukir-ukiran Bali. Namun sepi, karena di sekelilingnya hanya tegalan yang ditumbuhi tumbuhan singkong dan sejenisnya. Malam itupun kami melepaskan beban ransel dari gendongan, duduk sejenak, dan meminum setenggak air menenangkan diri setelah melalui perjalanan cukup berat. Niat melihat fenomena langka ‘milkyway’ pun tak kunjung sampai, karena kabut menyelimuti langit malam itu. Selebihnya, hidangan rumahan berlauk ikan tongkol, sambal, tempe-tahu cukup menawar sedikit kekecewaan malam itu. Beberapa memilih mandi, setelah berjuang keras menimba air di sumur penampungan air hujan milik Pak Mangku. Iya, daerah Nusa Penida adalah kawasan karst yang memang terbatas dengan air tanah. Hingga air hujan pun menjadi satu-satunya asa hidup bagi masyarakat Nusa Penida, untuk sekadar menyeduh kopi, menanak nasi, dan mandi. Pengalaman langka namun begitu mengesankan bagi kami.

Sembari menunggu giliran mandi, malam pertama di penginapan kami habiskan dengan bermain kartu remi. Saya mencoba memperkenalkan permainan 61, dimana jumlah angka yang terpasang tidak boleh melebihi angka 60. Kartu J sebagai penyelamat dengan mengurangi 10, Q mengurangi 20, dan K mengurangi 30. Kartu joker berarti angka langsung menjadi 60 atau skip, dan angka 4 (mirip seperti panah) berarti membalikkan arah atau menyerang balik. Hukuman yang kalah: dipoles. Dengan bedak. Rasa mint. Sampai cemong. Hingga keseruan dan kentiman semakin terasa berkat permainan ini, terdokumentasi dengan foto selfie dengan muka berbalut bedak putih yang kontras dengan warna kulit. Hingga malam yang larut memaksa kami untuk memejamkan mata sejenak. Membekali tenaga untuk aktivitas keesokan harinya. Demikian juga Pio, dan keluarga Pak Mangku yang sudah beristirahat lebih dulu mengabaikan kami yang super berisik tak cukup tahu diri di rumahnya.



0 komentar: