JURANG EKONOMI YANG KIAN MENGANGA - PART 2

01.23 Putu Dharma Yusa 0 Comments



Sambil mendengarkan lagu Busur Hujan dari Navicula, jemari saya berlalu-lalang di tombol-tombol huruf, lalu berkeinginan untuk menyambung tulisan tentang ketimpangan. Sebelumnya, tulisan “Jurang Ekonomi yang Kian Menganga, Part 1” telah menyodorkan sebuah prolog mengapa ketimpangan menjadi sebuah masalah, utamanya bagi saya dan kebanyakan orang. Juga, sejauh mana ketimpangan itu telah terjadi di negeri ini. Mengambil judul “Potret yang Timpang”, tulisan itu tidak hanya mengupas ukuran kuantitatif seperti rasio Gini, pertumbuhan ekonomi, dan konsumsi antar kelas penduduk – namun lebih dari itu, dimaksudkan untuk membuka pikiran bahwa masalah itu ada dan nyata, untuk dipikirkan bersama-sama. Kali ini, berbekal publikasi “AKU Indonesia: Akhiri Ketimpangan Untuk Indonesia” dari World Bank, saya mencoba menuliskan ulang, yang mudah-mudahan menyentuh akar permasalahan ketimpangan: mengapa ketimpangan bisa terjadi? Atau, mengapa bisa meningkat (lebih parah lagi)?

Saya mencoba memulai dengan sebuah contoh nyata yang saya rasakan sendiri. Saya lahir dari keluarga petani desa, seperti sebagian besar penduduk Indonesia pada umumnya. (Almarhum) kakek saya adalah seorang petani, itupun dari sawah warisan yang telah dibagi dua dengan kakaknya. Saat itu, perekonomian masih begitu tradisionil dan agraris, sehingga konsumsi sudah bisa terpenuhi dari bekerja sebagai petani. Termasuk pula biaya sekolah. Bapak saya berhasil disekolahkan hingga menamatkan sekolah keguruan, dan kini menjadi seorang guru. Ketika kebutuhan mulai semakin kompleks, saya disekolahkan hingga menamatkan perguruan tinggi, hingga kini menjadi seorang penulis blog ini. Namun ketika bicara soal kasta ekonomi rumah tangga, keluarga kami boleh-lah dimasukkan ke dalam kelas menengah. Dalam bahasa yang lebih sederhana: berkecukupan.

Kondisi yang berbeda terjadi pada beberapa orang di desa saya. Beberapa orang diwarisi tanah yang cukup luas, termanfaatkan dengan baik, untuk pendidikan yang lebih baik, hingga saat ini bisa dikatakan menjadi keluarga yang mapan secara ekonomi. Atau, ada yang tidak dibekali warisan sepeser pun, tapi mendapati pekerjaan di sektor pariwisata, kerja keras disana, memperoleh penghasilan di atas rata-rata, mampu membeli aset, dan juga menjadi keluarga yang mapan secara ekonomi. Dua kasus ini bisa dikategorikan sebagai mereka yang ada di kelas atas. Sebaliknya, ada juga yang ‘belog ajum’ menjual tanah warisan untuk hura-hura hingga kini merasa serba kekurangan. Atau ada yang memang tidak dibekali warisan apa-apa, minim kerja keras, dan tanpa mengeyam bangku pendidikan, hingga kini juga bernasib serupa. Mereka dikelaskan sebagai: kelas bawah.

Semua perbedaan di atas adalah menyoal ketimpangan, yang perjalanannya ber-regenerasi, disertai sekelumit clue permasalahannya. Semua punya input, proses yang dilalui, dan outputnya masing-masing. Sehingga, kunci untuk memahami ketimpangan yang meningkat adalah mengapa ada orang-orang yang memperoleh penghasilan lebih besar karena pekerjaannya lebih baik atau memang memiliki aset yang lebih banyak (bahkan) sejak dilahirkan. Selanjutnya, bagaimana prosesnya, yaitu penghasilan itu dikelola: berapa yang dibelanjakan, dan berapa yang ditabung untuk masa depan. Yang terakhir adalah alasan lain di luar dua hal tadi, faktor bencana (alam, sosial, ekonomi) yang mengikis aset dan penghasilan suatu rumah tangga, terutama kepada yang rentan yaitu kasta menengah ke bawah. Terhadap semua alasan ini, ada satu pertanyaan yang paling penting: mengapa si kaya mampu bertahan atas guncangan tadi?

Ada empat alasan utama, mengapa ketimpangan itu terjadi (juga) di Indonesia. Yang pertama, dan paling mendasar adalah ketimpangan peluang, menyoal kondisi sejak lahir. Yang kedua adalah ketimpangan pendapatan ketika seseorang memutuskan untuk bekerja pada orang atau berusaha – memperkerjakan orang. Yang ketiga adalah ketimpangan aset, yaitu semakin terpusatnya sumber daya keuangan pada segelintir rumah tangga kaya. Dan yang terakhir (keempat) adalah faktor lain, yaitu guncangan yang kemudian mengikis kemampuan ekonomi rumah tangga.

Ketimpangan peluang.
Katanya, awal kehidupan yang tidak setara berarti kehidupan yang tidak setara di masa depan. Sepertiga dari ketimpangan yang terjadi di negeri ini disebabkan oleh faktor di luar kendali individu, terutama faktor tempat dimana dilahirkan dan pendidikan orang tua. Bahkan, ketimpangan bisa dimulai sebelum dilahirkan! Sebagian anak-anak dari rumah tangga miskin umumnya tidak mendapatkan nutrisi yang memadai sejak masih dalam kandungan, hingga berumur dua tahun. Hasilnya: mereka mengalami stunting (gagal mencapai tinggi badan yang sesuai usia mereka) dan kemampuan kognitif yang lebih lambat. Lalu? Dibandingkan mereka yang lahir dan tumbuh sehat, tingkat pendidikannya akan lebih rendah, pekerjaan yang kurang layak, dan penghasilan yang rendah saat dewasa nantinya. Faktanya, 37 persen anak-anak Indonesia mengalami stunting (sumber: WHO Child Nutrition Indicators) – dan tentunya kita tidak ingin mereka mengalami siklus seperti pada kalimat sebelumnya.
Ketimpangan peluang menjadi semakin parah, ketika tidak semua anak mendapatkan awal yang baik di sekolah. Meskipun diklaim angka partisipasi sekolah anak miskin telah meningkat, mereka seringkali tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang sama. Kecil kemungkinan bagi anak-anak di perdesaan (juga luar Jawa) dapat mengikuti program pendidikan anak usia dini (PAUD), termasuk Taman Kanak-kanak (TK). Pada tingkatan yang lebih tinggi, saat anak-anak kaya mampu naik kelas dan jenjang dengan santainya, anak-anak miskin justru lebih besar terancam tidak naik kelas atau jenjang pendidikan berikutnya. Dari berbagai pemberitaan, kita juga mengetahui bahwa sekolah-sekolah di perdesaan Indonesia timur lebih kecil kemungkinannya memiliki guru yang terlatih (atau bahkan tidak ada guru sama sekali) dan fasilitas yang memadai. Hasil sekaligus faktanya: anak kelas tiga SD di Jawa mampu membaca 26 kata per menit lebih cepat dibandingkan anak di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Demikian pula, anak yang lebih kaya mampu membaca 18 kata lebih cepat dibandingkan anak-anak yang miskin (sumber: OECD, 2015). Kondisi yang tidak jauh berbeda, juga terjadi saat saya mengajar (menginspirasi, tepatnya) pada Kelas Inspirasi Lombok 4 di sebuah sekolah dasar di Sembalun, Kaki Gunung Rinjani. Saya mendapati sebagian besar anak kelas 3 di sana, masih belum bisa menghitung (tambah dan kurang) dengan benar. Hm, menjadi PR!

Ketimpangan pendapatan.
Jika dikaitkan, ketimpangan ini adalah bagian dari konsekuensi ketimpangan peluang yang terjadi sejak lahir. Perang pendapatan di era ekonomi saat ini adalah antara para pekerja terampil dan tidak terampil. Para pekerja terampil umumnya adalah mereka yang sejak awal menyelesaikan sekolah dan mengambil manfaat dari pendidikan yang berkualitas tinggi. Dan, masalahnya adalah: permintaan tenaga kerja terampil di Indonesia sangat tinggi – namun suplainya sangat terbatas. Meskipun semakin banyak perusahaan yang mensyaratkan pekerja lulusan minimal sekolah menengah atas, tidaklah bisa disamakan dengan keterampilan. Data dari World Bank menyebutkan: tidak kurang dari 1 persen anak muda usia 19-24 tahun telah mengikuti pelatihan TI dan bahasa. Dan kelangkaan ini menyembulkan masalah: upah pekerja terampil naik lebih pesat dibandingkan dengan pekerja tidak terampil. Upah pada sektor dengan produktivitas tinggi dan membutuhkan keterampilan lebih, seperti jasa keuangan, telekomunikasi, manufaktur – telah naik lebih cepat dibandingkan pada sektor dengan produktivitas rendah: pertanian dan sektor informal. Mereka yang kaya, yang kemungkinan besar lebih terdidik dan terampil, akan meraup keuntungan dari upah yang lebih tinggi.

Ketimpangan aset.
Rumah tangga memperoleh pendapatan tidak hanya dengan bekerja, tetapi bekal sumber daya aset keuangan dan fisik, yang bahkan diwariskan sejak lahir. Di Indonesia, 10 persen orang terkaya menguasai sekitar 77 persen kekayaan (aset) negeri, bahkan jika diciutkan, 1 persen orang terkaya memiliki separuh dari seluruh kekayaan. Aset keuangan dan fisik ini menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi hanya untuk sejumlah kecil rumah tangga kaya, kemudian dikelola agar tumbuh menjadi kekayaan yang lebih besar lagi di masa depan. Maka: semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang berarti pendapatan aset keuangan dan fisik akan mendorong ketimpangan yang semakin lebar. Apalagi pengumpulan kekayaan berasal dari praktik-praktik korupsi – sungguh akan menyebabkan ketimpangan di masa depan yang lebih parah!

Guncangan.
Ada banyak jenis guncangan yang akan mengikis kemampuan rumah tangga: ekonomi, kesehatan, sosial-politik, dan bencana alam. Dan jelas, mereka yang paling rentan adalah orang-orang miskin dan berpotensi menghalangi peningkatan derajat ekonomi mereka. Bencana alam, misalnya kekeringan yang menggagalkan hasil panen petani. Atau, hiperinflasi harga pangan yang mengurangi manfaat pendapatan. Atau, PHK besar-besaran yang memutus sumber penghasilan. Termasuk, kecelakaan dan gangguan kesehatan yang memaksa menghentikan aktivitas bekerja dan keseharian. Sayangnya, dalam situasi sulit seperti ini, banyak orang Indonesia yang lebih bergantung pada teman dan saudara daripada mekanisme formal. Saat usaha mengembalikan tidak cukup, seseorang mungkin akan menjual aset produktif – seperti sehektar tanah warisan atau sebuah mesin jahit, hanya untuk membayar rumah sakit misalnya. Kasus yang lebih ekstrim terjadi misalnya tidak menyekolahkan anak atau memaksa mereka bekerja di usia yang sangat dini.
Jika menjadi bencana yang umum, guncangan akan menekan pendapatan semua orang di Indonesia tanpa kecuali. Tapi karena rumah tangga kaya memiliki daya tahan yang lebih, mereka tidak terlalu terusik – sebaliknya, rumah tangga yang miskin akan rentan terperosok kembali ke jurang kemiskinan. Selama 14 tahun, kebanyakan orang Indonesia mengalami fase naik-turunnya pendapatan yang cukup terjal. Namun, seperlima rumah tangga terkaya mampu bertahan pada kuintil teratas selama periode yang sama! Sementara, separuh dari 26,9 persen warga yang rentan miskin menjadi miskin di tahun berikutnya.


Jika kita kembali menengok pada siklus ketimpangan, kita akan melihat masalahnya secara lebih runtut. Aset, setiap rumah tangga (atau manusia yang lahir) memiliki kuantitas dan kualitas aset yang berbeda. Mereka yang kaya, akan lebih sehat dan menikmati akses pendidikan yang memadai dibandingkan mereka yang miskin. Lalu mereka hampir dipastikan menjadi pekerja terampil di sektor ekonomi yang produktivitasnya tinggi, mendapati penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak terampil. Bahkan, tanpa harus bekerja pun mereka bisa berusaha mengelola aset keuangan dan fisik yang mereka miliki untuk meraup pendapatan yang lebih fantastis. Mereka yang kaya juga lebih mudah menabung untuk investasi di masa depan, dibandingkan yang miskin. Di masa depan, generasi berikutnya, akan memulai siklus yang sama kembali – bahkan mungkin lebih baik. Ketimpangan menjadi lebih kompleks: berlangsung antar generasi.

Solusinya? – bersambung dan nantikan tulisan berikutnya.




0 komentar: