AKU KEMANA, KEMANA AKU?

00.02 Putu Dharma Yusa 0 Comments



“Tujuan kamu kerja di sini apa?”, sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan oleh atasanku. Pada sebuah percakapan biasa. Namun terkaget-kaget dengan pertanyaan demikian. Seperti mendorong tubuh mundur dan memojokkannya di sudut ruang perenungan. Aku mengambil air, meneguk perlahan, dan tak berhasil jua menemukan jawaban. Ah!

Terlahir dari keluarga sederhana di pelosok desa perbatasan antara Kabupaten Badung dan Tabanan, Bali – aku sama seperti anak-anak Bali lainnya. Masa kecil dipenuhi dengan permainan yang tak seegois sekarang. Aku masih ingat betul bagaimana dedaunan belimbing berikut buahnya di pekarangan, batu bata yang dihancurkan pada batu hitam, ditetesi air sumur, dan dialasi daun bunga kertas – seperti “lawar” aku jual ke teman-teman sepermainan. Dibayarnya pun pakai daun bunga kertas! Kami menyebutnya permainan “dagang-dagangan”. Bosan akan permainan yang lebih menggali kreativitas perempuan itu, kami berpaling pada permainan “dul-dulan” atau petak umpet. Juga main “cingklak”, karet, “dengkleng-dengklengan” dan serentetan permainan lain – sesuai pada musim dan tingkat kejenuhan. Tapi lucunya, waktu itu kami tidak memahami betul makna kejenuhan. Yang ada hanya keseruan. Kebahagiaan sesungguhnya dikala masa kanak-kanak.

Sekolah. Menuntut ilmu. Sepertinya menjadi keharusan, meski bisa dikatakan aku hanya masuk sekolah karena orang tua yang ‘menyuruhnya’. Juga karena keseragaman, karena teman-teman seumuran pada masuk sekolah. Asumsinya, aku sekolah karena memang sudah waktunya masuk sekolah. Aku tak tahu betul, kalau sekolah nantinya akan mengajarkan aku sejauh ini. Membuat aku seperti ini. Menggerakkan jemari di atas keyboard komputer, bergolak dengan pikiran, dan menghasilkan tulisan galau begini. Aku tidak tahu akan bisa berada di titik ini. Aku menyebut kondisi sekarang sebagai “point”. Hanya sebuah titik.

Aku tidak punya roadmap rapi tentang mimpi dan cita-cita aku. Menjadi anak desa yang tak dibekali ilmu yang cukup tentang cita-cita, ketika guru di kelas bertanya cita-cita aku, aku menjawab: dokter! Jawaban itu spontan. Karena kosakata cita-cita waktu itu sangat terbatas: dokter, guru, polisi, tentara. Tanpa buruh, petani. Itu sudah. Tidak banyak. Tapi sekarang? Aku tidak benar mencapai cita-cita atas jawaban spontan itu. Meskipun upaya mencapai itu digembleng mati-matian saat masa penentuan di tingkat SMA. Aku tidak kuliah di kedokteran.

Apakah aku mengalami kegagalan?

Sempat terpikir di benakku, menghapus kata kegagalan dan keberhasilan. Let it flow! Menikmati proses! Output, hasil akhir, atau apalah itu hanya bonus dari sebuah proses. Berada di ranah proses berarti harus siap dengan hidup penuh keterambingan. Segala sesuatu yang terjadi adalah pergolakan antara usaha dan penyerahan diri. Antara doa dan karma. Antara hidup dan mimpi. Antara kenyataan dan harapan. Alhasil, jadilah aku seperti saat ini. Kaya akan mimpi, namun miskin dalam hidup. Aku tidak menyoal materi, namun lebih kepada keseimbangan. Sama seperti ketika kecil dulu, aku mempunyai mimpi yang sedemikian besar dan ambisiusnya. Ketika gelayutan di akar pohon beringin, ingin menjadi tarzan yang menyelamatkan lingkungan. Ketika loncat di sungai ingin menjadi ultraman, atau power rangers, atau superhero lainnya. Ketika melihat pesawat melintasi ribuan kaki di atap rumah, ingin menjadi pilot yang menerbangkan pesawat. Dan seterusnya. Tapi bedanya, waktu itu aku tidak pernah mempermasalahkan mimpi yang seabrek.

Sekarang, ketika menjadi manusia yang bisa dikatakan sudah dewasa. Mimpi seabrek sepertinya justru menjadi masalah. Karena dihadapkan pada realitas keterbatasan diri. Aku harus meninggalkan beberapa mimpi untuk menjadikan sebagian diantaranya kenyataan. Aku harus memaksakan sedikit hidup agar sebagian darinya bisa tidak menjadi kesia-kesiaan. Mencoba fokus, tapi dimusuhi oleh naluri menjadi generalis. Mencoba menyederhanakan, namun dihalang-halangi oleh rasa ingin tahu yang lain. Ah, masih membingungkan!

Rasa-rasanya, aku ingin kembali ke masa dua dasawarsa lalu. Atau hidup sekarang dengan idealisme kekanak-kanakan. Tidak mempermasalahkan mimpi yang seabrek. Pagi bertengkar dengan teman, sorenya sudah akur kembali. Benar-benar berpasrah pada waktu. Kemana aku akan hanyut nanti. Kemana aku akan tersangkut nanti. Melampui atau singgah pada sebuah titik atau “point” yang tak pernah aku bayangkan atau harapkan sebelumnya. Sampai aku berjumpa pada jawaban yang bisa aku pahami atas pertanyaan ini : Aku Kemana ? Kemana Aku?

Hingga saat ini aku masih berpangku pada hipotesa : “Point Break”. Aku mencari titik peristirahatan. Sama seperti mitos Ozaki Eight yang dipecahkan oleh para petualang ekstrim di film yang sama “Point Break” (2015). Hingga pada suatu hari ada bertanya kepada aku pertanyaan “tujuan kamu kerja di sini apa?”. Jawaban aku masih sama:

“Untuk beristirahat”.


0 komentar: